Tulisan ini adalah refleksi umum dari pengalaman dan pengamatan pribadi saya terhadap radio komunitas di Indonesia. Berangkat dari pertanyaan yang terus-menerus tentang potensi yang dimiliki radio komunitas untuk menjadi alat perubahan sosial. Dalam pengertian ini, radio dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung kerja-kerja yang dilakukan elemen kritis di masyarakatnya.
Latar berdiri radio komunitas di Indonesia
Radio komunitas di Indonesia punya sejarah dan dinamika yang agak berbeda jika dibandingkan dengan radio komunitas di negara-negara lain. Tipologi pertama adalah yang dominan kehadirannya, yaitu radio yang didirikan dari sekelompok orang atau individu yang memiliki hobi memainkan alat-alat komunikasi. Karena peralatan yang dibutuhkan cukup mudah dirakit, maka sebuah radio akan dengan cepat berdiri dan siarannya dapat didengarkan untuk jangkauan 2-10 km. Dalam perjalanannya, keberadaan radio-radio komunitas ditentukan oleh kemampuan dalam beberapa hal yang bersifat teknis dan manajerial. Kemampuan teknis misalnya saja dalam menangani kerusakan alat yang biasanya terjadi sewaktu-waktu, terkait dengan itu pula kemampuan pengelola memobilisasi dukungan pembiayaan untuk mengganti perangkat tertentu yang rusak.
Sementara kemampuan manajerial terkait dengan pengelolaan sumber daya manusia yang konsisten menjalankan kegiatan operasional radio sehari-hari. Pada area ini memang seringkali radio komunitas mengalami masalah, karena meskipun kehadirannya telah diterima di masyarakatnya, namun sejak awal mereka tetap dijalankan oleh sekelompok kecil anggota masyarakat bahkan beberapa individu saja. Dalam hal ini, radio komunitas tersebut hadir begitu saja tanpa keterlibatan dalam kehidupan sosial sehari-hari yang real.
Tipologi berikutnya adalah radio yang berdiri atas inisiasi LSM atau organisasi nonpemerintah yang bekerja di tingkat lokal masyarakat. Intervensi kelompok-kelompok pemberdayaan ini bisa bersifat langsung, misalnya dengan menyediakan dana atau peralatan hingga mengawal konten dan pengelolaannya atau secara tidak langsung, misalnya memberikan visi dan asistensi teknis di awal pendiriannya. Meskipun hasilnya bervariasi, namun pola intervensi di awal tersebut kelak juga akan menentukan peran radio selanjutnya sebagai alat kritik sosial. Namun yang sudah jelas berbeda, setidaknya pada tipologi kedua ini, radio lahir dengan cita-cita untuk aktif terlibat dalam praktek sosial politik masyarakat pendengarnya. Gagasan perubahan sosial yang diusung oleh LSM/ornop di sini diinternalisasi ke sekelompok anggota masyarakat yang dilibatkan untuk menjadi pengelola radio. Tentu saja seperti juga alat lainnya, bagi LSM/ornop diharapkan radio komunitas ini pada saat yang diharapkan nantinya dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat tersebut.
Mengemas produksi, mengangkatnya menjadi agitasi
Pada bagian ini saya akan keluar dari pembahasan tipologi yang tersebut di atas. Sebagian besar radio komunitas yang pernah saya kunjungi, menggunakan radio sebagai sarana hiburan bagi komunitasnya. Seberapapun besarnya intervensi pihak lain untuk memberikan peningkatan kapasitas produksi maupun konten, radio komunitas akan tetap pada kualitas utamanya untuk mengisi kebutuhan hiburan masyarakat. Informasi jika pun diberikan akan dikemas sedemikian rupa agar tetap mengandung muatan hiburan. Kekhawatiran ditinggal khalayak pendengarnya, bila harus menyiarkan acara non hiburan, adalah pangkalnya. Tentu saja saya tidak ingin mematahkan keyakinan tersebut. Masyarakat desa, terutama miskin segalanya. Termasuk hiburan yang bisa membuat hati mereka melupakan kesulitan hidup, seperti hasil tanam yang gagal, harga pupuk yang makin tinggi atau harga bahan bakar yang terus merayap naik. Masyarakat miskin kota, sama saja. Mereka bahkan bisa diduga telah muak dengan berlimpah ruahnya informasi yang akhirnya menjadi sampah. Namun demikian, satu hal yang tidak bisa tidak ditampik adalah radio komunitas mengemban fungsi sosial. Dan meski tanpa rasionalitas tersebut saya harus mengatakan bahwa masyarakat tidak hanya membutuhkan hiburan, seperti juga mereka tidak hanya membutuhkan informasi semata. Persoalannya bagaimana memproduksi informasi, mendekatkannya dengan realitas sehari-hari mereka.
