Pembicaraan tentang bahasa jurnalistik baru ada artinya bila sudah ada ide yang akan ditulis. Bahasa hanyalah alat yang digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan. Dengan kata lain, hanya dengan penguasaan materi yang akan kita tuliskanlah, bahasa akan dapat kita gunakan sepenuhnya. Saya yakin Anda sudah sepenuhnya menguasai materi ide yang ingin Anda tuliskan, sehingga pembicaraan kita hanya berusaha membahas masalah bahasa yang digunakan dalam dunia jurnalistik.
Ada berbagai macam bahasa, tetapi pokok bahasan kita tentunya hanya bahasa kata. Secara sederhana bahasa kata bisa kita lihat dalam dua aspek, yaitu struktur kalimat dan teknik penyajian. Mungkin ahli bahasa punya pengolongan lain, yang saya sendiri tidak tahu. Maklum saja, dalam hal teori bahasa, saya mungkin lebih awam ketimbang Anda.
Untuk struktur kalimat ini sudah ada kaidah-kaidah (norma) yang baku. Saya hanya berpikir sederhana saja, dengan melihat bahwa struktur kalimat adalah susunan kata-kata yang mengandung arti untuk menampung suatu ide atau gagasan. Sedang teknik penyajian merupakan gaya yang digunakan dalam menyampaikan susunan kata-kata tersebut. Dari struktur dan teknik ini akan lahir bentuk komunikasi, baik berupa bunyi maupun tulisan. Adapun maksud kita berstruktur dan berteknik itu adalah untuk memperoleh bentuk komunikasi yang jelas dan enak. Dilihat dari sisi pembaca, tulisan kita akan dipahami dan dihayati. Artinya, tulisan kita bisa memasuki dunia kognitif dan afektif pihak pembaca. Kejelasan akan membuat tulisan kita gampang dipahami, sedang gaya yang enak akan lebih menyusupi perasaan pembaca.
Tadi sudah saya sebutkan bahwa bahasa kata ada yang berdasarkan kaidah yang baku. Biasanya kalau kita belajar bahasa kita akan dicekoki dengan tata-bahasa yang kadang-kadang bisa membuat kita sampai membenci pelajaran bahasa itu. Dan saya termasuk dalam golongan ini. Karenanya saya tidak akan mengajak Anda untuk membicarakan tata-bahasa yang memang tidak
menarik itu. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa bahasa kata pada dasarnya ada dua macam, yaitu yang terkodefikasi dalam norma yang baku, dan yang digunakan sehari-hari baik oleh awam, sastrawan maupun wartawan.
Jurnalistik dan Kaidah Bahasa
Bahasa kata dalam tulisan sastra dan jurnalistik bertolak dari kaidah-kaidah kebiasaan. Jangan dikira sastra dan jurnalistik tidak punya kaidah, sebagaimana sering dituduhkan ahli tata-bahasa. Tulisan sastra memang sering menerjang kaidah-kaidah yang sudah terkodefikasi, tetapi ini sudah merupakan “hak”-nya. Hak untuk “merusak” ini (licentia poetica) yang melahirkan karya-karya sastra yang tinggi mutunya. Ahli tata bahasa akan mengkaji bahasa yang digunakan oleh para
sastrawan itu. Tentu saja, pelanggaran kaidah bahasa bukan sekadar mau merusak bahasa, tetapi untuk tujuan estetis, dari satu “pengrusakan” ke “pengrusakan” lainnyalah suatu bahasa diperkaya.
Sedang bahasa jurnalistik lain lagi macamnya. Ahli bahasa kerap pula menuduh bahwa media massa ikut merusak bahasa. Kalau kita sadari bahwa media massa itu sebenarnya menggunakan bahasa bertolak dari kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, pelanggaran akan kaidah bahasa bisa saja terjadi. Tentunya tidak seorangpun yang akan bersengaja merusak bahasa
bangsa dan masyarakatnya.
Setiap orang pada dasarnya akan berupaya untuk menggunakan bahasa dengan tertib. Tapi tentunya dalam penggunaan bahasa itu akan terkait dengan tujuannya. Seorang yang bicara dengan pacarnya tentunya tidak akan menggunakan bahasa dengan kaidah-kaidah bahasa yang terkodefikasi itu meski dia ahli-bahasa sekalipun, kecuali dia memang kepingin dianggap agak sableng.
Begitu pula bahasa jurnalistik. Kebiasaan-kebiasaan dalam bahasa jurnalistik bertolak dari tujuan yang ingin dicapai oleh kegiatan ini. “Pengrusakan” bahasa mungkin saja ada terjadi, dilakukan oleh wartawan yang memang semberono. Tapi anggapan tentang adanya pengrusakan bahasa oleh media massa seolah itu sudah merupakan kecenderungan jurnalistik, tentulah terlalu
berlebihan. Pada saat kita ingin menulis untuk orang banyak, berniat tulisan kita melampaui dan keluar dari komunitas kita yang ekeklusif, tak ada pilihan lain kecuali menggunakan bahasa jurnalistik.
Ciri Bahasa Jurnalistik
Kalau ditanyakan apa sebenarnya bahasa jurnalistik itu, tentulah tak bisa kita jawab. Karena sebenarnya memang tidak ada yang dapat kita sebut secara khusus sebagai bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik hanyalah satu di antara sekian banyak ragam penyajian ide atau gagasan yang menggunakan bahasa kata, di antara bahasa-bahasa lain semacam bahasa hukum, bahasa akunting, yang kesemuanya punya sasaran pembaca seluas-luasnya.
Efektivitas dan efisiensi dalam tulisan jurnalistik dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi pembaca, kita sebut efektif jika dengan cara pembaca yang sambil lalu ia dapat paham dan menghayati isi bacaannya; dan efisien jika dengan waktu yang cepat ia dapat menyelesaikan bacaannya dengan hasil yang maksimal. Jadi, kalau pembaca sampai berkerut kening untuk memahami suatu tulisan, katakanlah tulisan itu sudah gagal sebagai karya jurnalistik. Begitu pula kalau ia harus membuang waktu terlalu banyak untuk memahami tulisan tadi.
Dari sisi penulis, penulisan disebut efektif jika seluruh ide atau gagasan dapat disampaikan dengan lengkap; sedang efisien jika dengan kata yang lebih sedikit dapat menyampaikan ide dengan jelas. Misalnya, A da kepingin ngebon pada rekan Anda. Tentunya Anda ingin gagasan cemerlang itu dapat Anda sampaikan selengkapnya. Tentunya pula Anda akan menyampaikan
dengan sejumlah kalimat singkat. Kalau bisa dengan 5 kalimat, mengapa harus menggunakan 15 kalimat yang bisa membuat rekan Anda itu jengkel? Nah, teknik Anda menyampaikan ide itu dengan 5 kalimat sehingga tercapai tujuan Anda, itulah kita sebut efektif dan efisien. Kalau Anda menggunakan bahasa kata lisan, Anda bisa menggunakan perangkat komunikasi lainnya semacam
intonasi, akting memelas plus cucuran air mata buaya. Tapi untuk tulisan, Anda hanya bisa menggunakan kata-kata dan tAnda baca saja.
Bagaimana Menggunakan Bahasa dalam Tulisan?
Dalam menggunakan bahasa, kita selamanya akan menghadapi 3 hal pokok, yaitu pembentukan kata, pilihan kata (diksi), dan pembentukan kalimat. Ketiga hal ini merupakan proses yang menyatu pada saat kita menulis. Pembentukan kata yaitu penggunaan afiks maupun gabungan yang berasal dari kata-kata dasar, merupakan kegiatan yang paling banyak kita lakukan, meskipun mungkin sudah tidak kita sadari lagi. Misalnya kita ingin menulis tentang suatu keadaan yang “tidak adil”. Otomatis kita akan menulis “ketidak-adilan”. Bayangkan jika kita tidak tahu memanfaatkan afiks “ke-an”, betapa repotnya. Gabungan kata misalnya dapat secara produktif kita gunakan untuk menampung ungkapan. Kita ingin menggambarkan orang yang sulit sekali diubah pendapatnya yang keliru. Kita bisa menggunakan kata “kepala-batu”, dua kata yang letaknya sehari-hari biasanya berjauhan.
Pilihan kata merupakan kegiatan dalam penulisan yang sangat berperan dalam mengefektifkan tulisan. Kata-kata yang kita gunakan jika kita sadari perbedaan-perbedaannya akan sangat menunjang dalam penyampaian ide. Setidak-tidaknya ada 4 macam kata yang dapat digunakan dalam menyampaikan ide. Kelompok pertama adalah kata-kata yang mengacu kepada pengertian-pengertian yang sederhana karena sangat akrab dengan inderawi kita. Kata-kata ini bisa disebut sebagai kata denotasi, kongkrit, dan khusus. Kata kerbau, batu, sakit, dan sebagainya merupakan jenis kata ini.
Sedang kelompok kata kedua adalah kata yang lebih mengacu kepada perasaan maupun alam pikiran. Biasa disebut sebagai kata-kata konotasi, abstrak, dan umum. Kata kerbau bisa berkonotasi jika uraian dikaitkan dengan kebodohan, atau kata demokrasi akan mengacu kepada gagasan yang luas.
