Radio Komunitas Mengusung Muatan Lokal

Oleh Ade Tanesia

Jam menunjukkan pukul 20.00 malam. Sejuam mlah pria dengan mengenakan sarung  mulai berdatangan ke studio  Radio Komunitas Angkringan. Mereka berasal dari dusun Rendeng Kulon, hendak mengisi program acara Shalawatan, sebuah kesenian tradisional yang bernuansa agama Islam. Memang setiap malam Senin, Radio Angkringan memberikan waktu khusus bagi kesenian Shalawatan, karena ternyata di daerahnya, Desa Timbulharjo, ada sekitar 17 kelompok Shalawatan yang sangat aktif. Menurut Jasuadi, Ketua Angkringan, radio komunitas ini memang ingin mengakomodasi potensi kesenian lokal yang ada di daerahnya. Selain shalawatan, Angkringan juga menyiarkan secara langsung wayang yang secara rutin diadakan di Rumah Budaya Tembi.
Tidak hanya Radio Angkringan, hampir kebanyakan radio komunitas mempunyai acara khusus muatan lokal seperti kesenian tradisional. Sebagai contoh, Radio Abilawa mempunyai program acara kesenian tradisonal bernama  Kecapian. Prihatin terhadap semakin jarangnya anak muda mendengarkan petikan kecapi khas Jawa Barat, Radio Abilawa di Kabupaten Subang   memasukkan live show Kecapian. Setiap hari Sabtu sebanyak 20-30 orang dari komunitas yang hidup di sekitar Radio Abilawa dengan antusias berpartisipasi dalam acara Kecapian. Sambil mendengarkan kecapi, acara ini dikemas dengan obrolan sekitar Kabupaten Subang sehingga sangat menarik masyarakat setempat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Radio Wiladeg di Gunung Kidul, Yogyakarta. Setiap bulan mereka menyiarkan siaran langsung acara Wungon. Yakni nyanyian tembang-tembang Jawa yang diselingi dengan diskusi, talkshow. Bahkan KPU memakai acara kesenian tradisional ini sebagai sarana sosialisasi Pilkada mengingat banyaknya pendengar yang menyukai Wungon.

Tak ketinggalan pula 21 radio komunitas di Lombok Barat, yang hampir semuanya mempunyai program lagu-lagu berbahasa Sasak. Ada yang masih bernuansa tradisional, atau yang telah diracik dengan  irama khas campur sari, pop dan dangdut. Bahkan sejumlah rakom di daerah Bayan, Lombok,  menyiarkan secara langsung Perayaan Maulud Adat yang diselenggarakan di mesjid kuno. Di samping itu, sejumlah rakom juga ikut mensosialisasikan  pengamanan hutan adat yang disebut Parenjani. Parenjani merupakan pengamanan dengan cara pemagaran hutan adat agar  tidak terjadi pemotongan kayu secara illegal yang menyebabkan gundulnya hutan.  Radio Primadona FM, di Bayan, Lombok Barat juga menggelar acara bernama Selemor Hate, sebuah acara yang menggunakan bahasa dan lagu-lagu lokal serta menceritakan sejarah masa lalu desa dan wilayah setempat. Respon masyarakat sangat positif, bahkan sejumlah anak muda kini tengah menyiapkan pendirian semacam pusat budaya Sasak di desa tersebut.

Radio Komunitas Tamborolangi di Toraja juga sangat memperhatikan persoalan adat di daerahnya. Radio Tamborolangi mempunyai acara khusus masalah adat, yaitu Swara Adat ditayangkan setiap hari pukul 15.00 WITA dan Harmony Swara Tamborolangi, ditayangkan setiap hari pukul 16.00. Menurut Nura Batara, pengelola Radio Tamborolangi, program acara Swara Adat  berupa  cerita-cerita rakyat (legenda) yang menggunakan bahasa daerah (bahasa Toraja). Sementara program acara Harmony Swara Tamborolangi mengangkat masalah adat yang terjadi di Tana Toraja, misalnya tentang kehidupan sosial masyarakat dan yang paling sering diangkat adalah hutan adat. Radio Tamborolangi adalah bagian dari Yayasan Wahana Lestari Persada di Toraja yang memperjuangkan hak masyarakat adat. Salah satu kegiatan yayasan ini adalah menggali segala persoalan masyarakat berkaitan dengan hutannya. Ternyata ditemukan bahwa batas-batas hutan adat kerap dikuasai oleh pemerintah dan pengolahannya sering tidak melibatkan masyarakat. Masalah yang cukup besar adalah pencurian kayu yang kebanyakan dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan dan aparat setempat sendiri. Masyarakat pernah melaporkan pencurian kayu, lalu yayasan menyampaikannya ke Kapolres setempat. Namun yang ditangkap justru masyarakat, bukan si pencuri kayu tersebut. Persoalan semacam inilah yang diangkat oleh Radio Tamborolangi  dengan menghadirkan tokoh adat, tokoh agama, kepala desa dan jika ada kaitannya dengan pemerintah maka diundang pula instansi terkait.

Dari sejumlah contoh kasus ini maka disimpulkan betapa pentingnya peran radio komunitas dalam menjaga keberlangsungan kekayaan tradisi di daerahnya masing-masing. Jika penyiaran muatan lokal ini dibarengi dengan proses pendokumentasian, maka setiap daerah akan mempunyai basis data yang menjadi syarat utama perlindungan pengetahuan lokal mereka yang akan sangat berguna bagi generasi selanjutnya.

