Nulis yo nulis wae; Semangat Berkarya Seorang Buruh Migran

oleh Maria Bo Niok

1 Januari 1966,  saya lahir ke dunia melalui rahim Siti Ngaisah, Ibu yang menikah dengan Muhhamad Ghozali, Ayah saya. Mereka memberikan nama yang indah untuk saya, Siti Mariam Ghozali. Nama yang akhirnya  saya rubah sendiri menjadi Maria Bo Niok, karena mempunyai arti penting dalam perjalanan hidup. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa di usia 12 tahun saya harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Bandung. Pembantu rumah tangga dalam arti sebenarnya, yaitu tidak mendapat gaji sepeser pun. Untungnya pengalaman pahit ini hanya sebentar saja dan saya tetap dapat  melanjutkan sekolah hingga SMA di Bumiayu, Brebes dan menjadi santri.Selepas SMA, saya menikah di usia belia dan kemudian tinggal serta hidup di pasar Wonosobo dengan berdagang unggas,  tepatnya burung berkicau sambil berdagang beras dan barang kelontongan. Kebakaran pasar telah menyebabkan bisnis saya hancur, disusul dengan kehancuran rumah tangga yang berujung pada perceraian. Bukan hal  mudah menjadi orang tua tunggal yang harus membesarkan 6  orang anak. Apalagi seluruh dagangan saya ludes termakan api, bahkan menyisakan hutang yang cukup banyak. Akhirnya saya  tinggalkan desa, mencari PJTKI untuk mendaftar kerja ke luar negeri.  Saya memulai hidup baru di balai latihan kerja selama seratus hari. Hanya satu hari setelah visa turun, saya langsung terbang ke Hongkong dan diterima oleh pihak agency.  Saat itu, tahun 1996, anak terkecil baru berusia 4 bulan, tetapi saya harus terbang sendirian ke Hongkong dengan perasaan kebat-kebit menghadapi kehidupan yang asing sekaligus menanggung rasa sedih karena harus meninggalkan keenam anak.

Sesampainya di Hongkong, saya cukup beruntung karena berbekal bahasa yang saya dapat di balai latihan kerja cukup bisa untuk berkomunikasi dengan majikan dan orang asing di Hongkong. Dalam kerja, bukannya tak ada masalah dengan majikan. Setiap hati saya merasa sumpeg dan stres, saya akan menumpahkan semua rasa melalui tulisan di kertas bekas atau bekas kalender. Setiap selesai saya mengadu pada kertas tersebut, kertas itu akan saya remas-remas dengan gemasnya dan saya buang di tong sampah. Begitu dan begitu terus. Sampai saya menyelesaikan kontrak kerja hingga tahun 1998 lalu saya pulang dan pindah ke negara lain yaitu Taiwan. Empat puluh hari di rumah, panggilan kerja dari Taiwan kuterima. Di sana, saya mendapat job merawat orang jompo hingga kontrak berahir di tahun 2000.

Selama setahun saya pulang dan istirahat di rumah, kemudian kembali lagi ke Hongkong. Kali ini dua masa kontrak saya jalani dari tahun 2001 sampai 2005 dengan suka dukanya. Tapi ada satu hal yang berubah, saya tidak akan menyia-nyiakan waktu libur. Saya masuk perguruan Tae kwondo hingga sabuk biru dan mendaftar Abraham College untuk mempelajari baca tulis huruf kanji (China) Sejak tahun 2002 saya bertemu dengan seseorang yang dengan telatennya berusaha menggali bakat saya di bidang tulis menulis. Sejak itu, hasil tulisan saya kumpulkan dan tidak pernah lagi masuk tong sampah malah saya sering mengirim naskah ke media-media berbahasa Indonesia yang terbit di Hongkong yaitu, Intermezo, Berita Indonesia, dan Rose mawar.

Dengan banyaknya tulisan yang berbobot masuk media, maka salah satu wartawan Berita Indonesia membentuk wadah tersendiri buat menampung karya-karya buruh migran indonesia yang berbakat di bidang tulis menulis. Terbentuklah mailinglist Cafe De kossta di awal tahun 2005. Dalam mailinglist (milis) ini karya kita diuji dan diamati oleh sastrawan dari Jawa Timur seperti Bonari Nabonenar dan novelis Lan Fang. Dari situ pula para anggota milis ini mulai menggulirkan wacana sastra buruh migran. Setiap ada salah satu anggota cafe de kossta yang pulang cuti, kita yang di Indonesia ( Maria Bo Niok, Stevi Yean Marie, Kuswinarto, Bonari Nabonenar, Lan fang dan juga Ida Permatasari) berusaha membantu saya dan teman-teman seprofesi saya dengan menggulirkan karyanya, baik itu dalam bentuk apresiasi sastra maupun dengan mengadakan kegiatan-kegiatan workshop.

Saya merasa betapa indah jika perkembangan sastra di kalangan pekerja rumah tangga bisa menjadi jalan untuk lepas dari ketergantungan menjadi ‘babu’ di negeri orang maupun di negeri sendiri serta  bisa menghapus stereotip negatif yang selama ini melekat. Mengangkat pena, menuliskan seluruh pengalaman betul-betul obat mujarab penghilang stres. Apalagi bagi  pekerja rumah tangga yang tinggal di rantau, jauh dari saudara. Masih beruntung yang bekerja di Hongkong, dapat bertemu dengan teman se asal satu minggu sekali, yaitu saat libur. Bayangkan bagi buruh migran Indonesia yang tidak mendapat libur seperti di Arab dan Malaysia. Sungguh menulis adalah cara yang sangat positif. Setidaknya dari pengalaman yang saya rasakan sendiri.

Wacana seputar kegiatan baca tulis yang dilakukan oleh ‘domestic worker’ Indonesia di Hongkong terus berkembang hingga detik ini. Media internet menjadi sarana utama bagi para buruh migran Indonesia di Hongkong untuk menyosialisasikan karya sastranya, baik yang berbentuk puisi, cerpen maupun novel. Pihak pengelola perpustakaan di Hongkong memberikan fasilitas internet gratis bagi semua penduduk yang tinggal di Hongkong. Beberapa media di Indonesia sejak pertengahan tahun 2005 hingga sekarang gencar memberitakan seputar advokasi dan apresiasi sastra yang dilakukan oleh beberapa buruh migran. Tembok Galeri surabaya pernah menjadi saksi atas tampilnya Etik Juwita, Denok, Maria Bo Niok (baca: saya) dan Tania Roos. Tidak ketinggalan pula Wonosobo ikut membuat sejarah baru dengan tampilnya saya dan Wina Karnie di pendopo wakil bupati pada tanggal 15 oktober 2005 yang mendapat dukungan penuh dari beliau, bapak Kholiq Arif, bupati terpilih Wonosobo. Jember, Malang dan beberapa kota lain pernah menyaksikan betapa semangatnya pejuang devisa ini mengapresiasi karya tulis mereka di depan para sastrawan, budayawan, anggota DPRD, pejabat pemerintah dan kaum akademis.

Melihat perkembangan banyaknya buruh migran yang membuat karya-karya tulisan, Stevi Yean Marie dari komunitas Terminal Tiga di Yogyakarta  merasa perlu meluncurkan wacana ini ke tengah-tengah masyarakat Yogyakarta yang terkenal dengan kota budaya dan kota pelajar. Wacana ini digulirkan lewat acara bedah karya TKW Nyastra di toko buku Gramedia, Yogyakarta. Tidak berhenti sampai situ, Komunitas Terminal Tiga juga secara intens memfasilitasi para BMI yang tertarik dalam bidang tulis menulis melalui komunikasi internet serta berusaha menerbitkan karya-karya mereka. Wadah semacam ini tentunya membuat semangat saya dan teman-teman tidak pernah padam.  Nulis yo nulis wae itulah salah satu kata motivasi yang terus memacu para pejuang devisa ini untuk tetap berkiprah dalam dunia baca tulis.
(Maria Bo Niok, mantan buruh migran Indonesia, sekarang tinggal di Pasunten, Lipursari, Leksono, Wonosobo  Jawa Tengah. Email: [email protected])

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud