Oleh Biduk Rokhmani
Secara geografis, Desa Keruing (Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah) memang cukup terpencil. Letaknya yang di tengah menyebabkan desa dengan 87 kepala keluarga itu terisolasi dari wilayah lain. Akses transportasi yang digunakan oleh warga desa untuk ke desa lain biasanya menggunakan perahu klotok yang melalui Sungai Cempaga.
Selain soal sarana transportasi yang belum memadai, listrik di Keruing juga belum terlayani oleh PLN. Untuk penerangan dan keperluan lain,warga menggunakan genset yang digerakkan dengan diesel mulai pukul 17.00 hingga maksimal pukul 22.00. Namun keterbatasan sarana yang ada di Desa Keruing tidak menjadikan warganya pasif. Justru warga yang mayoritas penyadap karet, tidak ingin keterisolasian Keruing menjadikan mereka tak dapat mengakses informasi dengan cepat.
Apalagi saat musim kemarau mulai tiba seperti sekarang. Hal utama yang mereka butuhkan adalah informasi dari desa lain tentang ada tidaknya kebakaran. Pasalnya, kebakaran lahan yang kerap terjadi kini telah menjadi ancaman serius bagi keselamatan area lahan dan lingkungan serta keberlangsungan hidup mereka. Kebakaran yang kerap terjadi di wilayah Kalteng, telah menimbulkan trauma bagi warga. Selain karena adanya asap yang cukup mengganggu kesehatan saluran pernapasan dan membatasi aktivitas harian mereka, masyarakat juga semakin enggan menanami kembali lahannya. Sebab, meski telah berkali-kali menanami kembali lahan mereka akan tetapi selalu saja terbakar.
Api….Api….dari Hutan
Kini Rimba Kalimantan (terutama wilayah tengah) hanya tersisa sekitar 30 persen yang tidak sanggup lagi menahan kerusakan akibat maraknya logging–baik legal maupun ilegal–dan kebakaran yang setiap tahun terus meluas.
Dulu setiap kali terjadi kebakaran karena gesekan ranting kering maupun faktor kesengajaan guna membuka lahan perkebunan–selalu dapat padam dengan sendirinya karena masih banyak pohon besar yang secara alami sanggup menahan api. Akan tetapi sekarang ini kebakaran lahan sudah tidak lagi dapat ditangani secara tradisional.
Sebenarnya, masyarakat cukup paham untuk menahan api saat kebakaran terjadi.Yakni dengan membuat sekat api yang berbentuk semacam parit di sekeliling lahan yang tengah mereka garap. Parit itu berguna supaya api tidak merembet atau menjalar ke mana-mana. Hal itu telah mereka lakukan secara turun-temurun setiap kali hendak membuka lahan untuk mata pencaharian. Namun, pembuatan parit itu sekarang ini tidak lagi bisa mengatasi api setiap kali kebakaran terjadi.
Faktor kondisi alam Kalteng sekarang ini,dengan meluasnya area lahan gambutdan limbah logging yang sangat berpotensi menjadi sumber api–menjadikan kebakaran di seluruh wilayah itu tidak lagi cukup diatasi dengan pembuatan sekat api. Terlebih lagi, maraknya pembukaan lahan hutan dan kebun karet oleh perusahaan sawit, menyebabkan pohon-pohon besar sudah sangat jarang ditemui di wilayah Kalteng.
Alhasil, kebakaran lahan baik yang disengaja maupun tidak sengaja, akan sangat mudah meluas ke ladang penduduk. Apalagi sifat gambut yang bisa menahan api tetap hidup meski di dalam tanah sekalipun akan menjadikan potensi kebakaran sulit diantisipasi warga. Terlebih kontur whattanah di Kalteng cenderung datar, sehingga memicu api dengan cepat menyebar. Sayangnya, masyarakat tidak dapat berbuat banyak dengan kondisi yang telah lama berlangsung tersebut, kecuali waspada dengan kemungkinan munculnya api di sekitar lingkungan mereka.
Oleh sebab itu, adanya sarana komunikasi dan informasi yang cukup memadai sangat mereka butuhkan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman. Itu, mereka butuhkan guna meningkatkan adanya sistem kesiap-siagaan dini di kalangan mereka sendiri dalam menghadapi bencana. “Ketiadaan sarana komunikasi menjadikan kami hanya dapat mengandalkan tanda-tanda alam untuk mewaspadai gejala-gejala alam maupun bencana yang akan terjadi di desa kami” ujar Kepala Desa Keruing Laoh J Ugang, yang juga tokoh adat setempat, pasrah.
Sistem Peringatan Dini
Perubahan fenomena cuaca dan kondisi alam Kalteng menjadikan masyarakat lokal tidak lagi tepat membaca pertanda. Ditambah lagi ketidaktahuan masyarakat adanya gejala alam El Nino yang menyebabkan siklus musim kemarau akan berlangsung sangat panjang. Sehingga kesiap-siagaan dini agar warga waspada pun sudah sulit diterapkan. “Kami sangat ingin pemerintah mau memberikan informasi sampai ke tingkat masyarakat sejauh mana tingkat bahaya yang akan terjadi.Sebab dengan keadaan alam dan kondisi hutan seperti sekarang kami sangat sulit menentukan pergantian musim,” lanjut Laoh prihatin.
Menurutnya, dulu setiap kali ada kebakaran warga cukup diingatkan dengan sistem pemberian informasi dari rumah ke rumah. Kalaupun kebakarannya agak parah, mereka akan memberitahukannya dengan alat komunikasi sederhana yang biasa mereka sebut sakatok. Yakni alat yang terbuat dari cangkang kura-kura yang telah dibuang dagingnya dan dikeringkan. Sebagai tanda bahaya, alat ini dipukul hingga berkali-kali.
Namun sayangnya di masa sekarang sistem komunikasi semacam ini mereka rasakan tidak lagi efektif. Sebagai upaya guna meningkatkan kewaspadaan, mereka berusaha melakukan pencegahan semaksimal mungkin dengan cara menjaga sebaik-baiknya ladang dan lingkungan mereka. Satu yang telah dilakukan guna mengendalikan api, mereka membentuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK) yang bertugas khusus memadamkan api kecil. Juga menyusun peraturan desa (perdes) dengan mengaktifkan kembali peraturan adat yang sudah ada yang dikombinasikan dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan, guna memberi hukuman tegas bagi pembakar lahan secara sembarangan.Sebab, sejauh ini perhatian pemerintah terhadap bahaya kebakaran cenderung pada bidang penanggulangan saja. Pemerintah daerah setempat melalui Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) belum terfokus pada upaya pencegahan dan kewaspadaan.
Itikad baik dari warga untuk menjaga lingkungan dari bahaya itu saja belumlah cukup. Keinginan besar untuk dapat mengakses informasi secepat mungkin itu membuat warga Desa Keruing berinisiatif menciptakan sarana informasi dan komunikasi sendiri tanpa perlu menunggu datangnya bantuan dari pemerintah setempat. Mulailah hal tersebut mereka bicarakan dengan beberapa desa sekitar yang sekiranya menyimpan kebutuhan yang sama. Bekerja sama, mereka berswadaya mulai merintis pendirian radio komunitas (rakom) yang tidak saja bisa melayani Desa Keruing melainkan desa-desa lain di sekitar Keruing, yakni Desa Parit, Sudan, Sei Ubar, Bukit Batu, dan Pantai Harapan. Selain terletak di sepanjang Sungai Cempaga, secara kultural keenam desa tersebut pada dasarnya masih memiliki satu garis keturunan yang sama.
Radio Komunitas: Sebuah Harapan Baru
Terlepas dari keterbatasan yang mengungkung mereka ketiadaan aliran listrik dan sarana transportasi yang tidak memadai- radio dipilih karena selain untuk mendapatkan hiburan menurut mereka hanya itulah satu-satunya sarana informasi dan komunikasi yang paling murah dan terjangkau serta mampu diakses oleh warga di desa lain.Agarsistem kesiapsiagaan dini antarwilayah dapat terwujud. Selain itu ada antusiasme besar dari warga untuk mendengarkan radio meski harus memasang antena tambahan yang cukup tinggi. Itupun hanya siaran RRI dan Radio Babayaga (radio swasta-red) dari Sampit yang dapat ditangkap.
Gayung pun bersambut. Sebuah NGO yang tengah concern di wilayah tersebut coba membantu dengan memfasilitasi apa-apa saja yang sekiranya mereka butuhkan guna meningkatkan early warning system itu. “Selain rakom kami juga akan memasang meteo station (stasiun pemantau iklim) dan radio komunikasi di sana. Kami bekerja sama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kalteng. Kecuali rakom.alat-alat itu akan terhubung dengan pihak BMG. Dari data-data yang terekam oleh meteo station akan diolah BMG berdasarkan rating danger (tingkat bahaya) menurut perkiraan curah hujan dan suhu. Lantas data-data tersebut akan didistribusikan kembali ke masyarakat melalui rakom,” jelas Project Manager SIAP-Care International Indonesia wilayah Kalteng Evi S Suryatmana.
