Kampung-kampung di lereng merapi porak-poranda. Permukiman warga senyap. Sejumlah warga yang tampak duduk berkelompok. Mata mereka tampak cekung menandakan kurang tidur. Ada kelompok yang terdiri dari tiga orang, lima, dan ada juga yang terdiri dari sepuluh. Udara sangat panas dan debu beterbangan di mana-mana.
Pilihan bertahan di perkampungan yang masuk dalam daerah berbahaya bukan tanpa risiko. Sewaktu-waktu erupsi bisa terjadi. Kampung Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Magelang, katakanlah hanya berjarak 5-8 km dari puncak merapi. Desa ini masih dihuni 1.605 jiwa. Seluruh kegiatan ekonomi telah lumpuh. Warga memilih berdiam diri di dalam rumah.
Sebagian besar warga yang memilih bertahan di area itu berusia muda. Ada yang sudah terlatih dalam pemuda siaga bencana, sebagian besar lainnya menggunakan naluri sebagai warga Merapi. Daerah ini sudah ditetapkan sebagai area berbahaya, jutaan kubik material vulkanik keluar dari puncak gunung.
Hal serupa tampak di Dusun Srunen, Desa Glagahharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Meski warga yang bertahan tak sebanyak Desa Wonolelo, kondisi ini jelas berbahaya. Srunen terletak di sebelah timur Kali Gendol dalam radius 7-8 km dari puncak. Permukiman di daerah ini hancur dan luluh lantak akibat terjangan awan panas Merapi pada tanggal 5 November lalu. Hampir semua bangunan roboh dan rusak, pepohonan hangus terbakar.
Alasan warga bertahan di kampung adalah keamanan. Mereka menjaga harta dan benda milik warga yang masih tersisa. Pada situasi seperti ini, tak sedikit orang yang menancing di air keruh. Ada warga yang mengaku kehilangan ternak ataupun harta benda. Sementara jumlah aparat keamanan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terlampau sedikit. Karena itu, warga tetap menerapkan sistem keamanan lingkungan (siskamling) untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Ibarat makan buah simalakama, pilihan bertahan di perkampungan seringkali berakibat konyol. Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) dr. Sarjito melaporkan ada 168 korban meninggal dunia selama erupsi terjadi sejak 26 Oktober 2010 (14/11/2010). Sebagian besar korban adalah warga yang memilih bertahan di kampung-kampung lereng merapi. Mereka meninggal dunia dengan luka bakar 70-80 prosen akibat tersapu awan panas.
Awan panas merupakan sumber bencana paling mematikan saat erupsi gunung berapi. Warga sering menyebutnya sebagai wedhus gembel, awan panas terdiri dari campuran material letusan berupa abu, pasir hingga bongkah dalam satu adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi karena densiti dan suhunya yang tinggi 300 hingga 700 derajat C menyusuri lereng bagaikan awan yang melayang sangat cepat di atas 70 km per detik atau tergantung kemiringan lereng.
Perjalanan liputan ini terlaksana atas bantuan sukarelawan Murni Astuti, Lutse Lambert Daniel Morin, dan Toto. Saat Posko Merapi JMN (Jamaah Masyarakat Nahdliyin) kekurangan kendaraan untuk mengangkut logistik, mereka menyediakan kendaraan pribadinya untuk menyusuri perkampungan lereng merapi. Meski kendaraan mereka tidak cocok untuk medan mendaki dan berbatu, namun hingga kini belum hambatan teknis yang menghadang.
Distribusi bantuan dan logistik juga tidak dapat merak akses karena ditampung di barak-barak pengungsi besar. Mereka bertahan dengan sisa-sisa logistik rumah tangga. Ada juga yang meminta logistik dari posko pengungsian dengan alat transportasi sepeda motor. Sepeda motor dianggap kendaran paling gesit saat terjadi bencana. Warga mengandalkan kendaraan ini untuk meninggalkan kampung bila bahaya mengancam.
Selain awan panas, bahaya lain yang mengancam warga adalah debu vulkanik. Debu vulkanik mengandung mineral kwarsa, kristobalit atau tridimit. Mineral-mineral ini adalah kristal silika bebas yang diketahui dapat menyebabkan silicosis (kerusakan saluran napas kecil di paru sehingga terjadi gangguan pertukaran gas di alveolus paru). Penyakit ini biasanya ditemukan pada pekerja tambang yang terpapar silika bebas dalam jangka panjang.
Kampung-kampung lereng merapi penuh dengan debu. Di Wonolelo, Sawangan, debu vulkanik bisa mencapai ketebalan 2 cm. Debu itu mengandung gas-gas lain dalam jumlah kecil seperti hidrogen sulfida (H2S), hidrogen (H2), karbon monoksida (CO), hidrogen klorida (HCl), hidrogen fluorida (HF) dan helium (He). Gas-gas ini pada konsentrasi tertentu bisa menyebabkan sakit kepala, pusing, diare, bronkhitis (radang saluran napas) atau bronchopneumonia (radang jaringan paru), iritasi selaput lendir saluran pernapasan, iritasi kulit serta bisa juga mempengaruhi gigi dan tulang.
Orang-orang yang terpapar oleh debu vulkanik ini biasanya mengalami keluhan pada mata, hidung, kulit dan gejala sakit pada tenggorokannya. Gejala pernapasan akut yang sering dilaporkan oleh masyarakat setelah gunung mengeluarkan abu atau debu adalah iritasi selaput lendir dengan keluhan pilek dan beringus, iritasi dan sakit tenggorokan (kadang disertai batuk kering), batuk dahak, sesak napas, iritasi pada jalur pernapasan dan juga napas menjadi tidak nyaman.
Hal berbeda terjadi di Deles, Sidorejo, Kemalang, Klaten. Daerah ini terletak 4-5 km dari puncak merapi. Sejumlah warga yang bertahan di rumah dilengkapi dengan peralatan radio komunikasi (RIGG). Di sana berdiri Radio Komunitas Lintas Merapi yang menyebarluaskan informasi kondisi dan situasi merapi pada warga yang berada di posko-posko pengungsian.
Dalam mengelola informasi meraka tidak sendirian. Ada lima daerah yang berjejaring memantau kondisi dan menyebarluaskan lewat teknologi radio komunikasi dan radio komunitas, seperti Selo (Boyolali), Dukun (Magelang), dan Pakem (Sleman). Jaringan ini membentuk Jalin Merapi(Jalinan Informasi Merapi). Lewat dukungan radio komunikasi, Jalin merapi menjadi rujukan bagi publik yang ingin mengetahui kondisi merapi secara langsung (realtime) melalui internet.
Penulis: Yossy Suparyo Reporter dan Fotografer: M. Irsyadul Ibad, Wahyu, Jarot