Selama ini keterlibatan warga dalam penyelenggaraan pembangunan paling banyak hanya sebagai penerima manfaat. Warga di sebuah kelurahan misalnya, sangat jarang dilibatkan dalam perencanaan—bahkan sering tidak tahu apa-apa. Di Kelurahan Tamansari Bandung serta Kelurahan Terban dan Dukuh Papringan di Yogyakarta, juga beberapa lokasi lainnya, warga berupaya untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan pembangunan.
Setiap tahun, para ketua RW di Tamansari Bandung diminta membuat proposal usulan sebagai bahan musyawarah pembangunan (musbang) di tingkat kelurahan dan rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) di tingkat kecamatan. Katanya, hasil akhirnya akan sampai ke pemerintah kota hingga menjadi rancangan propeda. Tapi realisasinya tak pernah nampak. Yang ada, lahun berikutnya RW malah kembali disuruh membuat usulan untuk kegiatan yang sama.
Minimnya keterlibatan warga Tamansari dalam perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan tidak hanya terjadi pada program rutin pemerintah. Dalam penyelenggaraan crash program pun demikian. Pernah terjadi, sebuah lembaga warga mendapat bantuan dana 50 juta perak dari Pemerintah Kota Bandung untuk pembangunan sarana dan prasarana lingkungan di Tamansari. Tanpa diberitahu dan diajak membuat peren¬canaan, pelaksanaan pembangunan berjalan dan selesai dalam satu hulan. Hasilnya berupa dua buah MCK umum di RW 15.
Warga Tamansari bertanya-tanya siapa yang butuh MCK. Mengapa bukan untuk memperbaiki jalan kampung? Mengapa uang 50 juta hanya untuk dua MCK? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dan minimnya keterlibatan warga bukan hanya terjadi dalam penyelenggaraan pembangunan, tapi juga dalam aktivitas forum-forum warga yang terbentuk, seiring dengan banyaknya program dan proyek yang masuk atau melewati wilayah yang dibelah Kali Cikapundung ini.
Ada yang mengikuti program-pro¬gram pemberdayaan masyarakat, seperti BKM dalam P2KP. Tapi ada juga yang tumbuh sebagai respons atas rencana pembangunan jalan dan jembatan layang Pasteur—Surapati alias paspati. Sayangnya, hingga kini forum warga tersebut belum mampu mewakili aspirasi atau mendapatkan dukungan, apalagi mampu melibatkan sebagian besar warga.
Berangkat dari kondisi di atas, para ketua RT dan ketua RW se-kelurahan Tamansari mencoba mengembangkan forum warga yang lebih mewakili aspirasi dan mendapatkan dukungan nyata warga. Harapan mempunyai wakil yang dipercaya. dan juga didukung untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan warga.
Singkat cerita Forum Warga Tamansari (Porwarta) pun dideklarasikan pada 21 April 2001. Forum ini berbentuk presidium yang pengurus aktifnya merupakan delegasi dari masing-masing RW. Anggota presidiumnya para ketua RW dari 20 RW yang ada di Tamansari, sedang badan pelaksananya adalah warga yang dianggap punya kemampuan. Saat ini Ketua Badan Pelaksana dipercayakan kepada Maryanto, warga RW 12. Bekerjasama dengan Asosiasi Konsultan Pembangunan Permukiman Indonesia (AKPPI) Jawa Barat, Forwarta mencoba mendala serta menganalisis masalah, kebutuhan, dan potensi yang ada di Tamansari.
Beberapa masalah sudah coba dipikirkan alternatif penyelesaiannya. “Seperti masalah pengangguran. Kami sengaja menyebarkan angket, meminta para pemuda penganggur mengisi butuh ketrampilan apa. dari data yang masuk, yang ingin belajar komputer ada 900 orang. Lalu yang berminat belajar jasa boga ada sekitar 400,” ungkap Maryanto. Untuk itu, Forwarta berencana mencari mitra yang bisa membantu. “Harapannya sih dengan biaya murah karena ini kan untuk sosial,” ucap Maryanto lagi.
Melalui AKPPI Jabar, Forwarta juga mendapat informasi bahwa dinas-dinas terkait di Pemkot Bandung sedang menunggu inisiatifdari warga. Sebab, menurut kesimpulan AKPPI Jabar yang diterima Forwarta, dinas-dinas ini kini menghadapi kesulitan dalam mengalokasikan dan mendistribusikan dana.
Kelompok Duapuluh Papringan
Jika di Tamansari para ketua RT dan RW merasa kurang dilibatkan dalam penyelenggaraan pembangunan di lingkungannya, di Dukuh Papringan Yogyakarta warga justru sempat kesulitan terlibat dalam menyelesaikan permasalahan umum karena beberapa ketua RT dan ketua RW tidak aktif.
Kondisi ini menarik sekelompok warga yang tergabung dalam kelompok “duapuluh” untuk terlihat menyelesaikan permasalahan warga Dukuh Papringan. Kelompok yang awalnya mewajibkan anggotanya bisa berbicara Bahasa Jawa kromo (halus) dalam pertemuan tiap tanggal 20 ini, kemudian membuka diri untuk juga membahas permasalahan sosial dan lingkungan di Dukuh Papringan. Anggota kelompok pun tidak lagi hanya 20 orang dan tidak harus berbahasa Jawa halus. Bekerjasama dengan beberapa orang dari Yayasan Dian Desa, Kelompok Duapuluh terus berupaya melibatkan semakin banyak warga, untuk membentuk wadah bagi aspirasi warga Papringan. Sejak April 2001, melalui mu.syawarah warga yang melibatkan kepala dukuh dan semua ketua RW, kelompok ini ditetapkan menjadi forum warga Dukuh Papringan dengan nama Forum Komunikasi Kelompok Duapuluh (FKKD). Kumpulan duapuluh orang tiap tanggal duapuluh dengan keharusan berbicara bahasa Jawa halus tetapjalan.
Bersamaan dengan rangkaian proses pembentukan FKKD, warga melakukan pendataan dan pemetaan permasalahan warga. Dari sekian banyak masalah yang berhasil dirumuskan, ada dua yang mendesak karena sudah lama membuat gelisah warga, yaitu masalah status tanah dan adanya beberapa rumah dan warung yang menjadi ajang transaksi prostitusi di RT 07.
Dengan difasilitasi FKKD, warga yang menempati lahan di bantaran Kali Gajah Wong telah bertemu dan berdialong langsung dengan beberapa pejabat kabupaten Sleman. Mereka tanya pada warga benar tidaknya laporan FKKD dan dijawab warga benar. “Dari sana warga yang punya masalah bisa menyampaikan keinginan secara langsung dan waktu itu juga dijanjikan akan segera ditindaklanjuti,” cerita Andi—ketua FKKD.
Dari pengalaman ini, menurut Andi, warga makin percaya bahwa warga bisa berhubungan langsung dengan para penentu kebijakan di tingkat daerah, tanpa harus melalui birokrasi. “Setidaknya untuk saat ini, anggota DPRD dan juga pejabat eksekutif Kabupaten Sleman lebih senang jika mendapatkan informasi langsung dari warga,” kata Andi.
Meski begitu, bukan berarti warga tak perlu berurusan dengan birokrasi tingkal lokal. Sebab, menurut Andi yang pengajar di SMU Negeri 10 Yogyakarta ini, FKKD bisa saling membantu dengan pihak kelurahan. Mereka sering diundang juga oleh RW dan dukuh lain untuk menjelaskan tentang jaringan informasi milik warga. “Kami juga mengundang kelurahan di pertemuan antar pelaku untuk mengatasi masalah di Papringan,” tutur Andi.*