oleh Ade Tanesia
“Saya DofegamaSwara dengan sangat terpaksa membubarkan kepengurusan ataupun kepenyiaran di Radio Kompak pada angkatan 2 s/d saat ini. ……Trus Kompak bubar? Tidak! Kompak tidak akan pernah bubar!” (Cuplikan dari surat pembubaran pengurus Radio KOMPAK, 01 Maret 2005)
Kabar burung tentang bubarnya Radio Komunitas (rakom) KOMPAK dibantah keras oleh Lutfi, penanggung jawab KOMPAK yang di radio dikenal dengan nama DofegamaSwara. “Kemarin hanya pembubaran pengurus saja. Kami sekarang sedang memantau calon-calon penyiar baru. Insyaallah kami bisa mengudara lagi dalam waktu 3-4 bulan ke depan,” tegas Lutfi saat ditemui buletin KOMBINASI.
Berdiri pada tahun 2001, KOMPAK berawal dari kegemaran dua pemuda di wilayah Pathuk, DIY, Lutfi dan Andre, yang mempunyai hobby ngebreak. Tertarik membuat radio, akhirnya dengan uang hasil bantingan, berdirilah tower dari bambu dan seperangkat alat pemancar berkekuatan 3 Watt, yang kemudian diperbesar menjadi 40 Watt. Visi Radio KOMPAK didasari oleh keprihatinan mereka terhadap warga di daerahnya yang banyak mengkonsumsi miras (minuman keras) dan narkoba. Radio KOMPAK difokuskan sebagai media kampanye anti miras dan narkoba. Visi ini semakin kuat saat KOMPAK bekerjasama dengan organisasi GRANAT (Gerakan Nasional Anti Narkoba) untuk mengkampanyekan anti miras dan narkoba melalui program acara Say No To Drugs.
Dengan kekuatan 40 Watt, maka daya jangkau Radio KOMPAK semakin luas, sehingga tidak hanya didengar oleh komunitas sekitar Pathuk. Imbasnya, saat mereka membuka pendaftaran untuk penyiar, peminatnya membludak dari berbagai kawasan di Yogyakarta. “Penyiar kami ada yang dari Godean, Wates, Taman Siswa. Sedari awal para calon penyiar itu sudah kami beritahu aturan mainnya. Pokoknya ini adalah radio komunitas yang tak ada gajinya, bahkan mereka harus memberi iuran minimal Rp. 5000,- per bulan,” ungkap Lutfi.
Awalnya kebersamaan antar anggota cukup erat, bahkan secara musyawarah mereka mampu menyepakati kode etik kerja di KOMPAK, seperti larangan merokok di studio, aturan agar 15 menit sebelum siaran, penyiar wajib hadir di studio. Lebih dari sekedar kode etik, mereka pun mampu merancang sistem sangsi bagi anggotanya. Disamping persoalan kode etik yang jelas, Radio KOMPAK juga terkenal dengan kualitas penyiarnya. Selain ada test masuk untuk penyiar, pengurus inti selalu memberikan pendampingan yang intensif terhadap penyiar baru.
Seluruh prestasi yang dicapai oleh KOMPAK tidaklah berjalan mulus, diantaranya persoalan dana dan kerusakan alat. Namun faktor terbesar yang membuat KOMPAK harus membubarkan pengurus dan berhenti sementara waktu adalah soal sumber daya manusia. “Masalahnya ada anggota yang ternyata tidak bisa dipercaya. Contohnya ada yang membobol kunci telpon sehingga tagihan meledak. Ada juga anggota yang diminta untuk membayarkan listrik sebesar Rp. 244.000,- justru memakai uang itu untuk kepentingannya sendiri. Masih banyak kasus lainnya,” ungkap Lutfi dengan lirih. Kasus demi kasus yang terjadi di tubuh KOMPAK telah memuncak sehingga ia harus menghentikan kegiatan radio itu.
Belajar dari pengalaman, maka di masa depan KOMPAK akan memprioritaskan annggota dari komunitasnya sendiri, artinya warga sekitar Pathuk atau yang termasuk Kecamatan Ngampilan. “Mungkin kalau sesama warga Ngampilan, rasa solidaritasnya lebih kuat. Selain itu semangat memberikan yang terbaik untuk daerahnya juga lebih besar. Saya juga yakin KOMPAK tidak kehilangan pendengarnya,” ujar Lutfi. Prahara yang sempat melanda Radio KOMPAK nampaknya justru menumbuhkan semangat baru pada dua tokoh penggeraknya. Kita tunggu saja tanggal mainnya.