Oleh Biduk Rokhmani
Banyak hal dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau instansi pemerintah sebagai bentuk respon atas bencana gempa bumi yang melanda wilayah Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 lalu. Dari mulai bantuan fisik berupa distribusi logistik sebagai bentuk tanggap darurat, hingga bantuan psikologis berupa konseling guna pemulihan trauma pascabencana pun dilakukan untuk membantu para korban gempa.
Salah satu lembaga yang konsentrasi terhadap persoalan perempuan, Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih, mencoba menginisiasi pendirian women center di wilayah Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Women center yang berfisik layaknya aula atau pondok itu dimaksudkan sebagai pusat kegiatan bagi ibu-ibu yang notabene merupakan korban
gempa.
Perempuan-perempuan itu berkumpul untuk mengorganisasi diri agar tumbuh semacam bentuk solidaritas di antara mereka. Banyak hal yang sebelumnya sangat tidak mungkin dilakukan namun ketika bencana alam datang justru sebenarnya mudah untuk direalisasikan. Salah satunya adalah munculnya rasa solidaritas dan kesatuan antarwarga pascaterjadinya bencana alam itu.
Sebelum bencana melanda kawasan mereka, warga di sana memiliki karakter yang cukup individualis. Seperti di wilayah Dusun Demangan Kopen, Desa Wonokromo, Plered. Dulu, masyarakat di daerah itu terpecah menjadi dua kelompok—wilayah barat (Demangan) dan timur (Kopen)—yang tidak saling peduli dan cenderung mementingkan wilayahnya masing-masing yang hanya dipisahkan sebuah sungai kecil. Namun bencana mampu memberi hikmah positif untuk menyatukan masyarakat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani itu.
Mereka mulai membaur dan bahu-membahu agar segala bentuk kesulitan hidup yang harus mereka tanggung akibat bencana dapat teratasi secara bersama, bukan sendiri-sendiri. Diawali dengan mengaktifkan kembali kegiatan arisan—dulunya hanya mengakomodasi salah satu bagian wilayah yang secara administratif masih satu dusun—yang sempat terhenti karena gempa. Kini mereka berkumpul tanpa perlu lagi mempermasalahkan perbedaan lokasi tempat tinggal yang berseberangan.
“Semua rumah di daerah sini hancur, jadi setelah gempa praktis kami tidak lagi punya tempat berkumpul. Sekarang setelah pondok seluas 4×6 meter persegi ini berdiri kami punya tempat publik untuk berkegiatan dan kumpulan ibu-ibu, seperti arisan yang diselenggarakan seminggu sekali yang dilanjutkan musyawarah atau diskusi, dan belajar berorganisasi,” terang Tri Hadiah (36), ibu dua anak perempuan yang berperan sebagai humas di Pondok Kinanti.
Kegiatan arisan itu lantas berlanjut menjadi simpan pinjam sebagai modal usaha untuk tonggak roda ekonomi mereka sehari-hari. Dari sana terbentuk kelompok-kelompok usaha dengan jenis usaha yang bervariasi, ada kelompok jahit, kerajinan criping singkong, maupun budidaya lobster. Penentuan jenis usaha itu tergantung minat kelompok masingmasing.
Untuk usaha budidaya lobster, kelompok yang beranggotakan 20 orang ibu itu bekerja sama dengan perusahaan Andi Farm (Srandakan, Bantul) sebagai penyedia bibit sekaligus yang nantinya akan menampung hasil panen lobster dan mendistribusikannya kepada konsumen. Keuntungan hasil panen itu nanti akan dibagi-bagi berdasarkan persentase yang sebelumnya telah mereka sepakati bersama. Yakni 50% dibagi rata untuk seluruh anggota kelompok, 5%-nya dimasukkan ke kas Pondok Kinanti, sedangkan 45% sisanya untuk menambah modal melanjutkan usaha tersebut. Sedangkan untuk pemasaran criping singkong baru sebatas dititipkan ke warung-warung di sekitar Demangan Kopen.
