Kemunculan televisi komunitas di Indonesia sebagai salah satu bentuk media komunitas, tidak terlepas dari situasi politik pasca tumbangnya orde baru. Seiring dengan era keterbukaan pasca tumbangnya Soeharto tersebut, dinamika media mengalami perubahan setelah bertahun-tahun terpasung dalam kebijakan politik rezim. Pada masa Orde Baru, media hidup dibawah kondisi politik yang monopolistik dan represif. Eksistensi media sebagai institusi sosial direduksi menjadi instrumen politik rezim. Akibatnya fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dijalankan dengan baik.
Menurut Dennis Mc Quail (Mc Quail, 1996:82), situasi kehidupan media yang hidup dibawah tekanan penguasa menunjukan bahwa keberadaan dan kadar kekuasaan media dalam masyarakat ditandai oleh luasnya jangkauan, keterpencilan institusi, isolasi individu, dan kurangnya integrasi masyarakat setempat, sehingga menunjukan bahwa media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan sebagai alat utama efektif dalam mengorganisasi massa, seperti khalayak, konsumen, pasar dan pemilih. Media massa biasanya merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwani.
Sebelum iklim keterbukaan media di Indonesia terjadi, media dikontrol sangat ketat oleh pemerintah. Selama bertahun-tahun hanya ada 1 (satu) siaran televisi yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai stasiun milik pemerintah. Baru pada tahun 1990-an muncul media televisi nasional, yakni RCTI dan TPI, yang ternyata kedua media televisi swasta tersebut dimiliki anak dan kerabat rezim yang berkuasa waktu itu.
Proses diseminasi informasi berjalan timpang, karena bersifat sentralistik, top-down. Pemirsa televisi dipaksa untuk menerima segala informasi yang disiarkan media televisi. Tidak jarang, hegimoni pemerintah berkuasa terhadap rakyat melalui televisi dilakukan atas nama stabilitas nasional. Semua hal yang dilakukan pemerintah menjadi benar, tidak ada ruang untuk mengkritisi kebijakan negara melalui media televisi.
Setelah reformasi bergulir seiring kebijakan politik yang terjadi, media bertumbuhan bak cendawan di musim hujan. Departemen Penerangan pada era kepemimpinan Habibie telah memberikan ijin prinsip bagi 5 (lima) stasiun TV baru di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No 286/SK/Menpen/ 1999, sehingga akhirnya khalayak pemirsa TV di Indonesia tersuguhi berbagai tayangan dari 10 (sepuluh) stasiun TV swasta komersial dan 1 (satu) stasiun TV publik (TVRI), menyusul dikemudian hari berbagai layanan TV berbayar (kabel).
Pesatnya pertumbuhan televisi di Indonesia dengan hadirnya berbagai tayangan dilayar kaca, ternyata juga menyisakkan sejumlah persoalan. Berbagai analisa dampak siaran televisi menunjukan adanya permasalahan yang cukup rumit. Kekerasan, seksualitas, dan berbagai tayangan ditelevisi yang jauh dari realitas social , dikritik oleh berbagai pihak karena dianggap menjadi penyebab berbagai kemerosotan moral dan kemanusiaan. Perilaku kekerasan, hedonisme, konsumerisme, dan hilangnya insting kemanusiaan tumbuh dan bekembang. Itu merupakan cermin perubahan nilai yang mulai bergeser.. Hal tersebut memang tak terhindari, ketika televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. (Mc Quail, 1996:3).
Menilik pada persoalan tersebut, munculah kesadaran untuk mendorong tumbuhnya media lain sebagai alternatif oleh para penggiat lembaga swadaya masyarakat yang berbasis media atau civitas akademika yang concern pada upaya pendidikan melek media (media literasi). Media alternatif ini dikenal dengan sebutan media komunitas, yang salah satunya berupa televisi komunitas.
Dalam sebuah diskursus tentang TV Komunitas yang difasilitasi Kelompok Kerja (Pokja) TV Komunitas Indonesia di Yogyakarta, muncul perdebatan tentang batasan komunitas. Sebagian penggiat tv komunitas mengatakan bahwa, batasan komunitas adalah pendekatan geografis (wilayah) sesuai dengan satu aturan perijinan pendirian lembaga penyiaran komunitas mensyaratkan adanya dukungan 250 warga dewasa yang berdomisili di sekitar stasiun tv komunitas. Sementara bagi penggiat tv komunitas yang berbasis sekolah/kampus memiliki cara pandang yang berbeda. Kedua perbedaan pendapat ini mengkerucut pada satu kesamaan visi, dimana tv komunitas sebagai media alternatif harus berperan dalam memberdayakan komunitasnya. Baik itu berbasis sekolah/kampus atau warga, kesemuanya memiliki tanggungjawab sosial pada komunitasnya. Dimana, warga tidak hanya menjadi “penonton” tayangan televisi, namun juga berperan sebagai subyek atau pelaku tv komunitas itu sendiri.
Maka salah satu ciri dari tv komunitas sebagai lembaga penyiaran komunitas adalah keberadaan lembaga penyiaran ini dari, oleh dan untuk komunitasnya. Istilah lain adalah sebagai media partisipatif yang mensyaratkan keterlibatan komunitas didalamnya. Semakin banyak keterlibatan warga dalam lembaga penyiaran komunitas (diversity of ownership), akan mendorong adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) yang semakin baik.
