oleh Mart Widarto
“Begini yah Pak. Radio komunitas saya di Sumatera Barat adalah radio khusus untuk perempuan, sehingga sebenarnya tidak dibatasi dengan wilayah. Sekarang radio saya hanya bisa menjangkau radius 40 km, padahal target pendengar adalah perempuan yang tersebar di berbagai daerah. Bagaimana kalau ketentuan tentang batas siaran radio komunitas bisa diubah?” ungkap Ibu Nurhayati dari Radio Suara Perempuan, di Pariaman, Sumatera Barat.
Inilah salah satu keluh kesah para pengelola radio komunitas di Indonesia dalam forum Semiloka Advokasi Radio Komunitas di Jogjakarta, 1-2 Juli 2005. Sebelumnya, seluruh perwakilan jaringan radio-radio komunitas daerah di 17 propinsi besar menggelar Rapat Kerja Nasional Jaringan Radio Komunitas Indonesia. Tujuh belas propinsi yang diwakili oleh 17 Majelis Aggota JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia) adalah; JRK-Sumut (Wirakom), JRK-Sumbar, JRK-Lampung, JRK-Jabotabek, JRK-Banten, JRK-Jabar, JRK-Jateng, JRKY, JRK-Jatim, JRK-Bali, JRK-NTB, JRK-NTT, JRK-Sulut, JRK-Sulsel, JRK-Kalbar, JRK-Kaltim, JRK-Papua. Rakernas tersebut dilaksanakan di Balai Budaya Sinduharjo (PUSKAT) Jalan Kaliurang 8,5 Yogyakarta, pada tanggal 29-30 Juni 2005.
Hal-hal yang dibahas adalah perumusan langkah teknis jaringan radio komunitas menghadapi rintangan dan permasalahan yang cukup banyak menghadang. Dalam rapat kerja tersebut beberapa permasalahan terpetakan, antara lain alokasi frekwensi yang tidak adil; standarisasi alat tidak jelas; dana radio komunitas yang minim; lemahnya capacity building (pengembangan kapasitas), hal ini menyangkut dengan sulitnya manajemen relawan, partisipasi warga lemah, SDM radio komunitas yang lemah; dan belum jelasnya prosedur perijinan. Dari identifikasi permasalahan tersebut maka dibentuk peta rencana yang akan menjadi acuan Jaringan Radio Komunitas Indonesia sebagai lembaga dalam menjalankan fungsinya sebagai lokomotif radio komunitas Indonesia.
Acara yang diakhiri pada hari Jumat tersebut tidak serta merta selesai, tapi diteruskan dengan agenda semiloka Advokasi Radio Komunitas di Indonesia. Adapun yang hadir ialah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), KPI-D (Komisi Penyiaran Indonesia-Daerah), Jaringan Perdukung Radio Komunitas, Yayasan Tifa, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Combine Resource Institution (CRI) dengan menghadirkan Asosiasi Radio Komunitas Internasional yaitu AMARC dengan host acara ini adalah Jaringan Radio Komunitas Indonesia.
Dari berbagai diskusi di semiloka tersebut terungkap bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih belum dapat mengakses informasi karena keterbatasan akses terhadap media. Radio komersil yang selama ini berkembang lebih melayani kepentingan masyarakat perkotaan dan masyarakat yang memiliki daya beli tinggi sesuai karakter dari media ini. Radio komunitas merupakan alternatif solusi bagi pemenuhan kebutuhan akan akses informasi tersebut. Bagi pengembangan demokrasi, radio komunitas juga memiliki arti penting, terbukti partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dan juga kesadaran masyarakat akan demokrasi dapat dibangun melalui media jenis ini, terutama pada tingkat masyarakat akar rumput.
Saat ini jumlah stasiun radio komunitas di Indonesia diperkirakan telah mencapai 500 stasiun. Meskipun keberadaan radio komunitas di Indonesia telah diakui dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tetapi masih banyak kendala yang ditemui dalam upaya untuk mengembangkannya. Salah satunya adalah alokasi frekuensi. Sementara ini aturan dalam hal penggunaan frekuensi, pemerintah berpedoman pada SK Menteri perhubungan Nomor 15 dan 15a, bahwasannya radio komunitas diberikan 3 kanal 202, 203, 204, atau menempati frekuensi 107.7, 107.8, 107.9 dengan jangkauan siaran 2,5 km dan ERP (power) maksimal 50 watt. Apabila aturan tersebut digunakan di daerah perkotaan yang padat maka yang terjadi rakom sulit memetakan siapa audiensinya dan secara teknispun sulit. Hal tersebut terjadi di jogjakarta, radio kampus yang jaraknya sangat berdekatan berakibat terjadinya kesalah pahaman atau konflik-konflik baru karena dengan 3 frekuensi yang sama saling berdekatan, dan saling bertabrakan. Lalu jika aturan tersebut dilaksanakan di daerah yang luas seperti Kalimantan dengan jarak jangkauan siaran 2,5 km, yang akan mendengarkan radio tersebut hanya beberapa kepala keluarga saja, padahal dalam proses perijinan rakom harus memperoleh dukungan minimmal 51% atau 250 orang komunitasnya.
Prosedur perijinan yang disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meskipun telah melalui proses konsultasi kepada beberapa radio komunitas juga masih terlalu berbelit-belit dan panjang. Radio komunitas harus mengajukan surat permohonan kepada kepada KPI-D, lalu KPI-D akan verifikasi dan evaluasi. Apabila tidak memenuhi syarat maka surat permohonan akan dikembalikan, apabila disetujui permohonan akan di lanjutkan ke KPI Pusat. Di KPI Pusat prosesnya hampir sama, yaitu di kompilasikan melalui forum bersama antara Pemerintah inter-departemen (departemen yang berkaitan dengan penyiaran seperti Perhubungan, Depkominfo) dan KPI Pusat. Bayangkan jika masyarakat di Papua mau membuat radio komunitas, mereka harus urus perijinan sampai ke Jakarta. Oleh karena itu dalam semiloka tersebut diusulkan agar perijinan bisa keluar di tingkat KIP-D.
Peserta diskusi yang sangat antusias untuk meyumbangkan pemikirannya ini akhirnya dapat memberikan butir-butir rekomendasi yang harus diterapkan oleh berbagai pihak. Inilah PR besar radio komunitas yang belum selesai.(Dari acara Rakernas JRKI dan Semiloka Advokasi Radio Komunitas di Indonesia)
Mart Widarto, Wakil Ketua Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta
Rekomendasi Hasil Semiloka
Perlunya penguatan radio komunitas dalam hal pemahaman prinsip dan paradigma radio komunitas kepada pengelola, inisiator , juga kepada pihak-pihak eksternal seperti KPI, pemerintah (lembaga terkait) dan juga kepada komunitasnya agar keterlibatannya menjadi nyata.
Perlunya kejelasan siapa yang berwenang mengelola dunia penyiaran di Indonesia, termasuk di dalamnya wewenang dalam memberikan ijin penyiaran (dan penggunaan frekuensi). Untuk itu, JRKI dengan berbagai JRK daerah bersama dengan komponen masyarakat sipil lainnya akan melakukan advokasi untuk memperjelas pihak yang paling berwenang untuk menentukan itu.
Perlunya kemudahan dalam prosedur dan persyaratan pengajuan ijin penyiaran (dan sekaligus penggunaan) bagi penyiaran komunitas. Untuk itu, JRKI akan mendesak KPI untuk mengundurkan jadwal pengesahan SK KPI tentang hal tersebut dan meminta KPI untuk membahasnya bersama dengan JRKI dan komponen masyarakat sipil lainnya.
Perlunya alokasi frekuensi yang fleksibel dan pembagian yang adil atas penggunaan frekuensi. JRKI mengusulkan alokasi frekuensi sebesar minimal 20 persen dengan fleksibilitas pengalokasiannya didasarkan atas kesepakatan di daerah dengan KPI Daerah dan jenis penyiaran lainnya yang didasarkan atas kondisi topografi, geografis dan sosiografis setempat. AMARC diharapkan dapat menyuarakan serta mendukung advokasi di tingkat internasional.
Perlunya fleksibilitas terhadap penerapan jangkauan siaran. Fleksibilitas ini didasarkan pada kondisi dan realitas geografis dan demografis serta ketersediaan dan daya dukung ekonomis dan sosial yang ada di masing-masing daerah dan dapat diatur oleh KPI dan KPI daerah bersama dengan JRK daerah dan pihak-pihak terkait lainnya. Dikarenakan basis radio komunitas berasal dari komunitasnya dan dikategorikan sebagai non-komersial maka sudah selayaknya pemerintah membebaskan radio komunitas atas biaya penggunaan frekuensi (BHPF). Bahkan sudah selayaknya penerimaan negara dari BPHF dikembalikan untuk pengembangan dunia penyiaran khususnya lembaga penyiaran komunitas sebagai wujud tanggung jawab sosial dunia penyiaran secara keseluruhan kepada pemberdayaan masyarakat dan bangsanya.