Oleh Ade Tanesia
Menanggapi maraknya radio komunitas (rakom) di Indonesia (sekitar 400) , para pengamat media komunitas sering berpendapat bahwa kecenderungan masyarakat dalam memilih media radio disebabkan teknologi radio lebih efektif dibanding media cetak. Efektif dari sisi pendanaan, karena membangun radio ternyata dirasa lebih murah. Selain itu kuatnya budaya lisan dibanding budaya baca pada masyarakat menyebabkan media radio lebih disukai.
Namun pada kenyataannya mengelola informasi dan mengkomunikasikannya lewat radio bukan seperti membalikkan telapak tangan. Cukup banyak hambatan yang dialami oleh radio komunitas, sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat agar bisa tetap hidup. Masduki MSi, salah satu pengamat media komunitas mengatakan bahwa sekitar 30 radio komunitas di DIY dan Jawa Tengah telah berhenti siaran, baik untuk sementara waktu atau selamanya.
Imam Prakoso, Direktur Combine Resource Institution (CRI) yang kini sedang menjalankan studi radio komunitas di Indonesia mengungkapkan bahwa kebertahanan sebuah radio komunitas juga dipengaruhi oleh landasan berdirinya radio tersebut. Untuk rakom yang inisiatif awalnya berasal dari luar seperti LSM, lembaga donor, pemerintah, mempunyai potensi tersendat atau tutup lebih besar. Terutama jika rakom tersebut tidak didukung pengorganisasian yang baik dan tak mampu mengembangkan keterlibatan masyarakat. Untuk rakom yang inisiatifnya berasal dari dalam komunitas itu sendiri ada dua jenis, yaitu yang awalnya didirikan oleh kelompok eksklusif (kelompok hobi) dan kelompok inklusif. ”Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, rakom yang awalnya dari kelompok hobi, hambatan utama adalah kurangnya kemampuan menggalang partisipasi dari masyarakat. Sebagai contoh jika ada alat yang rusak, maka kelompok atau individu itu saja yang harus memperbaikinya. Ini berbeda dengan rakom yang awalnya didirikan oleh kebutuhan masyarakat dan dibangun oleh beberapa pihak dari masyarakat itu sendiri, mereka biasanya lebih bertahan lama,” ungkap Imam Prakoso.
Ada dua faktor penting yang harus dipenuhi oleh seluruh rakom, yaitu dibutuhkan sejumlah orang yang cukup militan, artinya mereka yang mau meluangkan waktu, tenaga bahkan dana secara sukarela. Selain itu yang lebih penting lagi adalah partisipasi masyarakat dan kuatnya kelembagaan. Seringkali rakom ingin meningkatkan daya pancarnya agar jangkauan pendengarnya lebih jauh. Tetapi yang menjadi masalah, semakin besar daya jangkau maka partisipasi masyarakat semakin longgar. Berbeda dengan jangkauan yang relatif terbatas, maka partisipasi bisa lebih intens, bahkan sampai masyarakat itu sendiri yang memberikan masukan pada program acara di radio. Radio Bragi di Mataram, Lombok misalnya, mempunyai acara lagu-lagu Sasak (suku asli Lombok) lama yang ternyata sangat disukai oleh masyarakat.
Lalu apa yang harus dimiliki sebuah radio komunitas untuk keberlanjutan jangka panjangnya? Yang pertama adalah membangun basis masyarakat dengan memantau kebutuhannya. Kemudian sebuah rakom harus mendapat kepercayaan dari masyarakatnya. Rakom juga harus dijalankan secara profesional, artinya walaupun hampir sebagian besar rakom di Indonesia dikelola oleh para sukarelawan dari masyarakatnya sendiri, namun harus dikerjakan secara serius, misalnya jadwal siaran sebisa mungkin tepat waktu, setiap orang yang ditugasi menjadi penyiar harus menggali potensinya agar menjadi penyiar yang bagus dan disukai masyarakat. Sikap profesional ini pernah diterapkan oleh Radio Komunitas KOMPAK yang menerapkan kode etik siaran berikut sangsinya jika terjadi pelanggaran. Dalam kinerja rakomnya, ada aturan bahwa penyiar harus hadir 15 menit sebelum siaran, larangan merokok di dalam studio diterapkan dengan ketatl. Yang tak kalah pentingnya adalah upaya regenerasi pada orang-orang yang lebih muda. Radio Angkringan di desa Timbulharjo, DIY misalnya, menyebarkan formulir pendaftaran untuk menjadi penyiar ke seluruh kampung. Radio Panagati di daerah Terban, DIY, tak henti-henti mengajak masyarakatnya untuk menjadi penyiar. Bahkan yang terakhir, seorang nenek berusia 68 tahun, yang kerap dipanggil Mbah Rita, sudah berminat untuk siaran di salah satu program acaranya. Yang terakhir adalah kreatif dalam mencari dana. Sebagai contoh, Radio IQ di Lombok membuat kantin desa untuk menghidupi rakomnya. Radio Wiladeg di Yogyakarta juga sangat kreatif menjual program acara unggulannya kepada pihak-pihak yang ingin mengiklankan berbagai hal, dari mulai iklan hajatan nikah sampai pengenalan calon bupati yang siap bersaing di Pilkada. Radio Komunitas Wiladeg juga memanfaatkan jaringan perantau yang tinggal di Jakarta sebagai sumber dana. Ternyata perantau asal Wiladeg mempunyai keterikatan emosional pada radio ini, sehingga seringkali mereka memberikan bantuan jika ada kerusakan alat. Bahkan ada seorang perantau yang memanfaatkan Radio Wiladeg untuk menyiarkan kabar dirinya ke keluarganya di kampung. Suatu saat, keluarganya ternyata tidak dapat mendengar radio Wiladeg, karena posisi rumahnya berada di daerah bawah (kawasan Wiladeg memang berbuki-bukit). Akhirnya ia menyumbangkan dana pada Radio Wiladeg untuk meninggikan tower pemancarnya.
Untuk kebutuhan konsumsi penyiar, Radio Wiladeg juga mengadakan kerjasama dengan penjual pecel lele yang setiap malam berjualan di depan markas radionya. Bentuknya, Radio wiladeg memberikan voucher makan kepada pendengarnya. Oleh karena dipromosikan, akhirnya penjual pecel lele tidak jarang mengirimkan teh, kopi dan bungkusan nasi plus pecel lele ke studio Wiladeg. Jika ada pepatah banyak jalan menuju Roma, maka banyak jalan pula untuk menjaga keberlangsungan radio komunitas.