Oleh : Ibnu Hajjar Asqolani
Staf Suara Warga CRI
Berbekal mitos kesejateraan, pemerintah mengeluarkan kebijakan pendirian industri tambang sebagai solusi atas kemiskinan dan keterpurukan ekonomi di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Perjuangan kaum tani pun terus bergulir demi melawan kebijakan yang mengancam kelestarian ruang hidup mereka.
Pendekatan prosedural yang paling sering digunakan dalam studi kebijakan selama ini lazimnya menempatkan pemerintah sebagai pihak yang netral. Dengan kata lain, dalam merancang dan mengeluarkan kebijakan, pemerintah dianggap senantiasa bersikap adil, tidak dipengaruhi siapa pun, serta tidak memiliki kepentingan apa pun selain menyejahterakan warganya. Jika pemerintah melakukan penggusuran, misalnya, hal tersebut dilakukan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kalau sewaktu-waktu pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan kawasan hutan untuk industri perkebunan, misalnya, hal itu dilakukan semata-mata untuk menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan bersama. Pun ketika kaum tani harus diusir dari lahan garapannya demi pendirian pabrik semen, hal itu semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan bagi segenap warganya.
Satu-satunya tujuan pemerintah, dalam pandangan tersebut, adalah untuk menyejahterakan warganya melalui berbagai kebijakan. Pandangan ini sekian lama diamini oleh kaum terpelajar dan tercermin dalam berbagai studi kebijakan selama ini. Akan tetapi, pandangan semacam itu lantas mengundang pertanyaan: benarkah dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh pihak lain? Selanjutnya, bila pandangan itu benar, bagaimana mungkin warga yang seharusnya diakomodasi justru lebih sering menjadi korban dalam kebijakan-kebijakan pemerintah?
Kejanggalan-kejanggalan tersebut diuraikan Hendra Try Ardianto ketika mengawali narasi bukunya, Mitos Tambang untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana tentang Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. Buku ini mengangkat konflik dalam pendirian tambang semen di Rembang sebagai bahan kajian. Lewat karya yang semula merupakan tugas akhirnya di Program Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut, ia mencoba membalik pandangan normatif yang selama ini dipakai dalam studi kebijakan. Alih-alih menjadi pengamat yang “netral” dan mengajukan solusi normatif, penulis menegaskan sikapnya dalam menyajikan kajian yang bersimpati pada warga sebagai pihak yang lemah dan lebih sering menjadi korban dalam kebijakan.
Kedelapan bab dalam buku tersebut merangkum narasi atas proses pengambilan kebijakan yang tak bisa lepas dari pertarungan kepentingan. Dalam konflik di Rembang, setidaknya terdapat dua kekuatan yang dihadapi warga: pemerintah dan korporasi. Hubungan dan posisi antara pihak-pihak yang saling berkepentingan itu diuraikan dengan tegas di bagian awal buku tersebut:
“Konflik kebijakan ini melibatkan pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Rembang) dan korporasi (PT Semen Indonesia) di satu pihak dan masyarakat lokal di dua desa—yakni para petani di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan di di pihak lain. Bagi negara dan korporasi, kehadiran tambang dinilai sebagai jawaban atas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat lokal yang dianggap tidak mampu mengembangkan sendiri ekonominya. Sebaliknya bagi masyarakat lokal, keberadaan pertambangan dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup mereka dan kerusakan lingkungan yang akan berdampak buruk bagi masyarakat luas.” (hlm. 3-4)
Bagian awal buku ini menyajikan uraian terkait posisi pemerintah dan pelaku industri pertambangan dalam membangun gagasan tentang pentingnya pembangunan. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan membutuhkan pembenaran atas rencana-rencana kebijakan yang ingin dijalankan. Dalam kasus Rembang, misalnya, narasi tentang kemiskinan dan jumlah pengangguran yang tinggi menjadi pintu masuk bagi pemerintah daerah dan korporasi untuk melanggengkan proyek tambang.
