Oleh Ade Tanesia
Di tengah gempita konferensi Global Knowledge di Kuala Lumpur, 11-13 Desember 2007, AMARC-WIN, asosiasi radio komunitas sedunia yang khusus menggerakkan keterlibatan perempuan dalam radio komunitas, menggelar pertemuan-pertemuan khusus untuk anggotanya. Dalam pertemuan itulah, perempuan penggerak radio komunitas dari berbagai negara di dunia melaporkan kondisi radio komunitasnya. Ruby Amable dari Ghana, misalnya, menceritakan masih sulit bagi perempuan di wilayah Afrika untuk terlibat di radio komunitas. Prioritas mereka adalah pekerjaan domestik, seperti mengurus anak dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia menambahkan bahwa ketika kita berbicara tentang hak-hak perempuan, akan lebih baik mereka terlibat dalam level manajemen. Hal itu bisa menjadi contoh kepada masyarakat bahwa perempuan sangat dihargai dalam lingkup kerjanya.
Kondisi perempuan di Afghanistan lebih mengenaskan lagi. Tamara, aktivitis asal Yordania, yang kini bekerja di Afghanistan, melaporkan bahwa sejak jatuhnya Taliban pada tahun 2001, berbagai organisasi internasional telah mendirikan stasiun radio di Afghanistan. Dari sekitar 60 radio yang ada, kira-kira hanya empat radio yang bentuknya seperti radio komunitas. Kami tetap melakukan survey, untuk melihat radio mana saja yang benar-benar radio komunitas, terangnya. Di Afghanistan, mudah untuk memperoleh izin, tetapi kebanyakan radio dikuasai oleh para pemuka agama atau tuan tanah. Hal itu menyulitkan perempuan untuk terlibat secara aktif. Terbukti, sudah dua perempuan yang bekerja di ranah media, dibunuh secara brutal.
Bagaimana dengan Nepal? Maya, pegiat radio komunitas dari Nepal, mengungkapkan bahwa 45 persen pengelola radionya adalah perempuan yang mengangkat isu-isu pemberdayaan perempuan. Di Nepal sendiri, 55 persen penduduknya adalah perempuan, tetapi tidak ada perwakilannya di level perumusan kebijakan. Masalah yang dihadapi adalah dibutuhkan lebih banyak lagi keterlibatan dari perempuan. Padahal, persoalan yang dihadapi perempuan di Nepal sangat banyak, dari mulai akses pendidikan, rendahnya jumlah perempuan di ranah media, dan kondisi kulturalnya yang mendorong perempuan menjadi sangat tergantung pada pria. Keterlibatan di ranah publik menjadi sulit karena mereka harus tinggal di rumah. Selama periode konflik, cukup banyak perempuan yang memperoleh pelatihan jurnalistik dari LSM. Stasiun radio yang dijalankan oleh perempuan didirikan di Kathmandu. Juga ada telecenter yang juga memiliki radio komunitas mempunyai program yang dikelola oleh perempuan muda. Masih ada harapan untuk Nepal.
Lain lagi dengan kasus di Philipina. Meskipun negeri itu dipimpin oleh seorang presiden perempuan, tetap saja represi terhadap perempuan berlangsung. Krisis ekonomi, juga peninggalan sejarah yang telah meletakkan perempuan di luar arena politik dan agama tidak berubah, hingga kini. Menurut Gwen, dalam situasi itu, peran radio komunitas menjadi vital, karena perempuan bisa menjadi pendengar dan pendidik. Lembaga ISIS dan Unesco telah membantu berdirinya radio komunitas di Philipina, dan diharapkan tetap ada pendampingan untuk melibatkan perempuan dalam mengelola program-programnya sendiri.
Dina Listyorini dari Indonesia, secara umum juga memaparkan kondisi perempuan dalam radio komunitas di Indonesia. Partisipasi perempuan dalam merancang program dan perencanaan masih sangat minim. Peran mereka lebih banyak sebagai penyiar. Hambatan perempuan untuk terlibat biasanya disebabkan oleh jam kerja. Sebagai penyiar, mereka bekerja antara pukul 20.00-21.00. Waktu yang sangat tidak efektif bagi perempuan di Indonesia yang rata-rata menghadapi halangan budaya. Di banyak daerah di Indonesia, perempuan yang pergi malam dianggap tidak baik.
India yang baru saja menggenggam izin untuk radio komunitas telah memperbaiki kebijakannya. Selama proses tersebut, forum radio komunitas telah dibentuk. Pembentukan forum itu guna melihat kesenjangan teknologi di tingkat akar rumput. Dengan dukungan dari PBB, telah diadakan workshop untuk menggunakan radio sebagai strategi komunikasi masyarakat akar rumput. Dalam workshop itu, juga dibicarakan panduan keterlibatan perempuan dalam radio komunitas. Ditetapkan bahwa dalam radio komunitas setidaknya 50 persen yang terlibat adalah kaum perempuan. Ketetapan semacam itu tentunya belum bisa diterapkan di Indonesia.
Jika India sudah melangkah lebih maju, Bangladesh justru belum mempunyai peraturan untuk radio komunitas. Pemerintah tidak mengizinkan pendirian radio komunitas, tetapi di tingkat masyarakat akar rumput diskusi mengenai radio komunitas telah berlangsung. Sementara, dalam hubungannya dengan peran perempuan, di media massa cukup banyak perempuan yang terlibat dalam produksi dan manajemen, sehingga diharapkan hal yang sama bisa terjadi jika radio komunitas sudah bisa berjalan di negeri tersebut.
Laos lebih baik dari Bangladesh. Kini, di Laos, sudah ada satu radio komunitas bernama Khoun yang didirikan pada 22 Oktober 2007. Terletak di daerah paling miskin di Laos, radio komunitas menjadi alat komunikasi yang penting, karena di daerah itu tidak ada sarana televisi, listrik, surat kabar, dan pendidikan sangat rendah. Radio komunitas Khoun kini mempunyai 11 relawan perempuan yang terlibat di radio tersebut.
Lebih baik dari Laos adalah Thailand. Radio komunitas muncul sejak tahun 1997. Ada tiga bentuk pemilikan radio, yaitu negara, privat, dan media masyarakat. Namun sampai saat itu, belum ada regulasi yang jelas untuk perizinan radio komunitas, meskipun pihak pemerintah secara lisan telah mengatakan bahwa setiap orang bisa menjalankan radio komunitas dengan mendaftar, dan bisa mencari iklan. Keputusan ini menyebabkan melonjaknya jumlah radio, yang tadinya hanya 300, menjadi 3.000 radio. Tetapi ada persoalan dengan pemahaman masyarakat, mereka lebih berorientasi ke radio komersial.
Kondisi radio komunitas di berbagai negara memang berbeda-beda, tetapi satu hal yang sama, yaitu masih minimnya keterlibatan perempuan. Oleh karena itu, setelah acara berbagi pengalaman itu, AMARC WIN mencoba membuat kebijakan kesetaraan jender pada radio komunitas yang menjadi anggota AMARC. Masing-masing negara pun menyumbangkan pemikirannya untuk memformulasikan kebijakan tersebut. Beberapa poin yang telah terkumpul antara lain adanya kuota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di level pengambilan keputusan, dibutuhkannya pelatihan manajemen, jaminan untuk memberikan kesempatan pada setiap orang yaitu para perempuan muda didorong untuk membuat program, perempuan dari suku minoritas, perempuan difabel, seluruh program harus sensitif jender, anti ras, dan lain-lain. Masih sederet prasyarat untuk keterlibatan perempuan dalam radio komunitas. Apakah bisa terealisasi? Nampaknya masih jauh perjuangan para perempuan yang menjadi penggerak radio komunitas. Mereka telah memulainya, dan tidak pernah berhenti.