Oleh Sumiyati
Selama ini radio komunitas (rakom) dianggap sebagai media yang mampu mengakomodasi kebutuhan warga akan informasi dan komunikasi. Tidak heran jika partisipasi masyarakat menjadi kunci utama keberadaan rakom. Dalam hal ini bukan saja secara finansial, tetapi yang penting bahwa radio tersebut bisa menjadi media informasi dan komunikasi yang berguna bagi komunitasnya. Tulisan ini hendak membahas bagaimana para pegiat rakom memaknai partisipasi warganya.
Bicara soal makna partisipasi dari pandangan para pegiat radio komunitas tentunya sangat beragam. Umumnya partisipasi dimaknai sebagai keterlibatan warga dari mulai perencanaan hingga pengelolaan radio. Ada pula yang menganggap bahwa masyarakat mau mendengarkan radio komunitas saja sudah merupakan bentuk partisipasi. Bagi pengelola Radio Komunitas Suara Malioboro misalnya, partisipasi dimaknai ketika masyarakat menggunakan radio sebagai media promosi atau secara rutin bersedia mengisi acara siaran. Radio Suara Malioboro sendiri berangkat dari komunitas kawasan Malioboro, tak terkecuali anak jalanan yang saban hari mangkal di kawasan pertokoan tersebut. Radio ini juga menyuarakan anak jalanan yang turut berpartisipasi dalam siaran radio. Menariknya mereka pula yang terlibat dalam pencarian berita mengenai kehidupan sesama anak jalanan. “Mereka mewawancarai dirinya sendiri ketika terjadi garukan,” papar pengelola radio, Ibnu Sumarno.
Bertahan dengan swadaya masyarakat
Jika mengacu pada laporan diskusi dari konferensi Asosiasi Radio Komunitas Sedunia Ke-9 di Amman, Yordania, maka masalah keberlanjutan rakom sangat krusial. Di berbagai negara, kasus matinya radio komunitas sangat tinggi. Akhirnya disimpulkan bahwa untuk menunjang keberlanjutan sebuah radio komunitas, warga seharusnya juga berpartisipasi dalam hal pendanaan, oleh karena radio itu pun merupakan bagian dari kebutuhan mereka akan informasi dan komunikasi. Untuk di Indonesia, beberapa rakom telah menerapkan hal ini. Radio Balai Budaya Minomartani (BBM) dan Murakabi misalnya, operasional radio didanai dari sumbangan sukarela komunitasnya.
Menarik untuk mencermati Radio Angkringan. Walaupun telah berdiri sejak 6 tahun lalu, namun keterlibatan warga menyangkut pendanaan masih sangat minim. Bila di Radio Komunitas BBM dan Murakabi warga antusias menyumbang bila radio mengalami kerusakan, di Angkringan pengelola terpaksa iuran untuk membetulkan peralatan yang rusak. “Kalau ada kerusakan ya pengelola yang terpaksa bantingan,” lanjut Jaswadi dari Radio Komunitas Angkringan. Baru setelah ada gempa bumi yang menimpa Yogyakarta pada 27 Mei 2006, warga berbondongbondong menggunakan peralatan yang ada di Angkringan. Mereka menyumbang pembelian tinta printer untuk membuat laporan penggunaan dana rekonstruksi. Tapi toh kerusakan peralatan radio akibat gempa tidak didanai oleh warga, melainkan dari pihak luar.
Merancang program bersama
Selain pendanaan, partisipasi warga juga dapat ditemui pada program radio. Ada yang mengartikan bahwa animo masyarakat untuk menelepon program talkshow sudah merupakan partisipasi. Di Radio BBM, warga sangat antusias dengan acara talkshow seperti Tromulur. Tak semulus cerita di Radio Balai Budaya Minomartani, keterlibatan warga sangat minim ketika ada acara talkshow di Radio Komunitas Angkringan dan Murakabi. Penyebabnya adalah soal teknis, yaitu belum memadainya sarana telekomunikasi di wilayah Radio Angkringan dan terbatasnya daya jangkau Radio Mukarabi sehingga tidak dapat diterima oleh seluruh warga.
Lebih jauh lagi, pengelola radio mengajak partisipasi masyarakat untuk bersama merancang program radio. Di Radio Balai Budaya Minomartani misalnya, perancangan program didasarkan ranking teratas permintaan warga. Sebelumnya, pengelola radio menyampaikan program yang akan dijalankan. Warga kemudian memilih program mana yang paling disukai. Hal yang sama juga terjadi di Radio Angkringan. Pihak pengelola biasanya akan mengundang beberapa perwakilan tokoh masyarakat untuk berdialog menentukan sebuah program. Sejauh ini mekanisme tersebut telah dilakukan sebanyak 2 kali. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa warga menghendaki program yang berisi tentang pertanian dan kebudayaan.
