Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Nomor 14 Tahun 2008 menjamin hak seluruh warga negara Indonesia untuk mengakses informasi publik. Implikasinya, setiap badan publik wajib memberikan informasi publik kepada masyarakat.
Kewajiban memberi informasi publik tersebut disebutkan dengan jelas dalam UU KIP Bab XI pasal 52 yang berbunyi:
“Badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).”
Sesuai amanat pasal tersebut, setiap badan publik wajib memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi atau PPID. PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik. PPID inilah yang menjadi garda terdepan dalam memberikan informasi publik kepada masyarakat.
Dalam tulisannya di Buletin Tinarbuka edisi 15, Suharnanik Listiana selaku komisioner KI DIY Bidang Advokasi, Sosialisasi dan Edukasi menjelaskan, terhitung mulai Januari 2017, PPID badan publik negara diampu oleh Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Sebelumnya, jabatan ini dipegang oleh Dinas Hubungan Masyarakat (Humas).
PPID di tingkat desa
Desa adalah badan publik. Oleh karena itu, desa punya kewajiban untuk melaksanakan amanat UU KIP. Desa wajib punya PPID.
Salah satu tugas PPID tingkat desa adalah mengelompokkan dan menyampaikan informasi ke publik: mana jenis informasi yang tersedia setiap saat, berkala, dan mana yang serta merta. Penyampaian informasi tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari papan informasi, spanduk, sampai melalui laman desa.
Inisiatif menunjuk PPID di tingkat desa memang menjadi wewenang dari desa. “Desa sudah punya undang-undang sendiri (UU Desa-red). Karena itulah pemerintah baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten tidak berwenang membawahi desa, hanya ada koordinasi. Pemkab menganggap bahwa desa terpisah dengan pemkab,” jelas Martan Kiswoto selaku Komisioner KI DIY Bidang Kelembagaan saat ditemui di kantornya, (19/4).
Menjadi tambahan beban pekerjaan
PPID tingkat desa seharusnya menjadi garda terdepan yang selalu siap memberikan segala informasi publik yang berkaitan dengan pemerintah desa. Namun demikian, PPID dalam sebagian badan publik-termasuk desa, tidak dianggap sebagai sebuah hal yang memikat. Sebaliknya, dianggap sebagai tambahan beban pekerjaan. Hal itu disampaikan Adam Wijoyo Sukarno, dosen Ilmu Komunikasi UGM. “Istilah Jawa menyebut legan golek momongan (orang yang sudah tenang, malah mencari-cari kesulitan-red). Karenanya, tidak semua personil yang diplot menjadi PPID senang menjalani pekerjaan barunya,” terangnya dalam wawancara melalui surat elektronik, (20/6).
Adam mencontohkan pengalamannya melakukan permohonan informasi di level desa secara resmi. Meski permohonannya sudah ditembuskan ke KI, ia tidak pernah memperoleh jawaban dari desa. “Padahal itu adalah informasi umum yang sebenarnya tak begitu masalah jika dibuka,” tulisnya.
PPID di manapun levelnya akan sangat terbantu jika badan publik telah memiliki pangkalan data (database) informasi publik. Tugas PPID menjadi semakin ringan karena mereka tinggal memilah dan menimbang mana informasi yang terbuka atau tertutup. “Persoalannya, database di berbagai level birokrasi, utamanya di desa belum begitu bagus,” kata Adam.
Idealnya, PPID melekat pada sekretaris desa. Adam menjelaskan, jika pangkalan data tersebut bisa disusun, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) PPID bisa dilekatkan dan dilakukan oleh bagian yang ditunjuk oleh pemdes. Namun secara faktual, saat ini belum semua desa atau perangkat desa memahami bahwa hal tersebut diatur dalam UU KIP. “Saya kira bukan hal yang sulit jika kita memang serius dan memiliki komitmen kuat dalam mengawal UU KIP untuk menciptakan transparansi, akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan,” pungkasnya.
Baca juga:
Kita Harus Tahu Hak untuk Tahu!
Tulisan ini diterbitkan di majalah Kombinasi cetak edisi bulan April-Juni 2017
One thought on “PPID, Garda Terdepan atau Beban Tambahan?”