Oleh : Apriliana Susanti
Bentuknya memang sederhana, hanya lembaran kertas yang ditempelkan di dinding anyaman bambu rumah pertemuan bergaya menara khas Sumba. Namun, justru dari lembaran kertas sederhana itulah, semua informasi penting terdokumentasi, mulai dari seputar tenun hingga topik keseharian di masyarakat. Lembaran kertas dengan tulisan tangan itu bertransformasi menjadi media berbagi informasi dari, oleh dan untuk komunitas para perajin tenun Kandaba Mopir dan Icen Daha di Sumba Barat Daya, NTT.
Pulpen itu bergerak canggung ketika tangan kokoh Mama Reta menggesekkannya di atas kertas putih. Dengan penuh konsentrasi, wanita paruh baya itu berusaha keras membentuk sebuah pola dengan pulpennya itu.
“Ini namanya mamoli yang artinya rahim wanita, sebuah motif warisan nenek moyang kami sebagai penghargaan kepada wanita di Sumba,†ujarnya sambil menunjukkan pola mirip rahim wanita yang tadi digambarnya.
Kecanggungannya dalam membaca dan menulis tak menyurutkan semangat Mama Reta untuk membagikan pengalamannya mengolah tenun kepada anggota komunitas lainnya. Meski baru setahun mengenal baca tulis, Mama Reta sadar betul pentingnya saling berbagi pengetahuan melalui media tulisan. Tak ingin muluk-muluk menceritakan motif tenun lewat kata-kata, Mama Reta memilih membagikan wawasannya itu lewat gambar, sebuah bahasa universal sejak jaman purba. Gambar motif mamoli buatan Mama Reta itu pun lalu ditempel di selembar kertas yang dipajang di dinding anyaman bambu Uma Pege, balai pertemuan warga di Desa Kandahu Tana, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya.
Sesuai Kondisi Komunitas
Mama Reta adalah satu dari delapan belas perempuan perajin tenun yang membagikan pengalaman dan wawasan mereka melalui media papan informasi. Dalam kultur masyarakat Sumba, perempuan memang banyak terlibat dalam produksi kerajinan kain tenun untuk menunjang ekonomi keluarganya. Tergabung dalam komunitas Kandaba Mopir dan Icen Daha, para perempuan perajin tenun ini belajar mengelola papan informasi sederhana tersebut untuk menguatkan alur penyebaran informasi dan pengetahuan komunitas.
Informasi yang disebarkan dalam papan informasi itu tak hanya eksklusif untuk anggota komunitasnya saja, namun juga untuk warga umum di luar komunitas itu. Untuk anggota komunitas, papan informasi ini menjadi media berbagi wawasan seputar tenun dan pemasarannya. Di samping itu, pemberitahuan serta laporan hasil pertemuan bagi anggota yang tidak bisa hadir dalam forum juga dipajang dalam papan informasi ini. Sementara untuk warga di luar komunitas, papan informasi ini menjadi media saling bertukar informasi seputar topik keseharian semisal pendidikan, kesehatan, pupuk organik untuk tanaman sayur, pemanfaatan apotek hidup, dan lain-lain.
Hadirnya papan informasi di Uma Pege tak lepas dari upaya Combine Resource Institution (CRI) untuk menguatkan kapasitas perajin tenun di sana lewat media komunitas. Melalui divisi Pasar Komunitas, sejak Juni 2015 lalu CRI telah mengenalkan papan informasi sebagai salah satu media komunitas untuk menunjang penguatan alur penyebaran informasi dan pengetahuan komunitas perajin tenun. Berkolaborasi dengan Yayasan Donders yang memiliki misi pelayanan pada kaum marjinal, kemandirian, pemberdayaan, kerja sama dan penghargaan pada kearifan lokal, CRI mengenalkan papan informasi ini menjadi media komunitas pertama bagi dua komunitas tenun dari Desa Kandahu Tana, Kalena Ronggo, dan Homba Karipit di Kodi Utara.
