Kegalauan tampak di wajah Gunritno. “Sudah baca kompas? ada berita kalau pihak Bapeda Pati sudah melunak soal pegunungan Kendeng,” ungkapnya. Gunritno, tokoh Serikat Petani Pati dan pimpinan masyarakat Sedulur Sikep ini sedang resah menghadapi rencana tata ruang dan wilayah (RT/RW) yang sedang digodok oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pasalnya dalam RT/RW tersebut pegunungan kendeng akan dimasukkan sebagai kawasan tambang. “Ini bisa menjadi celah bagi pabrik semen untuk berupaya masuk ke desa kami, seharusnya kawasan ini dilindungi,” lanjut Gunritno.
Pegunungan Kendeng di Pati, Jawa Tengah luasnya mencapai 2.000 ha yang meliputi hampir 7 desa. Hingga saat ini warga menolak rencana pendirian pabrik semen karena mengancam penghidupan masyarakat. Ancaman hilangnya sumber-sumber air, hilangnya mata pencaharian hingga rusaknya tata kelola masyarakat merupakan alasan utama mengapa masyarakat menolak tambang tersebut. Pegunungan kapur yang membentang dari Desa Taban (Kudus) sampai Kabupaten Tuban ini jelas merugikan masyarakat. Sumber air dari pegunungan ini selama ini telah mampu mengairi lahan pertanian seluas 2010 ha sawah yang terletak di kaki gunung.
Sudah bertahun-tahun petani pati yang tergabung dalam Serikat Petani Pati berjuang agar Pegunungan Kendeng tidak dimasuki pabrik semen. Masyarakat Sedulur Sikep yang mayoritas hidup sebagai petani menjadi ujung tombak perjuangan ini. Beberapa warganya malah sempat ditangkap polisi ketika aksi tolak semen. Pertemuan dengan para pejabat dari tingkap kabupaten sampai gubernur telah dilakukan, namun tetap saja kepentingan para petani tidak dilindungi oleh pemerintah. Bagi Gunritno, kehancuran lingkungan di Pegunungan Kendeng merupakan kehancuran masyarakatnya juga. Sejak ratusan tahun masyarakat Sedulur Sikep telah hidup dari pertanian. Kearifan lokal yang dimilikinya telah menggiring masyarakat ini hidup selaras dengan alamnya. Di alam modern ketika sekolah menjadi institusi pembelajaran justru masyarakat Sedulur Sikep menolak. Untuk mereka pembelajaran hidup tidak hanya melalui sekolah formal. Belajar langsung dari alam merupakan sekolah yang paling berguna. Tidak heran jika keahlian dalam bidang pertanian bisa terpelihara secara turun temurun dalam masyarakat Sedulur Sikep. Kini, ketika lingkungannya terancam, masyarakat Sedulur Sikep pun tidak bisa tinggal diam. “Selama ini kita dibilang melawan negara. Padahal kita tidak pernah sekolah berarti tidak menggunakan anggaran pendidikan negara toh. Kita ndak pernah merepotkan negara,”ungkapnya lirih.
Inilah suasana galau yang kami rasakan ketika tiba di Sukolilo, Pati Selatan pada 13 April 2010. Di kediamannya, Gunritno bersama beberapa tokoh masyarakat lainnya akan menggelar rapat yang membicarakan langkah-langkah menghadapi keputusan rencana tata ruang dan wilayah. Mereka sedang mencoba lobby dengan sejumlah partai agar menolak rancangan tata ruang dan wilayah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang ingin menjadikan Pegunungan Kendeng sebagai kawasan tambang. Untuk bertarung dengan pemerintah, Serikat Petani Pati pun telah menggalang ahli-ahli pegunungan kapur untuk bisa menganalisa lebih obyektif dampak dari adanya pabrik semen terhadap lingkungan, khususnya pertanian yang menopang ketahanan pangan penduduk. “Pemerintah telah melakukan analisa dampak lingkungan. Tetapi kami minta agar penelitian andal itu dilakukan bersama-sama dengan masyarakat. Yang lebih tahu lingkungan ini kan warga masyarakat, seharusnya mereka bertanya pada kita. Saat itu malah penelitiannya sengaja dijaga oleh begitu banyak polisi. Caranya begitu menegangkan,”ujar Gunritno.
Dua jam bertamu di rumah Gunritno, kami pun melanjutkan agenda utama ke Pati yaitu bertemu dengan warga dampingan Yayasan Desantara di Omah Kendeng. Sekitar pukul 19.00 kami sampai di Omah Kendeng. Sobirin dari Desantara membuka pertemuan dengan kelompok radio komunitas yang diikuti oleh anak muda. Suasana begitu penuh canda dan cerita. Tidak ada keresahan seperti yang terjadi di kediaman Gunritno. Kelompok anak muda itu secara rutin mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan tulisan-tulisan hasil liputannya. Oleh karena tidak ada komputer, anak-anak muda itu menuangkan hasil liputannya dengan tulisan tangan dan membacakannya di depan forum. Semangat mereka sungguh luar biasa. Setelah saling membacakan hasil tulisan, maka setiap orang pun bisa saling mengkritisi. Meskipun peralatan radio belum ada di Omah Kendeng, tetapi mereka tetap belajar merekam peristiwa di sekitarnya dan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Seorang pemuda membacakan berita yang ditulisnya. Ceritanya menarik, tentang petani dan anak-anak kecil yang berusaha mengusir tikus pengganggu tanaman padi.
Khusus dalam pertemuan ini Sarwono dari COMBINE Resource Institution menjelaskan pengalamannya dengan komunitas-komunitas yang sedang belajar menulis dalam jaringan Suara Komunitas. Ia memberikan semangat pada anak muda tersebut untuk tetap menulis. Tentunya sembari menawarkan kepada mereka bahwa ada portal Suara Komunitas yang siap menampung kisah-kisah di seputar desa mereka. Dalam forum tanya jawab, kelompok anak muda tersebut banyak menanyakan soal perizinan radio, cara mengelola radio, dan bagaimana membiayai radio komunitas. Sarwono menjelaskan soal pentingnya keterlibatan masyarakat sebelum sampai pada soal peralatan. Intinya antusiasme anak-anak muda di Omah Kendeng begitu besar. Pertemuan ini selesai pada pukul 10.30 malam. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Pati untuk beristirahat satu malam.
***
Rabu, 14 April 2010. Pukul 09.30 kami sudah berkemas untuk mengunjungi komunitas petani dampingan Desantara di Pati Utara. Perjalanan dari pusat kota ke Pati Utara sekitar 45 menit. Sesampainya di sana, Farid, salah satu aktivis dari Serikat Petani Pati menyambut kami dengan ramah di ruang pertemuan. Farid adalah anggota Serikat Petani Pati yang bertugas sebagai Litbang. Di Pati Utara, ia mengembangkan pertanian organik bersama kelompok TANI RUKUN yang beranggotakan sekitar 100 orang. Kemudian ada pula 1 kelompok ternak dan kelompok pemuda.
“Kami ingin melepaskan ketergantungan kami dari pestisida, pupuk urea, dan harga jual,” ungkap Farid membuka pembicaraan. Sudah puluhan tahun para petani menggunakan bibit hibrida, pupuk kimia, sehingga tidak mudah mengubah kebiasaan itu. “Kita harus memberikan contoh. Kalau sudah berhasil baru teman-teman mau mengikuti.” lanjutnya. Farid sendiri sengaja terjun ke dunia pertanian dengan mengolah lahan sawah keluarganya.
Para petani ini hendak melepaskan ketergantungan mereka dari lilitan pupuk kimia, pestisida, bibit hibrida. Kini mereka mulai mengurangi pupuk kimia dan beralih ke pupuk kandang. Mereka kini sudah tidak menggunakan pestisida untuk memberantas gangguan hama. Sebaliknya mereka meramu empon-empon untuk mencegah hama. Misalnya untuk mencegah tikus, mereka memakai singkong yang direbus dengan air kelapa. Demi menghindari keong, mereka meletakkan daun pepaya agar keong berkumpul mengerubunginya. Setelah itu keong tersebut tidak diambil dan dijadikan pakan ternak. Adapun masalah utama yang dihadapi petani adalah hutan gundul yang mengakibatkan banjir.
Untuk melakukan sosialisasi pada petani agar mengelola tani organik, menurut mereka media yang paling tepat adalah pertemuan langsung dan memberikan contoh kasus. Sangat sulit meyakinkan petani jika mereka belum melihat keberhasilan dari pihak lain. Hingga saat ini yang punya keberanian mencoba berpindah ke pertanian organik baru Pati Kota, Margorejo, dan Jakenan. Serikat Petani Pati sendiri tersebar di 12 kecamatan dan baru tiga kecamatan yang mau menjalankan pilot proyek pertanian organik. Kelompok anak muda selain bertani juga mengembangkan batu bata yang lebih tebal dan kuat.
Kemandirian adalah perjuangan yang tengah diupayakan petani di Pati Utara. Ketika obrolan disambung ke persoalan semen, Farid hanya terdiam. “Kami tahu sulit untuk memenangkan perkara status Pegunungan Kendeng. Tapi apakah kita harus tetap diam saja. Kita tetap harus berjuang sampai kapanpun,”ungkapnya lirih. Menurutnya persoalannya warga pati tidak seluruhnya menolak keberadaan industri semen. Bahkan lebih banyak yang melihat industri sebagai peluang penyerapan tenaga kerja. Mereka tidak menyadari bahwa persoalan sumber mata air juga akan mengancam kehidupannya. Dipikir bahwa penolakan semen hanya untuk kepentingan petani. Bahkan media massa mempersempit kasus ini semata-mata persoalan masyarakat sedulur sikep yang jumlahnya hanya sedikit. Padahal ini adalah kepentingan seluruh petani. Dan kelangsungan hidup petani adalah kelangsungan ketahanan pangan masyarakat, baik di desa maupun di kota.
Pukul 16.00 sore kami pulang menuju Jogjakarta. Matahari yang mulai tenggelam menemani pikiran yang telah digeluti oleh beragam persoalan petani pati. Apa yang bisa kita lakukan? Melalui kerjasama dengan Desantara semoga COMBINE bisa mendukung perjuangan petani pati. Semoga!
Sebuah catatan lapangan Ade Tanesia dari Pati, 13-14 April