Kebaradaaan tv komunitas jika terkait dengan regulasi pemerintah, saat ini belum menggembirakan. Implementasi UU Penyiaran No 32 tahun 2003 banyak ditentang, khususnya oleh kalangan industri penyiaran (televisi komersial) karena dianggap menghambat ‘bisnis” para konglomerat media di Indonesia karena harus berjaringan, larangan monopoli dan berbagai aturan peralihan yang diangap bisa menghambat laju bisnis mereka.
Sementara bagi kalangan masyarakat sipil pro-demokrasi, UU Penyiaran merupakan keniscayaan agar demokratisasi dalam bidang penyiaran terwujud seiring semangat reformasi. Media penyiaran merupakan alat kontrol masyarakat yang cukup efektif. Media juga mampu menampilkan citra buatan mengenai realitas sosial. (Malik, 1997:15). Dimana sifat media yang bisa mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku massa. Sehingga kepemlikan (ownership) atas media sebaiknya diatur dan ada mekanisme kontrol terhadapnya. Karena dikhawatirkan, kepemilikan yang monopoli oleh kalangan pebisnis terhadap media penyiaran , akan menjadikan media itu sebagai katup pengaman bisnisnya dari kritikan masyarakat. Beberapa fenomena sosial, misalnya kasus lumpur lapindo di Pasuruan Jawa Timur, membuktikan hal itu. Salah satu televisi swasta di Indonesia sangat jarang memberitakan soal Lapindo, dan bahkan tidak pernah menyebut kata “Brantas”, karena dianggap terlalu “dekat” dengan induk perusahaan tempat stasiun televisi tersebut bernaung.
Salah satu semangat dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, adalah desentralisasi penyiaran, dimana memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai/norma setempat. Undang-undang ini juga memberikan celah bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penyiaran.
Pendek kata, masyarakat diberi ruang untuk tidak lagi menjadi obyek penyiaran, namun bisa berperan dalam mewarnai dunia penyiaran. Salah satu point penting bagi masyarakat adalah ketersediaan aturan mengenai media penyiaran bagi mereka. Menurut UU Penyiaran No 32 Tahun 2003, tersebutlah keberadaaan Lembaga Penyiaran Komunitas (TV dan Radio Komunitas), bersanding dengan 3 (tiga) lembaga lain yakni Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI), Lembaga Penyiaran Swasta (radio & TV Swasta) serta Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Karut-marut regulasi penyiaran di Indonesia semakin panjang, setelah silang sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Demkominfo, tentang pembagian kewenangan dan diberlakukannya beberapa peraturan pemerintah yang dianggap bertolak belakang dengan semangat dalam UU Penyiaran tersebut diatas.
Kemunculan televisi komunitas, sesungguhnya merupakan tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia . Media komunitas hadir sebagai wujud pendidikan literasi media, setelah pada masa sebelumnya (Orde Baru dan pasca Reformasi) masyarakat terpinggirkan dalam penggunaan ranah publik (frekuensi). Jika pada masa orde baru, masyarakat hanya mampu menjadi penonton dan obyek sasaran penanaman ideologi politik otoritarinisme, yang menjauhkan masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi, disusul kemudian menjadi obyek sasaran bisnis yang mendorong masyarakat berperilaku konsumtif oleh media-media penyiaran swasta setelah reformasi, saatnya masyarakat mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subyek yang memilah, memilih, dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.
TV komunitas diharapkan menjawab ketimpangan yang terjadi sekarang. Dimana perkembangan media seharusnya diikuti oleh tuntutan kepada media untuk memiliki suatu tanggungjawab sosial. Kebebasan yang dimiliki media perlu disertai tanggungjawab sosial dan dan kecenderungan berorientasi pada kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. (Wibowo, 1997: 58).
Karena itulah, tv komunitas harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Media komunitas ini diharapkan juga mampu merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi dan kontrol sosial, selain memberikan akses kearifan bagi budaya lokal. TV komunitas hadir sebagai media pemberdayaan bagi warga sekitar. Ia memberikan pemahaman dan kesadaran pada masyarakat tentang hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan warga, hiburan yang mendidik, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, perekat sosial hingga penghargaan terhadap kebudayaan serta kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat.
Melalui tv komunitas, khalayak pemisa TV bukan hanya menjadi obyek sasaran siaran televisi, melainkan juga sebagai subyek dan terlibat dalam program siaran televisi komunitas. Khalayak pemirsa menentukan isi siaran yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya setempat. Pendek kata, kedaulatan media komunitas berada ditangan khalayaknya. Jika selama ini khalayak pemirsa tv hanya mampu menjadi penonton, melalui tv komunitas mereka berkesempatan untuk berekspresi, memberikan nilai dan penghargaan pada entitas local, sekaligus menilai, menganalisis, dan memilah informasi dan hiburan yang disajikan oleh televisi komunitas.
Daftar Bacaan:
- MC Quail, Denis, Teori Komunikasi Massa, erlangga, Jakarta 1996.
- Malik, Dedy Jamaluddin, Jurnalisme Islam dan Ukhuwah Islamiyah, Bentang, Yogakarta, 1997.
- Wibowo, Fred, Dasar-Dasar Produksi Program Televisi, Gramedia, Jakarta 1997.
- Berita Kompas 30/5/2007, TV Komunitas Bebaskan Ketertinggalan Informasi.
- Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2003.
- Peraturan Pemerintah No 51 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas Tahun 2005.
Sumber:
http://atvki.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65:mengapa-televisi-komunitas&catid=36:opini&Itemid=62