Hakekat media komunitas memang bukanlah pada alat atau medianya melainkan fungsi dan karakternya yang harus sesuai dengan kondisi warga setempat. Minimnya ketersediaan listrik dan keterbatasan pengalaman warga membuat media audio apalagi audiovisual bukan menjadi pilihan pertama. Inilah yang terjadi di tiga desa tersebut. Munculnya kesadaran yang diikuti kegembiraan untuk berbagi informasi selain dengan cara lisan merupakan awal yang luar biasa bagi kelompok perempuan perajin tenun itu.
“Selama ini kurangnya akses informasi yang dibutuhkan para pelaku usaha kecil ini menjadi penghambat kemajuan usaha mereka, termasuk terkait pengembangan kualitas dari produk mereka. Persoalan lain yang dihadapi adalah belum tersedianya media informasi berbasis komunitas sebagai penunjang kemandirian mereka dalam mengelola segala sumber daya yang ada. Kedatangan pihak luar seperti CRI bukan untuk membawa dan memaksakan konsep tentang media, melainkan justru menyerap dan berangkat dari kultur, karakter serta konteks yang telah ada,†jelas Andrew Dananjaya dari CRI.
Penguatan Kapasitas Perajin Tenun Melalui Pelatihan
Usaha kerajinan tenun sebagai kain khas Pulau Sumba yang telah dikenal dunia, menghadapi tantangan yang beragam. Selain peran dan fungsi dari struktur organisasi yang belum optimal, tantangan lainnya adalah belum terbangunnya ruang belajar untuk eksplorasi ide serta gagasan terkait desain kreatif motif tenun komunitas. Akses informasi dan mekanisme pola pemasaran untuk menjangkau pasar di luar wilayah Kecamatan Kodi Utara juga masih belum maksimal. Padahal, perluasan pemasaran membutuhkan pengetahuan dan informasi perajin sebagai pelaku usaha. Lagi-lagi, kebutuhan tersebut masih menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas-komunitas perajin tenun di sana.
Berawal dari pemahaman tentang media komunitas sebagai pintu masuk, proses saling belajar pun berkembang ke ranah manajemen organisasi dan strategi pemasaran produk komunitas. Komunitas tersebut diajak merumuskan kembali tujuan komunitas, mengidentifikasi masalah dan mencari solusi atas masalah-masalah tersebut. Hasilnya, peserta sepakat untuk meningkatkan peran dan fungsi komunitas serta pengelolaan keuangan komunitas.
“Kami sadar, kekompakan memang hal yang masih sulit kami lakukan. Namun, kami sepakat bahwa agar kelompok tidak bubar, kami harus kompak dan jujur terutama soal anggaran keuangan,†aku Mama Amel, perajin tenun dari komunitas Kandaba Mopir.
Pengembangan kreativitas pun mulai dijejak. Mereka menyadari eksplorasi kreativitas itu dapat memberi nilai tambah pada hasil tenunan mereka, baik terkait pemilihan warna, motif dan detail tenun, maupun pemilihan bahan bakunya. Pengayaan motif tenun salah satunya bisa dilakukan dengan menggali simbol-simbol religi Marapu serta cerita lisan (folklore) tentang kearifan lokal Kodi. Mereka pun sepakat untuk mengoptimalkan peran kelompok sebagai ruang belajar untuk meningkatkan kreasi dan keterampilan anggotanya melalui forum bulanan.
“Tenun akan semakin menarik kalau kita bisa berkreasi dengan motif dan warna. Selama ini, produk kami memang masih belum mampu menampung cerita-cerita lokal di Kodi. Kami harap, pertemuan ini bisa menjadi ruang belajar bagi kami untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan,†ungkap Kristina, perajin tenun dari komunitas Icen Daha.
Motif tenun yang kaya tentunya akan menunjang ketertarikan pasar yang lebih luas. Kelak mama-mama itu akan setapak demi setapak memasuki pemahaman akan manfaat berjejaring dan media daring (online) sebagai bagian dari promosi serta pemasaran. Dan semuanya diawali dengan lembar-lembar kertas penuh gambar dan tulisan di tembok bambu.