Oleh Masduki MSi
Pada bulan Mei 2005, penulis mendapat kesempatan untuk mengunjungi sejumlah radio komunitas di Jawa Barat dan Yogyakarta. Di Yogyakarta sedikitnya terdapat 45 radio komunitas sedangkan di Jawa Barat mencapai 85 buah stasiun, tersebar di hampir semua kabupaten dan umumnya berlokasi di pinggiran kota/pedesaan. Pada kunjungan itu, penulis secara khusus sempat mengamati interaksi dan kontribusi kelompok perempuan dalam pengelolaan radio komunitas. Temuan ini tentu saja membuat prihatin dan amat menarik untuk ditindaklanjuti, karena diprediksi radio komunitas jadi alternatif media yang kian populer bagi penguatan masyarakat sipil.
Penguatan masyarakat sipil perlu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui forum-forum warga, menagih amanat “partisipasi” yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan atau mengambil inisiatif/prakarsa dengan sumber-sumber hukum yang tersedia, mengembangkan opini tentang pentingnya partisipasi masyarakat melalui media komunitas, kerjasama dengan lembaga-lembaga yang sedang mengusung opini/ program yang relevan, melancarkan advokasi sistem kuota untuk keterwakilan kelompok marjinal serta menghadirkan kepentingan yang sedang diperjuangkan melalui bukti-bukti otentik seperti tanda tangan, dokumentasi proses dan sejenisnya. Semua memerlukan keterlibatan individu dan kelompok perempuan.
Menyadari hal itu, rekomendasi internal Jaringan Radio Komunitas Indonesia 2004-2007 antara lain mengamanatkan formasi kepengurusan JRKI harus melibatkan peran perempuan. Organisasi internasional untuk radio komunitas (AMARC) memiliki divisi khusus yang diberi nama Women’s International Network (WIN) yang terdiri dari para aktifis perempuan untuk tujuan memastikan terwadahinya hak dasar perempuan dalam berkomunikasi melalui gerakan radio komunitas sebagai pintu masuknya. Bahkan sebuah wokrshop telah digelar di MIT Cambridge 18-20 Maret 2005, antara lain mengupas topik “Women’s Voices in Community Radio: On The Air and Behind the Scenes”. Topik ini disampaikan Mavic Cabrera-Balleza dari AMARC.
Secara sederhana, jumlah SDM yang proporsional berdasarkan jenis kelamin dan posisi strategis yang setara ikut menentukan proses pengambilan kebijakan siaran dan pelaksanaannya. Posisi sekunder perempuan dalam pengelola yang amat stereotype biasanya menempatkan kelompok ini sebagai hanya pencatat sejarah, pendengar dan pelaksana. Bagaimana potret kedua soal tersebut di 5 radio komunitas di Bandung yang penulis kunjungi? Lihat tabel berikut:
Radio komunitas masyarakat Banjaran Kabupaten Bandung atau KOMBAS yang berada di kawasan industri tekstil dan pasar tradisional, memiliki kepengurusan yang hanya menempatkan seorang perempuan di dalammya, itupun sebagai sekretaris Menurut pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar S Sinansari Ecip, radio komunitas yang ideal adalah ketika pengelolaan dan siarannya disesuaikan dengan keadaan geografis, demografis termasuk mempertimbangkan proporsi jenis kelamin warga setempat. Geografis itu alamnya dan demografis adalah bagaimana penyebaran penduduknya, seperti di Irian Jaya dan Kalimantan Tengah. Perempuan adalah komunitas terbanyak di suatu daerah, baik kuantitasnya maupun problem yang mereka hadapi. Radio komunitas berpeluang menjadi fasilitator aktualisasi diri mereka.
Mengapa perempuan masih minim? Jawaban spekulatif bisa dikemukakan sambil terus meneliti akar masalahnya. Secara makro, kultur patriarki dalam masyarakat ikut menyebabkan diskriminasi tersebut. Kultur ini terbawa hingga ke radio karena sejak awal umumnya radio komunitas lahir dari hobi komunikasi personal seperti breaker, hobi bersosialisasi antarpenduduk yang notabene didominasi kaum Adam. Mengelola radio adalah memanfaatkan waktu luang di ruang publik di luar kegiatan rutin bagi penduduk. Waktu luang di ruang publik itu banyak dimiliki laki-laki, ketimbang perempuan. Kaum perempuan tidak cukup memilikinya karena kesibukan yang tiada henti mengelola kerja internal dalam rumah tangga atau menjadi buruh pabrik.
Kenyataan membuktikan bahwa pengelola radio komunitas termasuk kaum perempuan sendiri belum peduli dengan persoalan diskriminasi ini. Di tengah banyaknya persoalan yang dinilai “lebih mendasar” , maka isu gender dalam dunia informasi dan komunikasi masih dikesampingkan. Belum ada kesadaran bahwa akses perempuan terhadap radio komunitas seharusnya lebih besar. Regulasi yang memproteksi radio komunitas berupa UU No 32/2002 dan Peraturan Pemerintah belum eksplisit mengaturnya serta belum bermakna bagi penciptaan relasi kemanusiaan yang menjadi isu utama demokratisasi di Indonesia.
* Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.