Ada dua area ketika kita masuk ke wilayah produksi konten, yaitu kapasitas teknis dan kapasitas non teknis. Mengemas konten dan mengangkatnya menjadi produk audio yang layak di kuping pendengar adalah wilayah teknis. Beberapa LSM seperti Combine kerap masuk ke wilayah penguatan kapasitas teknis. Keahlian jurnalisme audio dan pengolahan hasil audio dengan perangkat lunak komputer adalah prasyaratnya. Sayangnya keahlian ini hanya salah satu bagian dari beberapa tahap panjang yang harus dilakukan. Tahapan lain di luar itu harus disebut sebagai keahlian pengorganisasian.
Sebuah siklus dapat menggambarkan aktivitas produksi konten audio ini:
Bila melakukan komparasi dengan kenyataan di lapangan, maka sejumlah ragam variasi akan ditemukan. Beberapa contoh radio komunitas yang saya catat sebagai terbaik dalam menerapkan aktivitas ini dapat melakukan hampir keseluruhan dari langkah-langkah tersebut, meskipun amat jarang yang dapat betul-betul melakukan tahap ke 7. Persoalannya ternyata bukan pada urutan dan menuntaskan setiap langkah-langkah tersebut. Namun bagaimana menerapkannya ke dalam sebuah praktek yang berulang atau siklus. Bagaimana membuat radio komunitas memimpin agitasi yang dipilihnya sejak awal dan mengawalnya terus-menerus. Kebanyakan yang terjadi mereka melemparkannya untuk membiarkannya melayang tanpa sasaran. Pada akhirnya membiarkan kesadaran massa rakyat mengambang kembali.
Faktor-faktor pendukung dan penghambat keberlanjutan
Pengelola radio komunitas memang masih jauh dari pengetahuan dan metode pengorganisasian. Jangankan pada tingkat aksi, bahkan pada pengelolaan materi agitasi. Meskipun demikian, perlu diperjelas sejak awal prinsip pembagian kerja antara pengelola radio dengan massa rakyat. Pertanyaan nya yang pertama, tentu saja apakah pembagian kerja tersebut memang perlu atau malah tidak sama sekali? Kemungkinan yang terakhir ini bila berasumsi bahwa pengelola radio komunitas adalah bagian dari massa rakyat nya. Karena radio komunitas adalah dari, untuk dan oleh komunitas. Hakekat tersebut yang membuat secara prinsip radio komunitas, meskipun mendapat intervensi dari LSM/Ornop, harus tetap ada bersama-sama dengan komunitasnya sampai kapanpun. Bagaimanapun kemungkinan pembagian peran harus dipikirkan, karena pengelola radio komunitas di Indonesia berwatak non politis. Oleh karena itu, identifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat mungkin akan membantu sebagai awal upaya pembagian peran tersebut:
1.Menemukan pionir lokal. Jika kembali melihat ke tipologi di bagian awal tulisan ini, mereka yang langgeng berada di komunitasnya adalah orang-orang kebanyakan, dengan karakter non aktivis NGO, namun dikenal sebagai individu yang aktif bermasyarakat. Radio Komunitas Bimantara di Lampung Tengah dapat menjadi contoh radio komunitas rintisan seorang aktivis lokal, yang semula tanpa perspektif teoritik pemberdayaan, namun kemudian karena interaksinya dengan LSM konservasi lingkungan menjadikannya tampil sebagai alat advokasi dan kampanye lingkungan hidup, terutama ke arah perubahan sikap di tingkat komunitas. Zakariya, pengelola radio tersebut mengilustrasikan bagaimana sebelum radkom berdiri hingga tahun 2003, sebagian besar masyarakat desa, yang 80% merupakan perambah hutan asal etnis Sunda dan 20% etnis Jawa, merupakan pelaku liar penebang pohon (illegal logging) atau disebut sebagai ”maling kayu”. Namun setelah kampanye intensif yang dilakukan LSM Lingkungan dan bersama-sama dengan radkom, di tahun 2006 masyarakat secara kolektif membuat kesepakatan untuk bersama-sama menjaga hutan mereka. Bahkan jika ada yang diketahui melakukan pelanggaran, maka hukuman dari masyarakat akan dikenakan terhadap pelaku.
Mengintegrasikan perspektif yang telah dimiliki oleh aktivis lokal ke dalam agenda perubahan sosial oleh karena nya adalah tugas pertama yang harus dilakukan LSM. Meninggalkan wilayah kerja ini, dan memberikan fasilitasi non ideologis (seperti fokus pada pembangunan infrastruktur) sama saja membiarkan radio komunitas terjebak sebagai advonturer media.
2.Mendorong kepemimpinan di Jaringan Radio Komunitas level Provinsi. Mengharapkan kepemimpinan kolektif secara serta merta adalah mimpi, yang bisa diupayakan adalah memetakan potensi militan dari individu di suatu wilayah yang dapat secara konsisten mewakili perspektif radio komunitas di wilayahnya. Jika potensi tersebut ada, maka LSM harus sebisa mungkin “memelihara” potensi tersebut, menjaga nya agar individu ini tetap hadir di tengah kolega radio di wilayahnya, karena hanya dengan mempertahankan mobilitas yang bersangkutan maka konsolidasi dapat lebih terjamin. Pengalaman di Nusa Tenggara Barat dapat menjadi contoh untuk melihat konsolidasi yang baik di bawah pengurus JRK dengan komitmen yang kuat.
3.Capacity building produksi audio. Tidak semua radio komunitas berada pada level yang sama siapnya dalam menerima peningkatan kapasitas di bidang produksi. Berdasarkan pengalaman COMBINE, memberikan peningkatan kapasitas secara general kepada semua radkom tanpa melihat level kesadaran kritis yang dimiliki pengelola seringkali tidak memberikan hasil yang bermakna. Rakom Gelora Fm di Desa Senyiur, Kabupaten Lombok Timur menyampaikan kegelisahan mereka melihat kondisi petani tembakau yang tak berdaya berhadapan dengan perusahaan rokok dalam penentuan harga produk pertaniannya di pasar. Monopoli perusahaan rokok telah membuat mereka tidak berdaulat atas nasib nya sendiri. Para pengelola radkom menyadari bahwa mendorong petani untuk membangun organisasi adalah agenda yang penting. Namun kapasitas perangkat dan kemampuan mereka mengembangkan produksi audio masih jauh dari memadai. Radkom dalam kategori inilah yang seharusnya mendapatkan prioritas fasilitasi.
4.Mengambil jarak dengan sumber dukungan yang tidak netral. Berjaringan dengan pihak-pihak lain (stakeholder) tidak selalu sama artinya dengan menerima dukungan pendanaan dan fasilitas dari mereka. Tidak sedikit radio komunitas di Indonesia yang akhirnya harus mengorbankan kemandirian posisi yang telah mereka miliki setelah menerima dukungan pemerintah desa atau instansi dinas yang mengalokasikan dana tertentu untuk mendukung perkembangan radkom. Oleh karena itu, saya bisa memahami kehati-hatian Radio Primadona FM, kecamatan Bayan, Lombok Utara terhadap dukungan pendanaan yang ditawarkan pemerintah. Meskipun demikian berita yang mereka angkat secara rutin ke web suara komunitas menjadi rujukan dan perhatian pemerintah kabupaten. Menurut pengelola radkom ini, menerima bantuan seberapapun besarnya akan membuat mereka sungkan untuk mengkritisi kebijakan yang salah yang sewaktu-waktu diterapkan pemerintah.
Di luar ke 4 hal di atas, menjaringkan radio komunitas dengan mitra-mitra di tingkat lokal menjadi langkah yang tidak kalah pentingnya. Mendorong mereka untuk memetakan kemitraan yang terdekat dengan keberadaannya adalah solusi untuk melepaskan mereka dari ketergantungan dengan satu sumber dukungan.
Ranggoaini Jahja, Deputi Direktur COMBINE Resource Institution Yogyakarta, Indonesia