Berbekal data statistik terkait kondisi kemiskinan di Rembang, pemerintah mencoba membangun gagasan tentang pentingnya pembangunan di desa. Isu kemiskinan lantas ditautkan dengan potensi tambang yang tersebar di kawasan yang sebelumnya telah dilabeli sebagai “daerah miskin” tersebut. Pada titik ini, tambang pun dihadirkan sebagai gerbang untuk keluar dari segala penderitaan dan keterpurukan ekonomi menuju kesejahteraan bersama.
Gagasan tersebut sulit dicerna oleh warga yang selama ini merasa bahwa hidupnya baik-baik saja. Alih-alih ikut menyetujui proyek pembangunan tambang, warga justru dihantui kekhawatiran akan kerusakan ruang hidup mereka. Pencemaran lingkungan dan hilangnya daerah resapan air yang diakibatkan penambangan justru akan mengancam aktivitas pertanian yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga. Pada titik ini, pertarungan wacana antara pemerintah dan korporasi dengan warga yang menolak tambang tak bisa terelakkan. Pertentangan tersebut kemudian mewujud dalam berbagai strategi yang dijalankan pemerintah daerah maupun PT Semen Indonesia untuk memaksakan berdirinya pabrik semen di Rembang.
Berbagai cara lantas ditempuh untuk menyangkal segala penolakan yang datang dari warga. Pihak perusahaan memulai langkahnya dengan kampanye tentang praktik pertambangan yang baik (Good Mining Practice). Berbekal sertifikat penghargaan sebagai pelaku pertambangan ramah lingkungan hingga paket wisata khusus berlabel Wisata Green Industri, pihak korporasi berupaya meyakinkan berbagai pihak bahwa aktivitas penambangan kelak tidak akan merusak lingkungan.
Upaya tersebut ditopang dengan mengupayakan studi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dengan sumber daya yang dimiliki perusahaan, berbagai pihak berhasil dirangkul untuk memuluskan strategi ini. Sekumpulan akademisi dari berbagai universitas ternama lantas turut ambil bagian. Lewat berbagai izin dan peraturan daerah, pemerintah daerah dengan kekuasaannya pun mendorong pendirian tambang. Pada titik ini, negara dan korporasi dengan bantuan segelintir akademisi berupaya menegaskan bahwa aktivitas penambangan nantinya tak akan berbahaya bagi lingkungan. Maka kekhawatiran warga penolak tambang sama sekali tak beralasan.
Demi memuluskan kebijakan pembangunan, pemerintah dan korporasi membutuhkan dukungan dari warga. Buku ini kemudian menguraikan bagaimana persetujuan atas kebijakan tersebut diupayakan dengan merangkul tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Bantuan dana sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) pun digelontorkan ke warga demi meraih dukungan dan memecah suara warga. Lebih jauh lagi, warga yang menolak tambang lantas ditampilkan sebagai gerombolan perusuh yang menghalangi proses penyejahteraan warga yang mendukung tambang.
Berbagai strategi tersebut terpatahkan oleh kenyataan yang dipaparkan warga yang tetap menolak pendirian tambang. Berbekal studi tandingan, mereka membuktikan bahwa iming-iming tambang ramah lingkungan hanya akal-akalan dari pihak perusahaan. Pada kenyataannya, berjalannya aktivitas pertambangan di daerah yang berada dalam kawasan lindung geologi itu akan mengancam ruang hidup warga. Kerusakan yang sama pun akan menimpa kawasan karst dan sumber mata air yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga. Alih-alih kesejahteraan, keterpurukan dan kerusakan lingkungan yang lebih parah justru akan menimpa lingkungan mereka.
Pada akhirnya, buku ini menunjukkan pertarungan yang tak imbang–antara warga di satu sisi melawan korporasi yang didukung pemerintah di sisi lain–dalam proses pengambilan kebijakan. Bab demi bab dalam buku ini membuktikan bahwa tidak ada netralitas dalam pengambilan kebijakan. Negara pun tidak berdiri sebagai pihak yang sepenuhnya berkuasa dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain, warga sebagai pihak yang terkena dampak atas kebijakan selalu berada dalam posisi rentan, bahkan tak jarang ditaklukkan tanpa perlawanan. Dengan demikian, pengorganisasian diri dan penggalangan solidaritas adalah hal yang mutlak diperlukan agar warga tak melulu menjadi korban dari pembuat kebijakan.