Kelompok kata ketiga adalah ungkapan (“figure of speech”), ini dapat berupa variasi gabungan kata yang dapat mengacu kepada makna yang berkonotasi. Diantaranya metafora, hiperbol, eufisme, dan sebagainya. Suatu kata kongkrit dapat lebih efektif memasuki alam pikiran pembaca jika dijadikan ungkapan. Kita bisa mengatakan seseorang bodoh. Tapi mungkin akan
lebih efektif kalau kita sebut orang itu “seperti kerbau”. Kata kumpul dan kerbau hanya merupakan kata kongkrit dan denotatif. Tapi kalau sudah disatukan menjadi “kumpul kerbau” tentulah akan mengacu kepada alam pikiran yang tidak sekadar mengambil arti, melainkan sudah kepada sikap, dan perasaan.
Kelompok kata keempat adalah idiom, yaitu sejumlah kata atau kombinasi kata yang sudah terbentuk lama dalam masyarakat untuk kemudian dibakukan. Kata-kata sejenis ini sudah tidak dipertanyakan lagi asal-usulnya. Misalnya kata “terdiri atas” atau “bergantung pada” sudah merupakan idiom, yang tak perlu lagi dipertanyakan mengapa harus begitu. Dan kata-kata idiom
tidak bisa diting-galkan begitu saja dengan alasan efisiensi kalimat. Kalau kita mengatakan “Rombongan Presiden terdiri atas menteri ini dan wartawan itu….,” idiom “terdiri atas” tidak mungkin kita hilangkan kata “atas”nya hanya karena alasan untuk lebih singkat.
Bagian terpenting dalam penulisan adalah pembentukan kalimat. Dalam kegiatan ini kita akan berhadapan dengan masalah penyusunan gatra, permutasi gatra, penggunaan kata tugas, dan penyusunan kalimat majemuk. Gatra adalah satu atau beberapa kata yang memiliki kedudukan dalam kalimat, semacam subjek,predikat dan lainnya. Kita tak perlu terlalu dipusingkan dengan
aturan-aturan subjek-predikat itu sepanjang kita tidak berniat untuk ujian bahasa Indonesia.
Kita hanya perlu tahu bahwa setiap kalimat selalu akan terdiri atas kata-kata yang mengandung arti, dan susunannya selamanya akan merupakan kombinasi sesuatu yang diterangkan, dan sesuatu yang menerangkan. Apakah itu bernama subjek, predikat, objek, atau apapun tidak menjadi soal. Yang penting dalam berkomunikasi menggunakan kata, kata-kata yang akan kita gunakan selamanya keluar satu demi satu. Nah, setiap kata yang keluar lebih awal akan diterangkan dan diberi makna baru oleh kata yang menyusulinya. Itu prinsip sederhananya.
Dalam menyusun kalimat, rasanya tidak ada salahnya kita mengingat kaidah yang paling konvensional, yaitu adanya subjek dan predikat. Dalam bahasa Indonesia yang paling sederhana, biasanya kita akan menggunakan pola “subjek diterangkan Predikat”. Tapi kalau dalam menulis kita terus-menerus menggunakan pola sederhana itu, agaknya akan membosankan. Karenanya dikenal permutasi gatra, yaitu menukar-nukar susunan kata, sehingga tidak hanya menggunakan susunan “subjek diterangkan Predikat”. Pola inversi semacam ini dapat digunakan sebagai variasi yang menyebabkan kalimat enak dibaca. Tetapi perlu berhati-hati dalam penggunaannya, sebab penempatan pola inversi yang tidak tepat, dapat mengakibatkan berbeda makna.
Kemudian kita mengenal pula kata tugas. Kata-kata ini berfungsi untuk memperluas kalimat, dengan jalan menghubungkan kata-kata atau bagian kalimat, sekaligus menentukan sifat hubungan setiap bagian tersebut. Sejumlah kata semacam: dan, bahwa, memang; akan berbeda fungsinya dengan kata semacam: melainkan, kecuali, justeru. Kata tugas dapat merombak keseluruhan arti suatu kalimat jika kurang hati-hati pengunaannya.