Dituduh Misionaris
Awalnya tidak mudah memang untuk bisa mendirikan pusat kegiatan bagi perempuan itu. Banyak pertentangan yang harus diterima oleh SP Kinasih dan para perempuan yang bertekad ingin maju. Bahkan para fasilitator SP Kinasih pun dituduh sebagai misionaris. “Kami dituduh hendak melancarkan misi-misi tertentu dengan cara menggerakkan ibu-ibu itu. Belum lagi pertentangan dengan pihak aparat desa setempat yang merasa keberatan jika pondok itu didirikan di wilayahnya, tanpa ada alasan penolakan yang jelas,” kata Community Organizer SP Kinasih di Dusun Demangan Kopen, Plered Sigit Purwanto.
Hal itu diamini Tri Hadiah. Hingga, mulanya pondok yang ditujukan sebagai sarana berkumpul untuk publik (tidak hanya untuk ibu-ibu tapi juga kelompok warga yang lain-red) itu tidak jadi didirikan di tanah kas desa melainkan di halaman salah seorang warga, Rustinah, dengan sistem sewa selama dua tahun. Meskipun menyewa, namun Rustinah sama sekali tidak membebankan biaya sewa, melainkan sewa itu sekadar bentuk perjanjian formal hak pakai lahan.
Tidak hanya di Demangan Kopen, di wilayah lain pendirian pondok/aula itu juga mengalami pertentangan serupa. “Malahan di Dusun Sareyan, Desa Wonokromo itu Pak Dukuhnya (meski mengizinkan pondok didirikan di atas tanah dia) berambisi hendak memiliki pondok itu secara pribadi jika kegiatan women center itu sudah selesai nanti. Untunglah kami dan para ibu itu bisa memahamkan beliau, jadi pondok itu tetap menjadi milik warga,” ungkap Sigit.
Hal yang sama juga terjadi di Dusun Sanan RT 6, Desa Bauran. Suyanti (40) dan hampir 90% perempuan di Sanan yang berkeinginan maju dan meningkatkan taraf hidup mereka harus mengalami perlakuan tidak mengenakkan dari aparat dusun dan kelompok-kelompok warga yang menentang pendirian pondok itu di kampung mereka. “Selama ini kami cuma menghabiskan waktu menjadi petani dan ibu rumah tangga yang hanya mengurusi keluarga. Kami ingin berubah, kepingin maju dan berwawasan luas. Saat kesempatan itu sudah ada di depan mata mosok kami mau menyia-nyiakannya,” ujar Yanti.
Meski ditentang keras oleh kepala dukuh setempat dan dituduh hendak menyebarkan misi agama lain (seluruh warga Sanan beragama Islam-red), para perempuan yang tinggal di kampung yang berjarak hampir 20 km dari Kota Yogyakarta itu ‘nekat’ mengorganisasi diri. “Akhirnya sekarang aula ini bisa berdiri juga. Perempuan-perempuan Sanan sekarang punya tempat untuk berkegiatan. Biarpun kami ini cuma petani desa tapi kami kan juga punya hak untuk maju to,” tuturnya puas.
Di Demangan Kulon sendiri, meskipun pendirian Pondok Kinanti itu relatif tidak mengalami hambatan berarti, namun persoalan justru muncul saat program itu sudah mulai berjalan. Adanya bentukbentuk penolakan dari pihak laki-laki (suami-red) ketika menghadapi kenyataan bahwa sekarang istri-istri mereka sibuk beraktivitas. “Dulu selain aktivitas rutin (bekerja dan ibu rumah tangga-red) kami tidak melakukan aktivitas lain, tapi kan sekarang jadi sering keluar rumah untuk beraktivitas di pondok. Saya sering mendengar, bapak-bapak itu mengeluh ‘kumpal-kumpulan ae, oleh opo? (kerjanya hanya kumpulan saja, akan dapat apa)’. Mereka itu mungkin belum memahami, tahunya kan kami cuma berkumpul biasa, tidak berkegiatan,” tutur Tri Hadiah.
Sekarang, semua tinggal dikembalikan kepada para perempuan di desa itu. Hendak diapakan pondok sebagai pusat kegiatan perempuan yang notabene telah susah-payah mereka upayakan untuk berdiri itu. ***