Apa itu etika jurnalistik?
Secara sederhana, etika jurnalistik bisa diartikan sebagai nilai atau norma yang harus dijadikan sebagai pedoman oleh para pelaku jurnalistik (reporter, redaktur, lay-outer). Biasanya setiap media punya seperangkat etika yang mengikat anggotanya. Inti dari semua pedoman tersebut : mengatakan kebenaran.
Mahbub Junaedi (alm)—seorang wartawan senior Indonesia—menyatakan bahwa etika jurnalistik itu seperti polisi bikinan sendiri. Maksudnya, bahwa etika jurnalistik merupakan ‘aturan main’ yang dibuat sendiri oleh para wartawan—melalui suatu organisasi profesi—dan media massa untuk menjaga agar wartawan dan media massa tetap berjalan sesuai fungsi sosialnya.
Fungsi sosial tersebut berupa tanggung jawab wartawan dan media massa untuk mendukung pengembangan kehidupan sosial yang lebih baik melalui pemberian informasi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Kebebasan pers, bukan berarti memberi kesempatan kepada wartawan dan media massa untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dalam proses jurnalistik. Namun, kebebasan pers berupa kebebasan untuk melakukan proses jurnalistik secara leluasa demi penyajian fakta yang akurat melalui pemberitaan.
Dalam etika jurnalistik, dikenal istilah etika profesional kewartawanan dan etika media massa. Prinsipnya, keduanya sama, yakni landasan moral bagi proses jurnalistik. Perbedaannya hanya terletak pada lembaga yang membuat. Etika profesional umumnya dibuat oleh organisasi kewartawanan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan sebagainya. Sedang etika media massa dibuat oleh lembaga medianya. Misal, etika media massa yang dibuat Harian Kompas, Tabloid Bola, Majalah Tempo, dan lain-lain.
Mengapa harus ada etika?
Media massa punya pengaruh. Diantaranya bisa membentuk opini publik. Pengaruh itu bisa baik tapi juga bisa buruk. Salah satu pengaruh buruk yang mungkin ditimbulkan media : merugikan pembaca dengan memberikan informasi yang salah.
Etika diperlukan untuk menjamin bahwa berita diliput dan disampaikan dengan cara yang benar. Artinya, tidak menipu pembaca maupun sumber berita. Etika mengatur tata cara wartawan baik saat melakukan liputan, sampai menuliskannya menjadi berita.
Beberapa pedoman etika yang harus diperhatikan:
Mengaku sebagai wartawan
Jangan menyamar atau berpura-pura. Narasumber harus diberi kesempatan untuk tahu bahwa dia sedang berbicara dengan seorang wartawan. Reaksi orang akan berbeda saat tahu bahwa dia menghadapi wartawan.
Melindungi narasumber rahasia
Ada kemungkinan seorang narasumber kunci mau memberikan informasi, tapi tidak mau disebutkan identitasnya. Mungkin dia takut, sungkan atau demi keamanan. Tapi sebelum memberi jaminan kerahasiaan, wartawan harus berusaha untuk diijinkan menyebut identitas narasumber.
Mencari narasumber yang benar-benar cocok
Pilih narasumber yang benar-benar sesuai dengan tema berita. Bila kita salah memilih narasumber maka informasi yang kita dapatkan kemungkinan akan melenceng dari yang sebenarnya.
Tidak menerima suap, hadiah, atau fasilitas lain dari narasumber
Bagaimanapun juga seorang wartawan yang telah ‘diberi sesuatu’ oleh narasumber, akan cenderung berpihak kepada pihak pemberi. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi isi berita yang ditulis oleh si wartawan.
Memperhatikan keakuratan data
Jangan percaya begitu saja dengan informasi yang datang dari satu pihak. Setiap informasi harus di cek kebenarannya. Dalam menyebut nama, istilah, angka, kita juga teliti.
Memberi kesempatan klarifikasi
Jika memberitakan tuduhan pada seseorang, wartawan harus memberi kesempatan kepada tertuduh untuk membela diri (klarifikasi)
Melaporkan secara berimbang.
Kalau ada dua informasi atau pendapat yang bertentangan, harus ditulis secara seimbang. Pembaca harus diberi tahu bahwa ada beberapa cara pandang yang berbeda.
Membedakan dengan tegas fakta dan pendapat pribadi
Fakta sering bercampur baur dengan pendapat pribadi. Tugas wartawan adalah memisahkannya sehingga menjadi jelas batas antara informasi yang sebenarnya (fakta) dengan pendapat pribadi, bukan justru mengaburkannya.
Menggunakan bahasa dengan tepat
Jangan menipu pembaca dengan memilih bahasa yang menipu atau mengarahkan. Misalnya, judul berita tidak sesuai dengan isinya. Hindari memakai kata-kata yang mengarahkan opini, seperti ‘diduga keras’ atau ‘disinyalir’. Harus ada sumber berita yang ‘menduga keras’ atau ‘mensinyalir’ sesuatu. Juga harus ada bukti kuat yang mendukung dugaan tersebut.
Jangan menyembunyikan fakta
Karena tidak sesuai kepentingannya, bisa jadi seorang wartawan akan menyembunyikan informasi tertentu. Tindakan ini tergolong jenis pelanggaran etika jurnalistik yang tergolong berat.
Konsekuensi bagi media atau wartawan yang bersangkutan, melanggar etika berarti kehilangan kepercayaan, baik dari pembaca maupun narasumber.
Disampaikan dalam Pelatihan Radio Komunitas Mitra Program Community Radio Monitoring (CRM) di Yogyakarta, 3 – 9 Desember 2004
sekarang banyak media-media massa dan LSM-LSM yang justru mencari keuntungan dengan nama “waratawan” atau “LSM’-nya…
di Lampung, setiap RT minimal ada 1 LSM / media..yang pekerjaannya mengancam orang, mengejar para kepala Dinas, dan mereka nongkrongnya di kantor-kantor PEMDA mengganggu konsentrasi orang unt bekerja..biasa lah…mereka cari duit dari situ…saya lihat mereka tidak lebih dari para pengemis atau bisa dikatakan perampok….
trus…siapa yg bertanggungjawab atas mereka itu????
memang kebanyakan para anggota pers yang merasa dirinya super seperti di daerah daerah yang masih jauh tertinggal dan kebanyakan para anggota pers yang tidak mengindahkan etika jurnalis yang mana negara kita selalu memakai adat timut yang memelihara sopan santun namun nggak begitu semuanya anggota pers banyak juga yang berhati baik dan mulia namun gara gara nilai setitik rusak susu sebelanga seorang makan cempedak semua kena getahnya sehingga para wartawan dan lsm jaman sekarang ini bagaikan kita melihat harimau perasaan takut dan orang orang selalu menghindarinya maka jadilah pers yang soleh dan takut akan tuhan terima kasih