Perempuan di Rimba Teknologi Informasi dan Komunikasi

Oleh Ade Tanesia

Sierra Leone, Afrika Barat.  Perang yang berkecamuk selama 11 tahun antara pemerintah dengan pemberontak Front Persatuan Revolusioner (RUF) telah menewaskan sekitar 10.000 penduduk dan 2 juta orang telah hidup sebagai pengungsi. Di dunia manapun, wanita dan anak-anak merupakan kaum yang paling menderita akibat perang. Oleh karena itu, setelah terjadi perdamaian di Sierra Leone, maka proses rekonsialisasi damai dan  pembangunan kembali Sierra Leone,  tidak bisa tidak harus melibatkan kaum perempuan.Dengan alasan inilah maka Forum Perempuan untuk Media di Afrika (FAMW) bekerjasama dengan Lembaga Hak Asasi Manusia FOC (The Forum of Conscience) membantu terwujudnya proyek Pembangunan Melalui Radio (The Development Through Radio atau disingkat DTR) yang khusus dikelola dan diperuntukkan bagi kaum perempuan. Dalam program ini kaum perempuan membuat rekaman siaran yang nantinya akan disiarkan melalui Sierra Leone Broadcasting Service (SLBS). Awalnya FOC bertindak sebagai fasilitator dan mendampingi kelompok-kelompok perempuan yang tergabung dalam proyek DTR. Kelompok tersebut terbagi atas daerah di selatan, utara dan timur.

Berdasarkan pendampingan tersebut, maka isu-isu yang muncul dari kaum perempuan di Sierra Leone meliputi akses terhadap pendidikan, persoalan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebutuhan terhadap sanitasi dan air bersih, kesehatan reproduksi, dan wirausaha. Juga persoalan infrastruktur seperti jalan, isu komunikasi seperti radio, listrik, akses pada informasi, hak asasi manusia dan kepemimpinan. Selain itu yang tak kalah penting adalah isu seputar proses penyembuhan trauma akibat perang dan rekonsialisasi serta penegakan kebenaran.

Proyek ini sangat berguna bagi kehidupan perempuan di Sierra Leone. Misalnya di daerah  selatan yang bernama Bo, perempuan remaja dan dewasa yang menjadi korban perkosaan dan kekerasan selama perang, terlibat dalam proses konseling dan diberikan pendidikan ketrampilan seperti menenun, menjahit baju dan kerajinan tangan lainnya.  Melalui program DTR ini pula, kelompok di Bo mendapat bantuan dari World Vision yang menyediakan mesin-mesin jahit dan program pelatihan. World Vision juga memberikan bantuan bagi kelompok Koribondo-Muloma yang berencana  membuka toko untuk menjual produk tekstilnya. Bahkan kelompok ini telah berinisiatif untuk membangun radio komunitas sendiri di areanya.

Kasus yang terjadi di Sierra Leone menunjukkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi dapat memecahkan persoalan dan mengurangi beban yang dihadapi oleh perempuan. Di Tianjin, RRC, organisasi bernama “Tianjin Women’s Business Incubator (TWBI)” telah memberikan kredit lunak kepada kaum wanita. Proyek kredit ini telah menolong 6.000 perempuan memperoleh pekerjaan, ada 2.000 perusahaan kecil kini telah dikelola oleh kaum wanita, dan pemberian pelatihan dan konsultasi untuk lebih dari 20.000 wanita. Lalu pada tahun 2003, TWBI memenangkan hibah untuk mengembangkan bisnis melalui teknologi informasi dan komunikasi. Mereka membuat beragam program seperti pelatihan penggunaan internet dan  membuat website untuk para pengusaha wanita. Persentuhan para wanita ini dengan teknologi informasi dan komunikasi mulai berdampak pada kemajuan usahanya. Qiu Hong, salah seorang peserta pelatihan ICT, yang membuka usaha dekorasi, sebelumnya hanya mempunyai 2-3 pelanggan setiap bulannya. Namun pelanggan bertambah menjadi 10 per bulannya setelah ia mengambil kelas pelatihan. Pasar untuk usahanya berkembang lebih cepat dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet.

***
Sejumlah kasus ini membuktikan bahwa perempuan, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, perlu memperoleh akses informasi dan komunikasi. Selama ini teknologi informasi dan komunikasi dianggap dapat menciptakan kondisi yang lebih demokratis. Namun akses terhadap teknologi ini ternyata tidak netral, secara budaya masih ada diskriminasi terhadap perempuan. Disamping itu ibu rumah tangga, khususnya dari masyarakat miskin, tidak mempunyai uang untuk menggunakan fasilitas publik seperti internet. Lokasi pusat-pusat informasi juga seringkali berada di tempat yang sulit atau tidak kondusif bagi perempuan untuk mengunjunginya. Multiperan yang diemban kaum perempuan serta tanggung jawab rumah tangga yang cukup berat telah membatasi waktu luang mereka. Disamping itu sangat riskan bagi perempuan jika harus menggunakan fasilitas informasi di malam hari. Hal ini juga yang terjadi pada kegiatan radio komunitas di berbagai daerah di Indonesia. Banyak perempuan yang tidak bisa terlibat karena banyak radio yang beraktifitas malam hari, yaitu setelah warga bekerja di siang hari.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, maka seluruh kebijakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk tujuan-tujuan pembangunan harus mempertimbangkan pentingnya keterlibatan perempuan, dalam hal akses dan memproduksi informasi yang didasarkan pada kebutuhannya. Bayangkan saja, sebenarnya kaum perempuan sangat penting dalam menopang perekonomian sebuah daerah, sehingga sangat fatal jika pemikiran dan pengalaman mereka diabaikan. Selain itu, pendidikan di sekolah sudah seharusnya memberikan bekal pengetahuan dan praktek perihal teknologi informasi dan komunikasi. Ada sebuah kasus menarik mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di sejumlah sekolah di Afrika. Penelitian yang dilakukan oleh organisasi World Links di empat negara Afrika, yaitu Senegal, Mauritania, Uganda dan Ghana, menunjukkan bahwa dibanding murid pria, murid perempuan kurang dapat menikmati fasilitas laboratorium komputer di sekolahnya. Dengan pelayanan “siapa cepat dia yang dapat” maka maka murid perempuan selalu tertinggal. Pasalnya murid perempuan biasanya harus membantu ibunya dahulu dalam mengerjakan kegiatan rumah tangga seperti menyapu, memasak, menjaga adik, dan lain-lain. Mengingat budaya setempat yang membebani kaum perempuan, maka sudah sepatutnya sekolah memberikan sistem lain agar murid perempuan tetap bisa memanfaatkan fasilitas komputer.

Masih panjang perjuangan kaum perempuan untuk berperan aktif di dalam era informasi ini. Persoalan budaya, sumber daya manusia, fasilitas dan kapasitas, merupakan kendala yang secara perlahan harus diatasi. Dan mengapa kita harus mengatasinya? Sebagian orang mungkin menganggap itu bukan sebuah masalah. Tapi ada sebagian orang yang percaya bahwa dunia akan lebih baik jika ada kesetaraan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Anda termasuk yang mana?

Sumber:
”Engendering Rural Information Systems in Indonesia”. The World Bank, Rural Development and Natural Resources Sector Unit East Asia and the Pacific Region, June 2005.
Gender and ICTs for Development. A Global Source Book. Critical Reviews and Annotated Bibliographies Series. KIT (Royal Tropical Institute), The Netherland, OXFAM GB.

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud