Carut-marut dunia penyiaran tak kunjung berakhir, persoalan ini muncul sejak diwacanakannya Undang-Undang Penyiaran pada 2000-an. Pro dan kontra bermunculan, saling dukung dan sikut antarpemerintah, swasta, maupun kalangan masyarakat sipil.
Pemerintah berkepentingan mengontrol penyiaran untuk menjaga “stabilitas” politik, juga mengamankan diseminasi informasi kebijakan pemerintah. Bagi industri penyiaran, regulasi penyiaran tidak merusak kepentingan “bisnis” dalam bidang penyiaran. Sedangkan bagi kelompok masyarakat sipil mendorong demokratisasi dunia penyiaran bisa terwujud.
Pergumulan itu semakin menajam dengan disahkannya UU Penyiaran No 32 Tahun 2003, yang kemudian berbuntut pada judicial review terhadap UU tersebut. Hasilnya, regulasi tetap ditangan pemerintah, bukan pada regulator independen seperti yang diharapkan oleh kalangan masyarakat sipil yakni Komisi Penyiaran Indonesia.
Mengiringi disahkannya UU Penyiaran tersebut, Menteri Perhubungan sebagai pejabat yang berwenang mengatur regulasi frekuensi waktu itu menerbitkan Keputusan Menteri No 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (master plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraaan Telekomunikasi Khusus Untuk Siaran Radio FM (Frequency Modulation).
Dalam amar putusannya, Menteri Perhubungan mengklasifikasi keberadaan stasiun radio dalam beberapa kelas. Salah satunya tentang radio komunitas, digolongkan dalam kelas D dengan ERP 50 W, dengan wilayah layanan maksimum 2,5 km dari lokasi stasiun pemancar (KM 15 Pasal 3).
Pemberian kelas pada radio komunitas ini, juga terkesan setengah hati. Dalam pasal 4 KM 15 disebutkan Radio siaran kelas D sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diperuntukan bagi radio siaran komunitas sepanjang secara teknis memungkinkan. Kalimat “…sepanjang secara teknis memungkinkan” menyiratkan keengganan pemerintah memberikan frekuensi ranah publik kepada masyarakat. Pasal ini dikhawatirkan juga menghambat keberadaan radio komunitas yang dinilai pada saat pengurusan ijin nantinya, tidak memenuhi standar teknis yang disyaratkan.
Dibandingkan dengan lembaga penyiaran lainnya yakni lembaga penyiaran swasta maupun publik, pengklasifikasian ini dinilai oleh kalangan penggiat lembaga penyiaran komunitas (LPK) jauh dari rasa keadilan. Radio swasta/public (RRI) boleh menggunakan daya hingga 63 kW, sementara radio komunitas hanya “50 watt”, perbandingan yang sangat jauh bak bumi dengan langit.
Persoalan lain yang muncul adalah, pembagian alokasi frekuensi (kanal) yang juga tidak berpihak pada keberadaan radio komunitas. Oleh pemerintah, radio komunitas hanya bisa menempati kanal yang telah ditentukan, yakni kanal 201, 202 dan 203 atau 107,7 Mhz, 107,8 Mhz dan 107,9 Mhz. Dibanding alokasi frekuensi bagi lembaga penyiaran swasta maupun publik, alokasi frekuensi ini juga jauh dari rasa keadilan. Radio komunitas hanya diberi 3 “kamar” itupun berada dipinggiran.
KM Menhub No 15 Thn 2003 sekarang telah lebih dikuatkan melalui Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas. Jika dulu, KM 15 diterbitkan oleh Departemen Perhubungan, kelahiran PP 51 Th 2005 didorong oleh Depkominfo sebagai departemen yang berwenang pada soal regulasi frekuensi radio.
Isu Strategis
Dalam melakukan kerja advokasi, tidak terlepas dari agenda atau isu yang diusung. Wacana terkait dengan penyiaran banyak sekali isu yang diangkat, sebagaimana dulu ketika banyak aktivis penyiaran melakukan advokasi terhadap UU Penyiaran maupun pengkritisan terhadap usulan PP Penyiaran.
Namun kali ini, agenda advokasi perlu difokuskan. Usulan perubahan dalam KM 15 dan juga PP 51 yang perlu diperjuangkan cukup terkait dengan hal teknis bagi lembaga penyiaran komunitas. Advokasi baiknya difokuskan pada; 1) alokasi frekuensi, 2) klasifikasi radio komunitas dan layanan jangkauan siaran serta, 3) standarisasi peralatan bagi radio komunitas.
Aspek lainnya tentu juga penting untuk diperjuangkan, misalnya soal aksi sweaping terhadap keberadan rakom, proses penindakan hokum yang tidak transparan (kasus Papua), prosedur perijinan, dan lain-lain. Usulan ini hanya besifat skala prioritas. Karena jika ia bisa diperjuangan cukup membantu keberadaan radio komunitas yang kian berjamuran tumbuh seantero negeri ini. Setidaknya radio komunitas mendapatkan hak yang layak pada soal alokasi frekuensi dan daya jangkau siaran.
Strategi
Terkait dengan uraian di atas, perlu kiranya para aktivis lembaga penyiaran komunitas (khususnya radio) segera melakukan kajian mendalam secara kritis-analisis terhadap KM Menteri Perhubungan No 15 tahun 2003 khususnya pada aspek teknis dan alokasi frekuensi dan mendorong pemerintah untuk merubah Keputusan Menteri
Perhubungan No 15 Thn 2005 dan juga PP No 51 Tahun 2005. Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah naskah akademik hasil analisa kajian terhadap KM Menhub No 15 Thn 2003 dan PP 51 Thn 2005. Selain tentu draft usulan perubahan KM dan PP tersebut.
Para penggiat radio komunitas, perlu memetakan pihak-pihak yang bisa membantu memperkuat “naskah akademik” yang disusun. Misalnya kalangan kampus/lembaga pendidikan, lembaga riset dan kalangan organisasi masyarakat sipil (NGO) maupun Komisi Penyiaran Indonesia. Kepada mereka, diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi perubahan KM 15 maupun PP 51.
Langkah berikutnya yang tak kalah penting adalah melakukan dialog dan loby tehadap kalangan pemerintah (Depkominfo dan DPR) dan menyampaikan usulan perubahan atas regulasi penyiaran tersebut. Proses ini harus dikawal dengan ketat, termonitor dan kemudian disampaikan pada para pihak yang membantu proses advokasi, agar semua pihak tahu dan ikut membantu jalannya proses advokasi yang sedang dilakukan. Persoalan bahwa, apakah nantinya pemerintah benar-benar mau merubah regulasi itu atau tidak, itu soal kemudian. Setidaknya perjuangan ini belum terhenti.
Modinan, 29 September 2007
Budhi Hermanto. Manajer Pengembangan Kapasitas dan Jaringan, COMBINE Resource Institution Yogyakarta. Lulusan Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Beberapa lembaga Ornop menjadi ruang aktivitas pria kelahiran Banjarnegara, 28 April 1976, yakni Direktur Eksekutif Indonesian Society for Religion and Culture Yogyakarta (1999-2000), mendirikan Yayasan Mapel dan menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja (2000-sekarang), Sekjend ParWI Banjarnegara (2000-2001), Deputy Direktur Eksekutif Yayasan Nurani Dunia Jakarta (2001-2004), ikut mendirikan The Public Sphare Institut Jakarta (2003), Redaktur free Tabiod Lintas Jakarta (2002-2004), Program Manager YPPSE Banjarnegara (2004-2005), Program Manager ARRNet-Combine (2005-2006), dan Program Manager pada Combine Resource Institution, Yogyakarta (2007-sekarang). Aktif dalam pengembangan media komunitas sejak tahun 1997, dan menjadi Koordinator Jaringan Radio Komunitas Jawa Tengah (2004-sekarang), anggota Majelis Jaringan Radio Komunitas Indonesia (2004-sekarang), Anggota Pokja TV Komunitas Indonesia (2007-sekarang).