Mengukur partisipasi
Walaupun keberadaan rakom merupakan representasi warga, namun untuk mengukur keberhasilan partisipasi dalam sebuah rakom tetap mengalami perbedaan. Di beberapa rakom keberhasilan partisipasi masyarakat diukur dari keterlibatan warga dalam perencanaan, pendanaan, dan pengelolaan radio. Tanto, pengelola Radio Komunitas Wiladeg di Gunung Kidul, Yogyakarta mengungkapkan bahwa partisipasi yang baik adalah jika warga telah berinteraksi dengan radio.
Untuk mengukur sekaligus memelihara partisipasi warga maka beberapa radio pernah mengadakan survey pendengar. Radio Balai Budaya Minimartani, Wiladeg, dan Murakabi melakukan survey dengan cara mendatangi rumah warga. Hasil yang diperoleh dari survey ini warga masih antusias untuk mendengarkan radio tersebut.
Radio Angkringan nampaknya paling serius menggarap survey ke warga. Pengelola radio menyebarkan 100 kuesioner kepada warga. Kuesioner tersebut disebarkan ke 16 pedukuhan yang berada di wilayah Timbulharjo. Hasil poling menunjukkan bahwa 85 responden mengetahui keberadaan radio, empat responden tidak mengetahui radio dan yang tidak menjawab sebanyak 11 responden. Poling juga menunjukan bahwa program musik menjadi pilihan utama pendengar radio. Menariknya dari 100 orang responden sebanyak 84 responden mengatakan bersedia membantu radio agar tetap berjalan. Namun bentuk keterlibatan warga dilakukan dengan cara membeli kartu request. Responden yang membantu keberlangsungan Angkringan dengan cara membeli kartu request sebanyak 40 orang, sedangkan yang tertarik menjadi pengurus sebanyak satu orang. Warga Timbulharjo sebagai wilayah jangkauan Radio Angkringan juga siap menjadi pendengar setia jika radio tetap eksis di Timbulharjo.
Untuk soal program ternyata warga mengharapkan topik-topik seputar pemerintahan dan kebudayaan. Program ini pulalah yang direalisasikan oleh pengelola radio Angkringan sebagai wujud pengabdian kepada warga Timbulharjo. Kini, secara khusus Radio Angkringan mempersembahkan program kebudayaan yang disiarkan secara langsung dan aktif membahas informasi pemerintahan.
Krisis partisipasi
Layaknya pelari amatiran yang awalnya mengumbar tenaga tetapi belakangan terpaksa berhenti karena kehabisan tenaga, kondisi inilah yang juga dialami oleh rakom. Diawal berdirinya rakom, warga berduyunduyun terlibat dalam pengelolaan rakom. Namun ketika rakom telah berjalan cukup lama, partisipasi warga mulai menurun bahkan ada yang sampai berhenti siaran karena kehilangan partisipasi warga. Salah satu rakom yang mengalami krisis partisipasi adalah Radio Komunitas Panagati, Terban, Yogyakarta.
Saat berdiri, Panagati dijejali oleh warga yang aktif di radio. Kini, setelah berjalan hingga empat tahun, hanya tinggal satu pengelola radio yang tetap bertahan. Akibat di tinggal pengelolanya, terhitung sejak bulan Juni tahun lalu, Panagati berhenti menyapa pendengarnya di kawasan Kelurahan Terban. “Pengelola radio tinggal saya seorang, jadi terpaksa berhenti siaran untuk menghindari kebosanan,” papar Pak Kun, pengelola Radio Panagati.
Sebelumnya, Radio Panagati berada di bawah payung Paguyuban Pinter yang dibentuk dari dan oleh warga Kelurahan Terban. Sayangnya Paguyuban Pinter sendiri mengalami kemacetan yang berdampak juga terhadap Radio Panagati. Kini, Pak Kun hanya berharap agar ada warga yang mau terlibat dalam pengelolaan radio untuk menghidupkan Panagati. “Kalau saya dibantu satu orang saja, radio akan mengudara kembali,” lanjut Pak Kun.
Krisis partisipasi warga dalam sebuah rakom biasanya disebabkan oleh kesibukan pengelola seperti sekolah, atau pergi meninggalkan wilayahnya untuk bekerja. Menyiasati krisis partisipasi ini pengelola rakom berupaya melakukan regenerasi. Regenerasi dilakukan dengan mengambil pengelola yang masih usia sekolah. Di Radio Balai Budaya Minomartani, selain menyiasati krisis dengan regenerasi, pengelola juga berusaha untuk mencarikan pekerjaan bagi pegiat radio. Kini beberapa pegiat radio bekerja pada salah satu televise daerah. Cara ini ternyata cukup manjur untuk mengikat pengelola radio. “Kita berusaha untuk mencarikan kerja pengelola, sehingga mereka masih dapat terlibat dalam radio,” papar Surowo, pengelola Radio Balai Budaya Minomartani.
Cerita-cerita beberapa radio komunitas ini menunjukkan walaupun dikelola oleh warga masyarakat sendiri, tidak menjamin partisipasi warga akan berjalan mulus. Tanpa dibekali beragam metode partisipasi masyarakat, para pengelola radio komunitas sebenarnya telah berhadapan langsung dengan komunitasnya sendiri. Tentunya beragam “akrobat” telah mereka lakukan untuk merangsang partisipasi warganya. ***