Oleh Zein Muffarih Muktaf
Apa yang Anda pikirkan jika suatu hari bertemu dengan anak muda dari suku pedalaman yang lincah mengoperasikan komputer serta menguasai teknologi informasi? Bisa jadi Anda akan terkaget-kaget bercampur salut dengan anak muda tersebut. Adalah ITITI (Information Technology for the Tibes of India) yang mendirikan sebuah lembaga pendidikan bagi masyarakat suku di Dehra Dun, Uttaranchak, India. Keterbelakangan masyarakatnya karena posisi geografis yang terisolisasi (wilayah itu di kelilingi pegunungan) membuat wilayah tersebut terasing dan sulit terjangkau peradaban modern. Jangankan bicara tentang komputer, kereta api yang menjadi alat transportasi utama masyarakat India saja masih banyak yang belum pernah melihatnya.
Lembaga pendidikan ini didirikan dengan tujuan agar masyarakat suku didaerah tersebut bisa mendapatkan pendidikan yang layak, seperti halnya masyarakat lain di negaranya. Lembaga tersebut mengajarkan pengetahuan kepada kaum muda, dengan alasan generasi muda yang kelak meneruskan keahlian ke generasi selanjutnya. ITITI lebih memfokuskan diri pada kemampuan teknologi informasi (TI), pelatihan wirausaha, serta peningkatkan respons kepekaan terhadap pembangunan sosial.
Para anak muda dari suku pedalaman ini ditempatkan dalam sebuah asrama. Hidup mereka di asrama tidak dipungut ongkos sepeser pun, begitu juga dengan biaya belajar mereka.
Budaya pendidikan tradisional bangsa India secara tidak langsung juga turut andil dalam mendukung pola pendidikan asrama. Sistem kuno yang terkenal dengan julukan Gurukula, konon mengajarkan belajar di dalam rumah. Filosofinya rumah dianggap sebagai guru. Pola asrama dikembangkan meniru sistem tersebut dan menjadi ciri khas lembaga pendidikan yang dijalankan itu.
Pemimpin Institut Dr Bharat Bhasker, mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan ini adalah membekali masyarakat suku-suku pedalaman agar mampu mengikuti perubahan zaman. Selain itu mereka juga diharapkan menjadi manusia yang siap dalam menghadapi dunia kerja, membangun karakteristik diri, dan menjadi manusia yang disiplin.
Pola pendidikannya dimulai dari kelas 6 hingga 12 dengan lama belajar 3 tahun. Kurikulum Teknologi informasi (TI) dilalui dengan 5 tingkat yang juga disesuaikan dengan kurikulum regional CBSE (Central Board of Secondary Education), sebuah sistem standar kurikulum pendidikan ekstra formal di India. Di dalam kurikulum TI tersebut terdapat berbagai macam mata pelajaran seperti pengembangan web, manajemen data, program, membuat jaringan, dasar-dasar pengoperasian TI, multimedia, dan perangkat keras.
Aturan untuk bersaing satu sama lain membuat sistem pendidikannya cenderung progresif. Institut memberikan kebebasan Budaya pendidikan tradisional bangsa India secara tidak langsung juga turut andil dalam mendukung pola pendidikan asrama. Sistem kuno yang terkenal dengan julukan Gurukula, konon mengajarkan belajar di dalam rumah. Filosofinya rumah dianggap sebagai guru. Pola asrama dikembangkan meniru sistem tersebut dan menjadi ciri khas lembaga pendidikan yang dijalankan itu.
Pemimpin Institut Dr Bharat Bhasker, mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan ini adalah membekali masyarakat suku-suku pedalaman agar mampu mengikuti perubahan zaman. Selain itu mereka juga diharapkan menjadi manusia yang siap dalam menghadapi dunia kerja, membangun karakteristik diri, dan menjadi manusia yang disiplin.
Pola pendidikannya dimulai dari kelas 6 hingga 12 dengan lama belajar 3 tahun. Kurikulum Teknologi informasi (TI) dilalui dengan 5 tingkat yang juga disesuaikan dengan kurikulum regional CBSE (Central Board of Secondary Education), sebuah sistem standar kurikulum pendidikan ekstra formal di India. Di dalam kurikulum TI tersebut terdapat berbagai macam mata pelajaran seperti pengembangan web, manajemen data, program, membuat jaringan, dasar-dasar pengoperasian TI, multimedia, dan perangkat keras.
Aturan untuk bersaing satu sama lain membuat sistem pendidikannya cenderung progresif. Institut memberikan kebebasan siswa untuk mengembangkan diri di dalam sekolah. Bukan hanya itu saja, agar siswa tergugah untuk selalu belajar, para pengajar sering memotivasi mereka dengan slogan-slogan yang memberi semangat bagi para siswa, seperti “pelajari dari belajarmu” atau “belajar, maka kamu akan mendapatkan upah”. Dengan slogan-slogan tersebut siswa diajak agar giat belajar sampai akhinya dihadapkan pada dua pilihan, menjadi wirausaha atau kembali meneruskan pendidikan yang lebih tinggi.
Banyak suku pedalaman yang belajar di ITITI, seperti suku Dimapur, Kohima, Gangtok, Kachar, dan Haflong. Walaupun bahasa dan budaya mereka berbeda, namun ada satu mimpi yang mengikat mereka, yakni kuch karke dikhana hai (kita punya sesuatu yang bisa kita pamerkan kepada dunia).