Oleh Mulya Amri
Radio komunitas (rakom) ternyata tidak hanya berurusan dengan masalah-masalah lokal. Buktinya, pada tanggal 24-27 November 2005 yang lalu di Jakarta, paling tidak 25 rakom dari berbagai penjuru di tanah air, dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua, turut menentukan sejarah internasional: bersama-sama dengan puluhan rekannya dari negara-negara seperti Nepal, Bangladesh, Filipina, Timor Leste, Korea Selatan, Papua Nugini, dan Australia, mereka melahirkan AMARC (Asosiasi Radio Komunitas Sedunia) Asia Pasifik. Selain itu, dalam acara yang sama, Presiden AMARC Internasional, Steve Buckley, kembali menegaskan dukungannya untuk pengembangan rakom di Indonesia.Pilihan AMARC Internasional untuk menyelenggarakan Kongres Pertama AMARC Asia Pasifik di Indonesia tidak salah. Hasilnya berdampak ganda. Di satu pihak, rasa penasaran dunia internasional untuk melihat gairah
perkembangan rakom di negara berpenduduk besar yang sedang mengalami transisi ke demokrasi ini dapat dilunaskan. Menurut penelitian Imam Prakoso (Combine) dan Nick Nugent yang disponsori Bank Dunia (2005), saat ini di Indonesia teridentifikasi paling tidak 680 rakom. Beberapa pihak bahkan menyatakan jumlahnya berkisar antara seribu sampai tiga ribu. Kebanyakan rakom di Indonesia dibangun berdasarkan inisiatif anggota masyarakat di tingkatan yang paling lokal untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka. Sayangnya, walaupun Indonesia telah memiliki Undang-undang Penyiaran yang mendukung keberadaan rakom, peraturan pelaksanaannya masih belum jelas/lengkap betul, dan sebagian peraturan yang sudah ada masih dirasakan memberatkan rakom.
Di pihak lain, kongres ini juga membuka wawasan pegiat-pegiat rakom di Indonesia tentang kerasnya perjuangan rekan-rekannya di Asia Pasifik. Ternyata India dan Malaysia masih menggunakan Undang-undang yang melarang adanya penyiaran komunitas. Bahkan di Myanmar dan Filipina masih terjadi kekerasan terhadap wartawan. Meskipun menghadapi tekanan dan ketidak-adilan dari pemerintahnya masing-masing, berbagai rakom, organisasi rakyat dan LSM di negara-negara ini terus melakukan kerja-kerja penyiaran komunitas dan menghidupkan semangat keterbukaan informasi serta partisipasi masyarakat. Bahkan, sebagaimana terjadi di India dan Fiji, rakom telah berperan besar memperjuangkan kepentingan kaum perempuan, sebuah hal yang masih perlu lebih banyak dicontoh oleh rakom-rakom Indonesia (lihat tulisan Masduki di Kombinasi sebelumnya, “Radio Komunitas Minim Perempuan”).
Proses berbagi cerita ini tentunya diharapkan dapat memberi inspirasi bagi masing-masing pihak untuk bekerja lebih baik melayani kebutuhan komunitasnya. Sebagai bagian dari proses tersebut, beberapa wakil rakom dari Asia Pasifik, terutama Korea Selatan, Bangladesh, dan Jepang menyempatkan diri berkunjung ke Radio Komunitas Kamal Muara di Jakarta Utara. Mereka terheran-heran sekaligus kagum melihat betapa Radio Kamal mampu bersiaran dan memberikan layanan informasi kepada komunitas nelayan dengan fasilitas yang seadanya.
Kongres AMARC Asia Pasifik dibuka dengan sesi tentang peran rakom dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs, satu set tujuan dan sasaran pembangunan yang dirumuskan oleh negara-negara anggota PBB di tahun 2000). Selanjutnya, kongres diteruskan dengan sesi pembangunan dan tantangan rakom di Asia Pasifik, lalu sesi masalah-masalah perempuan dan gender, sesi tantangan dan inisiatif rakom di tingkat nasional, dan terakhir sesi peraturan dan perundang-undangan dan kaitannya dengan hak berkomunikasi di dunia internasional. Ada 4 wakil dari Indonesia yang turut mengisi sesi-sesi tersebut, yaitu Shita Laksmi dari Yayasan Tifa yang menjadi moderator sesi pertama, Kukuh Sanyoto dari MPPI/LeSKKUD yang bercerita tentang tantangan peraturan/perundang-undangan dan pengakuan rakom sebagai sektor ketiga, Nurhayati Kahar dari Radio Suara Perempuan, Pariaman, Sumatera Barat, yang bercerita tentang peran rakom dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan, dan Mulya Amri dari Combine Resource Institution yang memaparkan peran rakom dalam pembangunan pedesaan. Berkat keberadaan alat bantu penerjemahan, kebanyakan wakil-wakil dari Indonesia yang tidak fasih berbahasa Inggris dapat mengikuti kongres secara penuh dan berpartisipasi aktif dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan komentar yang konstruktif.
Setelah sesi-sesi seminar dan diskusi kelompok berdasarkan sub-wilayahnya (Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Timur, dan Pasifik), acara diteruskan dengan kongres pembentukan AMARC Asia Pasifik. Pertama-tama, draft statuta (aturan main) organisasi dipresentasikan dan dibuka kesempatan bagi semua anggota untuk menambah/ mengubahnya. Selanjutnya, dilakukanlah pemilihan delapan orang anggota Dewan AMARC Asia Pasifik. Kukuh Sanyoto, yang mendapat dukungan penuh dari delegasi rakom Indonesia bersaing dengan Ashish Sen dari Voices, India, untuk menjadi presiden dewan, namun kalah saat pemungutan suara. Jabatan koordinator AMARC Asia Pasifik tetap dipegang Suman Basnet dari Nepal.
Meskipun wakil dari Indonesia masih belum mendapat tempat di Dewan AMARC Asia Pasifik, AMARC Internasional menegaskan dukungannya untuk pengembangan rakom Indonesia, yang dilihatnya memiliki potensi besar menjadi model pengembangan rakom di Asia Pasifik. Hal ini secara resmi ditegaskan oleh Presiden AMARC Internasional, Steve Buckley, dalam makan malam perpisahan yang disponsori oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI-Pusat). Perwakilan KPI Pusat, Amelia Hezkari Dey, menyambut baik dukungan tersebut dan menyatakan bahwa penyiaran komunitas merupakan unsur penting dalam dunia penyiaran di Indonesia. Kongres AMARC Asia Pasifik juga dihadiri secara penuh oleh wakil dari beberapa KPI Daerah, yaitu dari Sulawesi Selatan, Bali, Yogyakarta, dan Jawa Barat.
Catatan:
Informasi lebih lanjut tentang AMARC maupun Kongres AMARC Asia Pasific dapat dilihat di www.amarc.org. Saat ini tercatat 20-an organisasi/rakom Indonesia yang menjadi anggota AMARC Asia Pasific, dengan 18 organisasi yang memiliki hak suara. Panitia Indonesia untuk penyelenggaraan kongres terdiri dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), dan Combine Rasource Institution, dengan dukungan dari Yayasan Tifa.