“Belum Rasakan Manfaat HaKI”
Bagi Indah Rahayu Indra, salah seorang pengusaha batik kayu di Yogyakarta, urusan pemasalan produk hasil karya kerajinan sudah menjadi suatu kelaziman tersendiri di kalangan pebisnis, termasuk jiplak-menjiplak. Dan, perempuan yang juga Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi) Propinsi DIY, baginya hal itu tidak menimbulkan kecemasan tersendiri dalam persaingan usaha yang digelutinya. Justru adanya usaha penjiplakan itu akan menimbulkan semangat tersendiri untuknya. Sebab, dengan begitu Indah merasa harus bisa meningkatkan kualitas  dan mutu dari produk yang dihasilkannya meskipun banyak saingan-saingan bisnisnya juga ikut-ikutan menggeluti bidang yang sama dengan yang selama ini ia garap.

Toh, sebenarnya  Indah juga mengakui dirinya bukanlah merupakan orang pertama yang menciptakan batik kayu. Meskipun dialah yang mempunyai hak paten dari Ditjen (Direktorat Jendral) HaKI atas desain yang diciptakannya pada tahun 2002. ”Saya ini kan bukan orang yang pertama bikin batik kayu, saya juga cuma ngikuti orang-orang lain saja. Tahun 2002 saya ikut lomba desain dan saya menjadi pemenang dengan hadiah mendapat fasilitas dari Deperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan) untuk mempatenkan hasil kreasi saya itu,” tuturnya.

Jadi sebenarnya secara pribadi Indah tidak pernah ‘berjuang’ untuk mendapatkan hak penuh dengan hasil kreasinya termasuk juga hak ekonomi. Meski secara hukum dia punya hak untuk mengklaim hasil produksinya agar tidak ditiru oleh orang atau perusahaan lain. ”Saya tidak mau egois. Biar saja hasil karya saya ini juga diproduksi secara masal. Itung-itung untuk pemerataan ekonomilah, biar semua orang juga ikut menikmati. Apalagi kayak handicraft itu kan sulit sekali kalau harus ada pelarangan nggak boleh dijiplak atau ditiru,” tandasnya.

Sebenarnya, diakuinya, sejauh ini dirinya belum merasakan manfaat lebih dari hasil status pelegalan HaKI yang dimilikinya. Apalagi, dalam usahanya Indah sama sekali tidak berkeinginan untuk mematikan usaha orang lain yang menjadi saingannya. ”Saya mau mendaftarkan produk saya ke Ditjen HaKI lebih untuk proteksi ke luar (luar negeri, red) saja kok. Supaya produk-produk dari dalam negeri tidak dibajak oleh mereka (orang asing, red). Justru menurut saya pentingnya HaKI itu disitu,” ujarnya.

Sedangkan untuk penjiplakan yang marak di Indonesia, tambahnya, kalau soal kerajinan, terutama batik kayu, ia justru lebih senang jika bisa diproduksi secara masal di tempat-tempat lain, tidak hanya di Yogyakarta. Sebab menurutnya hal tersebut akan bisa menjadi identitas budaya masyarakat Indonesia di mata internasional. ”Kalau untuk dalam negeri saya justru ingin Indonesia juga bisa dikenal di luar negeri sebagai produsen batik kayu, meskipun dalam perkembangan nantinya tiap-tiap daerah akan mengembangkan motif yang berbeda-beda sesuai adat budaya mereka masing-masing,” imbuhnya.(Biduk Rokhmani)

Melindungi Bunyi Gamelan

Sapto Raharjo, budayawan dan seniman gamelan asal Yogyakarta yang mendirikan Gamelan Hangeka Buwana (GHB) Ltd telah mendaftarkan  perusahaan  -yang rencananya tidak hanya memproduksi gamelan tapi juga akan menjadi lembaga pendidikan itu- ke bagian merek  di Ditjen HaKI. ”Saya harus melindungi gamelan sebagai seni tradisi yang sudah sangat jarang diminati masyarakat umum, terutama kalangan anak muda ini. Saya tidak ingin semua hal yang telah saya kerjakan termasuk penelitian-penelitian untuk mengembangkan ilmu-ilmu tentang gamelan punah atau diklaim pihak asing.,” tandasnya.

Sapto yang juga Sekjen Himpunan Indonesia untuk Perlindungan Pemberdayaan Pengetahuan dan Ekspresi Kebudayaan Tradisional (Hipepra) itu mengatakan pengakuan secara legal oleh Ditjen HaKI itu lebih untuk proteksi di masa depan. ”Sebab ini kan proyek untuk anak cucu, padahal saya harus memikirkan keberlangsungan proyek ini hingga 2020 mendatang. Saya tuh kepinginnya ini nantinya bisa dimanfaatkan untuk proyek belajar,” ungkapnya.

Untuk memenuhi ‘ambisi’-nya itu, Sapto juga telah melakukan penelitian tentang gamelan secara intensif. Termasuk satu saja perubahan bunyi akan langsung diklaim sebagai hasil karyanya karena menurutnya hal tersebut merupakan identitas tersendiri atas karya yang telah dihasilkannya yang patut dibanggakan. ”Tidak mudah mengolah bunyi pada masing-masing perangkat gamelan apalagi mengembangkannya. Jadi jika nanti ada gamelan yang punya bunyi tertentu dan itu sudah di-merek-i sebagai milik GHB, orang lain tidak bisa dong mengklaim lagi karena sudah pasti gamelan yang ini orang langsung tahu pasti punya Sapto,” tegasnya.

Unduh 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud