Pemerintah Desa Dermaji mendeklarasikan Dermaji Goes Open Source (DGOS). Deklarasi DGOS dilakukan setelah desa itu sukses melakukan migrasi dari piranti lunak berbayar menuju ke piranti lunak sumber terbuka (free and open source software/FOSS). Tim DGOS menjadi meja bantuan (helpdesk) bagi desa-desa di Banyumas wilayah barat, khususnya Kecamatan Lumbir, yang ingin memutus ketergantungan pada piranti lunak berbayar.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Desa Dermaji, Bayu Setyo Nugroho, pada Pralokakarya Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas (19/5/2012). Saat itu, Kang Bayu atau SBN, panggilan akrab Bayu Setyo Nugroho, didaulat menjadi narasumber yang menjelaskan tentang visi Gerakan Desa Membangun (GDM). Baginya, pemanfaatan FOSS merupakan syarat wajib apabila desa ingin membangun kemandirian di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
“Pemanfaaan FOSS di kantor Desa Dermaji sudah berlangsung tiga bulan. Para perangkat desa sudah akrab dengan software itu, baik untuk mendukung keperluan administrasi perkantoran dan pelayanan kepada masyarakat. Bahkan, sekarang perangkat desa sudah mampu memasang sistem itu di komputer maupun laptop,” jelas SBN.
Langkah Desa Dermaji dikuatkan oleh 25 desa jejaring Gerakan Desa Membangun (GDM) yang sudah memanfaatkan FOSS. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi desa-desa di Banyumas menggunakan FOSS, mulai dari alasan ekonomi, hukum, hingga penegasan jati diri dan identitas.
Menurut Bayu, penggunaan FOSS memangkas dana belanja desa untuk pengadaan dan perawatan software. FOSS mudah didapat dan gratis. Dibanding sistem oprasi komputer lainnya, FOSS lebih aman dari gangguan virus. Sebaliknya, penggunaan piranti lunak berbayar (proprietary software) menguras anggaran dan lebih rentan akan terserang virus.
“Penggunaan FOSS dapat menghemat anggaran yang biasanya digunakan untuk pembelian software, perawatan, maupun biaya instal ulang. Banyak data yang hilang akibat serangan virus komputer. Hal itu menjadi beban baru bagi pemerintah desa yang umumnya pengguna awam,” tambahnya.
Selain itu, bagi pemerintah desa, penggunaan FOSS merupakan wujud ketaatan mereka kepada hukum. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia telah mengirimkan Surat Edaran bernomor: 05/SE/M.KOMINFO/10/2005 yang ditujukan kepada Para Menteri, Panglima TNI, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Gubernur Bank Indonesia, Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Para Gubernur, Para Bupati/Walikota dan Para Direksi BUMN untuk mendukung dan menggunakan piranti lunak legal di lingkungan instansi Pemerintah.
“FOSS menghindari terganggunya pelayanan publik akibat pelanggaran hukum,” tegas Kang Bayu.
Penggunaan proprietary software juga hanya memposisikan desa sebagai konsumen semata. Pengetahuan pengguna terhadap kode-kode program sangat dibatasi. Bahkan, ketika pengguna mampu membuka kode programnya (source code) mereka bisa dijerat pidana, yaitu melanggar hak cipta.
Hal beda terjadi pada FOSS. Selain gratis, para penggunanya juga didorong mempelajari kode sumber hingga bisa mengembangkannya sesuai dengan keperluan dan kreasi mereka. Dampak nyata di Banyumas, sekarang ini desa-desa di Banyumas menjadi pegiat Komunitas BlankOn Banyumas. Mereka tak sekadar sebagai pemakai, namun mulai berkreasi pembuat sistem antarmuka komputer dalam bahasa Banyumas. Bagi Bayu, penggunaan FOSS juga menyangkut penegasan jati diri dan identitas.
“Amazing, teknologi ini mampu mewadahi kreativitas dan kultur masyarakat. Kita berencana pada 17 Agustus 2012 meluncurkan BlankOn Banyumas, sebuah sistem operasi komputer canggih dengan citarasa Banyumas,” kisah Bayu disambut dengan tepuk tangan peserta pralokakarya.
Keberadaan DGOS melengkapi tim kerja bantuan FOSS yang sudah ada, seperti Mandalamekar Goes Open Source (Jatiwaras, Tasikmalaya) dan Melung Goes Open Source (Kedungbanteng, Banyumas). Para pegiat DGOS sudah terampil untuk melakukan instalasi program, pengaturan printer, penggunaan aplikasi untuk mendukung pemerintahan desa, maupun pengaturan modem internet dan jaringan. Bravo DGOS!