Menurutnya, didirikannya rakom di masa sekarang ini dinilainya sangat tepat, mengingat banyaknya informasi dari data yang telah dikumpulkan oleh BMG namun sayangnya tidak dapat terdistribusi ke masyarakat. “Masyarakat itu pahamnya kalau sedang kemarau pasti panas. Nah sekarang ini di wilayah Kalteng hujan masih terus berlangsung dan masyarakat tidak sadar kalau mereka termanipulasi dengan kondisi alam karena adanya fenomena El Nino. Berdasarkan perkiraan BMG, meski hujan tetap turun akan tetapi penguapan air juga tinggi. Ketidaktahuan warga itulah yang menjadikan mereka tidak siaga dan waspada dalam menghadapi bencana,” lanjutnya.
“Semoga dengan adanya rakom nantinya, akan terbentuk sistem kesiap-siagaan dini di kalangan warga Keruing dan masyarakat sekitarnya sehingga bisa mengantisipasi bahaya kebakakaran lahan. Kalaupun kebakaran itu tidak dapat dicegah, kami bisa meminimalkan resikonya. Sehingga, meski desa ini terpencil, tapi hidup kami akan lebih baik dan lahan kami juga terjaga dari ancaman kebakaran,” tutur Laoh penuh harap.***
Tanda-tanda alam ini menunjukkan datangnya musim kemarau dan kemungkinan bahaya kebakaran:
- Ketika pohon asam pakit dan papar bubuk telah mulai tampak berdaun merah, maka masyarakat lokal menengarai sebagai awal dari kemarau yang sangat panjang.
- Munculnya Bulan sabit yang agak miring ke selatan dan mulai maraknya nyamuk-nyamuk kecil yang hampir tidak terlihat tapi sangat sakit ketika menggigit, itu juga dijadikan tanda sudah saatnya musim kemarau.
- Ikan yang biasanya hidup di parit-parit kecil akan kembali ke sungai dalam dan ikan papayu sudah mulai bertelur. Maka warga Keruing biasanya sudah siaga untuk menghadapi kemungkinan bahaya kebakaran.
Multistakeholder Forestry Programme (MFP)
Program Kehutanan Multipihak (MFP) adalah program 6 tahun reformasi tata pemerintahan yang didanai oleh Departemen Pembangunan Internasional Pemerintah Inggris dan Departemen Kehutanan Indonesia. MFP memberikan dana hibah kepada masyarakat madani dan lembaga pemerintah untuk pengembangan masyarakat, training, advokasi, pembangunan jaringan, dialog multipihak, riset kebijakan, pemberian dana bantuan, dan komunikasi. Melalui program-programnya MFP telah mempengaruhi sejumlah proses-proses pembuatan kebijakan kehutanan di daerah dan telah membuat dampak langsung pada kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan,yang kini berjumlah lebih dari 10 juta orang dari 38 juta masyarakat miskin di Indonesia.
Selama ini MFP telah menjembatani jurang pemisah antara masyarakat madani dan pemerintah, dengan memfasilitasi partisipasi efektif dari masyarakat miskin yang terpinggirkan dalam perencanaan pemerintah dan pembuatan kebijakan. Hal ini menghasilkan sejumlah perda yang mendukung rakyat miskin dan sejumlah gugus tugas kebijakan, serta perubahan sikap dan ketrampilan bagi pejabat pemerintah dan pemimpin masyarakat lokal.
MFP kini menunjukkan dampak nyata di kalangan bawah.dengan dialog multipihak yang konstruktif yang dilakukan antara masyarakat miskin yang terpinggirkan dan pemerintah daerah. Hubungan yang lebih baik tersebut mengarah pada berkurangnya konflik, pemberdayaan yang lebih luas bagi masyarakat yang bergantung pada hutan dan bukti yang terukur pada peningkatan pendapatan melalui perubahan kebijakan-kebijakan kehutanan. Di antaranya perubahan kebijakan yang menyediakan akses yang aman bagi area hutan, akses yang tebih baik pada pasar, kontrol yang ketat pada illegal logging, dan transparansi yang luas pada pembiayaan internasional dan pencucian uang, adalah kebijakan yang terkait pada kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan mempromosikan altenatif bagi pengelolaan hutan yang mungkin dilakukan, mitra-mitra MFP berusaha keras mewujudkan demokrasi dan desentralisasi yang lebih efektif, dan pengelolaan hutan yang lebih layak dan lebih produktif.
Radio Swara Alam
Radio Swara Alam didirikan oleh anggota YASCITA, sebuah organisasi yang ingin meningkatkan kesadaran masyarakat akan kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan Sulawesi Tenggara. Sebelumnya mereka telah banyak melakukan penelitian mengenai penebangan hutan secara ilegal,tetapi tidak bisa menyuarakan hasilnya ke publik lebih luas. Akhirnya diputuskan untuk mendirikan stasiun radio agar pesan-pesannya bisa terdengar luas ke masyarakat.
