“Mendobrak Adat Jemput Laki-Laki”
Oleh Ade Tanesia
Sejak lama wanita Minang telah menggunakan kekuatan media untuk memperjuangkan kaum perempuan. Tahun 1912, Rohana Koeddoes, mendirikan surat kabar Soenting Melajoe, yang bertujuan untuk memajukan kaum perempuan di tanah Minangkabau. Hanya berjarak 6 tahun, terbit surat kabar Suara Perempuan dengan editor Sa’adah Alim. Selanjutnya surat kabar Soeara SKIS (Serikat Kaum Ibu Sumatera) pimpinan Encik Djusa’ir terbit di Padang Pajang, diikuti surat kabar Soeara Poetri di Bukittinggi. Tradisi ini masih berlangsung hingga abad 21. Di Kabupaten Padang Pariaman, Nurhayati Kahar memperjuangkan nasib perempuan di kampungnya melalui radio komunitas.Saat itu tahun 1997. Nurhayati Kahar baru saja kembali dari rantau atau istilahnya baliak nagari. Setelah beberapa lama di kampungnya, ia mendapati banyak sekali kasus kekerasan terhadap perempuan di Pariaman. Prihatin terhadap nasib kaumnya, Nurhayati tidak tinggal diam. Ia lalu mendirikan Lembaga Pelayanan Korban Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (LPKTPA) yang secara resmi didaftarkan pada tahun 2002. “Di kampung saya kasus kekerasan terhadap perempuan sebenarnya sangat banyak, namun kasus ini tidak muncul karena kuatnya budaya malu. Misalnya banyak kasus pemerkosaan yang selama ini diselesaikan secara adat. Kalau pakai adat maka solusinya dengan cara damai atau denda. Lalu jika usianya sudah layak menikah, maka pihak pria diminta menikahi perempuannya. Tapi kalau yang melakukan pemerkosaan adalah tokoh yang disegani masyarakat, tidak jarang kasus ini malah ditutup-tutupi. Bahkan dibuat seolah-olah perempuan yang salah. Oleh karena itu kita memberikan penguatan pada perempuan agar mereka mau melawan ketidak adilan ini. Kita juga menyatakan sikap bahwa kasus kekerasan jangan diselesaikan secara adat karena seringkali merugikan perempuan, tapi harus ada proses hukum,” ungkap Nurhayati berapi-api. Berangkat dari kenyataan itulah Nurhayati mendirikan lembaganya.
Selama ini kinerja LPKTPA dilakukan melalui pendampingan, pertemuan-pertemuan, seminar dan pelatihan. Namun setelah dievaluasi, nampaknya proses kinerja ini tidak seluruhnya efektif. Pada titik inilah terpikirkan untuk membangun radio komunitas agar bisa tidak hanya menjangkau pendengar perempuan, tetapi juga laki-laki. Nurhayati beserta rekan-rekannya lalu mengundang sejumlah perempuan dampingannya untuk diajak berdiskusi perihal rencana ini. “Respon mereka positif. Radio komunitas dianggap lebih baik, selain bisa menyebarkan informasi lebih luas, juga mereka tidak perlu buang-buang waktu untuk ikut pertemuan. Dengan radio mereka bisa mendengarkan informasi sambil memasak atau mencuci,” tutur Nurhayati.
Awalnya Radio Suara Perempuan (RSP) menumpang dengan studio radio swasta Damai FM. Kini RSP yang 80% siarannya menggunakan Bahasa Minang ini sudah mempunyai studio sendiri yang bergabung dengan kantor LPKTPA. “Kita harapkan informasi yang disebarkan lewat radio bisa mengurangi praktek kekerasan,” lanjut Nurhayati. Di samping melakukan advokasi, RSP yang rutin bersiaran dari jam 10 pagi hingga tengah malam, juga meracik misinya dengan program acara hiburan seperti lagu-lagu kenangan. Selain itu juga merangsang bakat perempuan melalui acara karaoke dan berbalas pantun khas Minangkabau yang disebut palinggam (pantun dan langgam). Program acara RSP meliputi tema kesehatan, agama, pendidikan anak, persoalan seks dan juga informasi seputar kota. Di samping itu RSP juga perlu memberikan informasi mengenai ekonomi karena hampir 95% perempuannya mengembangkan industri rumah tangga seperti sulaman dan bordir. Tidak heran jika RSP merasa perlu untuk memberikan informasi tentang harga bahan baku, info pemasaran bagi hasil kerajinan para perempuan Pariaman.
Yang menarik setiap minggu malam, RSP menyiarkan sandiwara radio yang disebut Carito Minang (Carmin). Cerita sandiwara itu diambil dari kejadian sehari-hari yang terjadi pada kaum perempuan. Ada sebuah sandiwara berjudul “Maha Bana Baliajo” yang isinya menentang adat penjemputan laki-laki di Pariaman. “Jadi jika seorang perempuan akan menikah dengan seorang laki-laki, maka pihak keluarga perempuan harus membayar uang jemputan ke pihak keluarga laki-laki. Harganya bermacam-macam dan nanti bisa terjadi tawar menawar. Misalnya pihak laki-laki akan bilang bahwa ‘anakku dokter, sudah pantas harganya tinggi’, lalu pihak perempuan akan menawar. Semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi harga yang harus dibayar oleh perempuan kepada pihak pria. Sekarang tradisi ini semakin gila-gilaan, karena ada kecenderungan kembali ke adat. Bahkan pihak perempuan merasa bangga kalau bisa beli laki-laki dengan harga tinggi,” papar Nurhayati. Melalui sandiwara itu RSP sebenarnya ingin mendobrak adat jemputan ini sehingga tak ada lagi tradisi membeli laki-laki. “Gimana dengan orang miskin kalau anaknya pacaran dengan seorang dokter. Dengan apa mereka harus membayar adat ini?” tandasnya. Sandiwara radio yang dirancang oleh RSP tentunya tidak bisa langsung menentang adat jemput laki-laki ini. Isinya lebih pada penguatan bagi kaum perempuan agar mereka cukup berani bernegosiasi dengan calon pasangan hidupnya untuk mau berbagi beban menanggung biaya adat. Oleh karena misinya yang cukup kuat mendobrak adat, tidak jarang RSP dikatakan “tidak tahu adat”. “Kami cuekin aja, yang penting nggak di sweeping. Sekarang cukup banyak perempuan yang cukup berani, artinya kalau berpacaran dengan laki-laki, mereka berani bilang ‘kalau mau sama saya, bayar deh jemputannya’. Itukan bagus,” ujar Nurhayati.
Tidak berbeda dengan radio komunitas lainnya, RSP juga mengalami beragam kendala. Tentu di isamping masalah dana, yang penting juga adalah aturan daya jangkau yang sangat terbatas. Dengan ijin daya pancar sebesar 50 watt, maka RSP hanya bisa menjangkau wilayah sejauh 40 km. Jangkauan siaran ini tentu menjadi hambatan, karena RSP bukan radio komunitas yang dibatasi oleh geografis tertentu, tetapi sifatnya sebuah kelompok yang memperjuangkan kepentingan yang sama. “Saya berharap pemerintah bisa memberikan alokasi frekuensi yang lebih besar untuk radio komunitas. Namanya saja Radio Suara Perempuan. Tentu yang kita jangkau adalah perempuan di mana saja, tanpa dibatasi lingkup geografis. Oleh karena itu untuk menyiarkan hal-hal penting seperti UU yang berkaitan dengan perempuan, kita relay dengan Radio Damai,” ungkap Nurhayati.
Perlahan tapi pasti, Nurhayati sedang mempersiapkan kegiatan selain radio komunitas. Di studionya sudah ada sanggar baca, tetapi rencananya akan dikembangkan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang bentuknya semacam telecenter untuk perempuan. Selama ini sudah ada kerjasama dengan lembaga pendidikan komputer untuk memberikan pelatihan komputer kepada dua orang perempuan tidak mampu. “Nanti kita ingin ada pelatihan rutin dan gratis. Tetapi juga bisa dipakai untuk sewa komputer sehingga ada pemasukan. Lewat komputer, sebenarnya ibu-ibu di kampung bisa langsung memasarkan produk sulaman dan bordirnya ke pembeli. Itu mimpi kita,” lanjutnya bersemangat.
Tak ada kata berhenti bagi RSP untuk memperjuangkan akses informasi dan komunikasi bagi perempuan di Pariaman. Jalan memang masih panjang, semangat Radio Suara Perempuan tidak pernah padam untuk kemajuan perempuan Pariaman di segala bidang kehidupan.
Radio Suara Perempuan
Jl. Siti Mangopoh NO. 17 Simpang One
Balai Nareh Pariaman Utara
Sumatera Barat
T: 0751-690572
Kontak: Nurhayati Kahar