Sejumlah organisasi nonpemerintah (ornop) merumuskan kertas posisi kebijakan telematika di Indonesia. Kertas posisi berisi prinsip dan strategi pengembangan telematika yang mengedepankan pemenuhan hak warga. Akhir-akhir ini, kebijakan telematika justru menempatkan warga sekadar sebagai konsumen jasa telematika, padahal konstitusi mengatakan akses informasi dan komunikasi sebagai hak dasar warga negara.
Demikian hasil lokakarya Perumusan Kertas Posisi Kebijakan Telematika di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (30/5/2012). Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Satu Dunia bersama Jaringan Radio Komunitas Indonesia, COMBINE Resource Institution, MediaLink, ICTWatch, Centre for Innovation Policy and Governance, dan Lembaga Bantuan Hukum Pers. Kertas posisi memuat alasan pembuatan kertas posisi, prinsip-prinsip kebijakan telematika, dinamika regulasi telematika, permasalahan di dunia telematika, dan rekomendasi masyarakat sipil tentang kebijakan telematika.
Direktur Yayasan Satu, Rini Nasution, mengatakan kebijakan telematika di Indonesia seperti jalan di tempat. Menurutnya, dinamika di dunia telematika sangat cepat sehingga pemerintah membuat sejumlah kebijakan untuk memberikan kepastian-kepastian hukum. Sementara itu, sejumlah kebijakan yang mengatur telematika yang ada masih sektoral sehingga pelaksanaannya acapkali tumpang-tindih di lapangan.
“Ada sejumlah peraturan pemerintah yang tumpang tindih, baik antarsektor maupun antara pusat dan daerah. Kondisi ini membingungkan pada pelaku usaha jasa telematika, terutama pengembangan telematika di daerah. Parahnya, kebijakan itu juga mengabaikan hak-hak dasar warga yang sudah dijamin di konstitusi,” jelasnya.
Hak atas informasi ini dijamin oleh Konstitusi atau UUD 1945. Pada pasal 28F dinyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kenyataannya, para ornop melihat kebijakan telematika yang ada justru menyederhanakan hak warga sekadar persoalan hak konsumen atau pengguna. Dalam urusan telematika, pemerintah sekadar mengatur perlindungan konsumen tapi bukan warga negara. Akibatnya, prinsip pelayanan universal telematika terabaikan. Pelayanan universal telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan telematika.
Pengurus Jaringan Radio Komunitas Indonesia, Iman Abda, melihat tumpang-tindih dalam dunia telematika menunjukkan adanya salah urus yang dilakukan pemerintah. Iman berpendapat wilayah kerja telematika cukup luas, meliputi telekomunikasi, informatika (atau teknologi informasi) dan media (termasuk didalamnya penyiaran). Seharusnya pemerintah mampu merumuskan kebijakan-kebijakan tersebut dalam dalam satu tangan, sebab di lapangan sudah muncul praktik-pratik konvergensi yang menghilangkan sekat-sekat di ketiga bidang itu.
“Urusan konvergensi kan sukar ditangani hanya dengan koordinasi antarlembaga. Konvergensi berjalan dan berkembang terus-menerus, baik yang menyangkut teknologinya, jasa, dan struktur industrinya,” jelas Iman.
Lebih lanjut, Iman mengatakan kebijakan telematika dalam satu tangan akan memberikan kemudahan dalam merumuskan kebijakan yang terpadu di setiap bidang yang dapat mendorong perkembangan dan penerapannya secara terpadu.