Awalnya transmiter radionya sangat lemah sehingga Swara Alam hanya didengar oleh beberapa rumah saja. Namun dengan bantuan dari Program Kehutanan Multipihak (Multi-Stakeholder Forestry Programme)yang didanai oleh Department for International Development (DFID), Inggris, maka Radio Swara Alam bisa berkembang menjadi radio yang lebih profesional. Mereka bisa membeli perlengkapan editing yang lebih baik, transmitter yang menjangkau area hingga 60 km, alat perekam digital.dan lain-lain. Melalui bantuan itu pula, staf radio bisa mengunjungi Jakarta untuk pelatihan teknis. Yang penting juga mendanai survei pendengar dan berpindah dari FM ke AM.
Di radio ini ada sekitar 11 relawan yang juga bekerja untuk Kendari TV yang diresmikan oleh pemerintah provinsi pada bulan April 2003. Sekarang ada 20 staf yang digaji. Radio Swara Alam juga mengudara dari jam 05.00 sampai pukul 24.00 tengah malam, dan Kendari TV bersiaran selama 9 jam per hari. Walaupun program acara juga dicampur dengan berita lokal, musik, dan pertunjukan budaya, namun setiap harinya pasti mengangkat persoalan lingkungan. Para jurnalisnya juga melakukan penelitian mengenai lingkungan yang menjadi basis data bagi program mereka. Misalnya investigasi mengenai kerusakan hutan di Pulau Muna. Tidak hanya memberitakan, mereka juga mengundang pihak kejaksaan ke studio untuk memberikan komentarnya. Yang juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana media ini bisa menciptakan ruang dialog antara komunitas lokal dan pemerintah lokal. Di masa lalu, tidak terbayangkan komunikasi ini bisa terjadi.
Sesuai dengan berjalannya waktu, para staf radio semakin terampil. Mereka pun sering berbagi pengalaman dengan organisasi lain. Menurut Muhamad Fadja, Direktur Radio Swara Alam, mereka ingin menulis buku agar banyak orang menyadari bahwa tidak sulit untuk membangun radio atau stasiun televisi lokal.
www.jurnalcelebes.com
Corong Advokasi Lingkungan di Celebes
Selain melalui radio, maka advokasi mengenai lingkungan, khususnya hutan juga dilakukan melalui website. Adalah Jurnal Celebes, yang juga mendapat dukungan dari Program Kehutanan Multipihak, telah mendeklarasikan JURnaL Celebes alias Jaringan Jurnalis Advokasi Lingkungan.
Sebagian besar penggiatnya memang terdiri dari aktifis dan jurnafis desk (bagian) lingkungan, sehingga mereka tidak kagok ketika melakukan investigasi permasalahan lingkungan. Melalui situs www.jurnalcelebes.com yang mulai aktif sejak Maret 2003 1alu, ingin diwujudkan kebijakan yang transparan dan demokratls dalam pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat di Sulawesi.
Konsentrasi utama situs ini memang diarahkan pada masalah lingkungan hidup dan masyarakat adat (komunitas lokal), sehingga tak mengherankan jika sebagian besar rubrik mengangkat permasalahan hutan dan masyarakat adat. Pada dua kategori ini, ditampilkan puluhan artikel mengenai dinamika masyarakat adat, perbenturannya dengan kepentingan pemerintah, swasta, dan antarmasyarakat sendiri.Juga sekian puluh artikel mengenai tarik ulur berbagai kepentingan dalam pengelolaan hutan.
Kedua rubrik tersebut bagian dari isi utama website yang dikategorisasikan ke dalam 23 rubrik. Semuanya menggunakan kata awalan “jurnal’; misalnya Jurnal Utama yang memiliki tautan (link) ke halaman home atau Jurnai Hutan yang menjadi tautan kumpulan berita mengenal lika-liku advokasi kehutanan. Masalah ekonomi dan politik, baik lokal maupun nasional, mendapat ruang di rubrik Jurnal Pemilu dan Jurnal Belanja.
“LSM Lingkungan KutukTindakan Pemkab Muna”; demikian bunyi judul salah satu tulisan yang mempersoalkan penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah daerah Kabupaten Muna saat melakukan penggusuran masyarakat Kontu dari hutan yang teiah lama menjadi tempat tinggal mereka. Berita tersebut bersanding dengan berita mengenai peningkatan praktek ilegal logging, pemberdayaan masyarakat miskin dan sejumlah berita lain yang berasal dari berbagai sumber. Kehadiran JURnaL Celebes telah memperkaya aliran informasi mengenal lingkungan terutama di kawasan Pulau Sulawesi.