Jika kita sudah dapat menyusun kata-kata dengan efektif dan efisisen, mungkin kita akan menghadapi masalah penyusunan kalimat majemuk. Adakalanya ide kita tidak dapat ditampung oleh kalimat-kalimat tunggal, atau kita memang menginginkan adanya variasi dalam uraian kita. Untuk itu kita akan menggunakan kalimat majemuk. Dua atau lebih kalimat tunggal dapat kita gabungkan dengan menggunakan kata-kata tugas. Kata tugas itu akan menempatkan kalimat-kalimat yang digabungkan itu sebagai kalimat majemuk sederajat atau kalimat majemuk bertingkat.
Uraian singkat dalam paragraf diatas dimaksudkan sekadar untuk memberi gambaran pintu masuk yang harus dilalui jika seseorang ingin berlatih mewujudkan pikirannya dalam tulisan. Ada orang yang memperkembangkan kemampuannya untuk menulis dengan jalan memperhatikan tulisan orang lain. Tanpa harus sibuk dengan teori lingustik, ia dapat mengenali unsur-unsur dan
cara-cara si penulis dalam menyusun kalimat. Sementara pada pihak lain, ada orang yang sangat tahu soal teori linguistik, tetapi tidak pernah dapat menerapkannya dengan baik. Nah, dengan mengetahui unsur dalam pembentukan kalimat, mudah-mudahan Anda dapat lebih terarah dalam memperkembangkan kemampuan Anda dalam menulis.
Penalaran dalam Tulisan
Setelah kita menyusun kalimat demi kalimat untuk menampung ide kita, tentunya terasakan pentingnya menata-letaki ide kita itu. Cara menata-letaki itu adalah dengan mengatur pengelompokan bagian-bagian ide tersebut sehingga pembaca gampang mengikuti jalan pikiran kita.
Jika kita sadari bahwa kata hanya bisa disusun dengan mengeluarkan huruf demi huruf, dan kalimat disusun dengan mengeluarkan kata demi kata, maka ide pun hanya akan disusun dengan mengeluarkan kalimat demi kalimat. Setiap bagian ide akan disampaikan dengan sejumlah kalimat. Dan pengelompokan kalimat yang biasa kita sebut alinea/paragraf ini merupakan satu kesatuan dari bagian-bagian ide yang ingin disampaikan.
Cara kita mengelompokkan kalimat sebagai paragraf ini bukan urusan bahasa lagi, tetapi sudah menyangkut penalaran. Bagaimana Anda mengorganisasikan alam pikiran Anda, dengan jalan melakukan sistematika atas keseluruhan ide yang ingin Anda sampaikan, kiranya merupakan masalah tersendiri. Tapi saya yakin dengan memaksa diri menuangkan apa yang dipikirkan dalam bentuk tulisan akan sangat membantu dalam mengorganisasikan alam pikiran. Ada hubungan saling mempengaruhi antara penalaran dan penggunaan bahasa. Nalar yang baik akan membantu dalam penggunaan bahasa yang efektif dan efisien, sementara bahasa yang efektif dan efisien akan membantu dalam penalaran alam pikiran.
Daya tarik tulisan
Rasanya kita sudah bisa menuangkan ide menjadi bentuk tulisan. Masalahnya sekarang agaknya adalah apakah tulisan itu sudah enak dan menarik buat dibaca? Daya tarik suatu tulisan terutama sangat diperlukan untuk jenis features, sebab berita jurnalistik semacam ini kekuatannya bukan pada nilai berita (news value)-nya. Variasi akan membuat suatu tulisan memiliki daya tarik, sehingga enak dan menarik dibaca.
Variasi yang dimaksud di sini adalah segala cara yang kita pakai dalam menggunakan kata dan menyusun kalimat sebagaimana diutarakan di atas. Tetapi selain itu masih ada cara lain untuk membuat tulisan enak dan menarik. Yaitu dengan membuatnya mampu memberikan sentuhan emosional (“emotional touch”). Sentuhan emosional bukan berarti tulisan itu belepotan dengan
kata-kata yang emosional ataupun merupakan luapan emosi penulisnya. Bukan itu. Sentuhan emosional itu tak lain dari tergugahnya keharuan pembaca. Keharuan di sini dalam arti yang luas, berupa setiap dinamik yang berlangsung dalam perasaan orang. Bisa berupa kesenangan, kesedihan, kelucuan, dan semacamnya. Ikut sertanya emosi pembaca larut dalam mengikuti suatu
tulisan, bisa kita sebut sebagai berlangsungnya proses penghayatan. Cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan menyampaikan ide disertai humor yang cerdas/jenaka (“witt”), yaitu dengan membawa asosiasi pembaca kepada situasi-situasi yang akrab baginya.
Ashadi Siregar, pernah disampaikan pada LOKAKARYA JURNALISTIK RUMPUN BAHASA INDONESIA, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yogyakarta 4 – 25 Februari 1995