Oleh Basri Andang
Jika hutan kami semakin gundul, sungai yang mengairi sawah pun menipis, habis pulalah sawah-sawah kami, yang tinggal hanyalah kelaparan berkepanjangan.
Masyarakat Toraja nampaknya sudah bisa membayangkan masa depannya jika hutan di kawasannya habis ditebangi. Kekhawatiran mereka sangat beralasan, karena kini hutan lindung di Tana Toraja yang awalnya sekitar 138 ribu-182 ribu hektar (Data Dinas Kehutanan Propinsi Sulsel dan Dishut Kabupaten Tana Toraja) telah mengalami kerusakan sehingga tersisa hanya 62 ribu hektar. Padahal hulu daerah aliran sungai (DAS) Saddangberada di hutan ini. Air dari hulu inilah yang dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat dan areal persawahan di bagian utara Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat). Bahkan salah satu Sub DAS dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dikenal dengan nama PLTA Bakaru yang menyokong sebanyak 30,12 persen energi listrik di Sulawesi Selatan.
Posisi Tana Toraja adalah barrir (penyangga), sehingga kalau terjadi kehancuran lingkungan di Tana Toraja, khususnya hutan, akan berpengaruh terhadap pemenuhan air masyarakat dan irigasi persawahan di beberapa daerah di bawahnya. Akibatnya sudah bisa diterka, produksi padi menurun akibat kering kerontangnya ratusan ribu hektar areal persawahan di Sulawesi Selatan karena tidak mendapatkan air. Gagal panen menimbulkan ancaman kelaparan, diperparah dengan krisis air bersih di beberapa daerah di bagian hilir DAS Saddang. Belum lagi ancaman longsor dan banjir besar yang setiap saat akan terjadi pada saat musim hujan karena tidak ada lagi akar-akar pohon yang mengikat tanah dan menyerap air. Masalah di masa depan seakan sudah ada di depan mata.
Kerusakan hutan di Tana Toraja sebenarnya sudah terjadi sejak zaman pemerintahan Belanda, dan degradasi hutan tetap bertangsung sampai sekarang. Justru awal kerusakan hutan besar-besaran terjadi saat wilayah ini berada dalam wilayah pemerintahan Indonesia. Hal ini tidak lepas dari potensi kawasan dataran tinggi seperti Toraja yang masih memiliki vegetasi hutan yang menyimpan jenis-jenis kayu bernilai ekonomis. Itu kemudian menjadi ‘magnet’ bagi pengusaha untuk mengambil kayu baik dengan cara legal formal maupun ilegal.
Menghadapi kondisi lingkungan yangterancam ini, kepedulian masyarakat dalam memelihara ekosistem hutan di Tana Toraja menjadi sangat penting untuk terus disuarakan. Seruan dan ajakan untuk itu ferus diperdengarkan di udara melalui Radio Swara Tamborolangi yang berlokasi di Tanete Madandan, Kecamatan Rantetayo, Kabupaten TanaToraja.
Peran Radio Komunitas Tamborolangi
Radio Swara Tamborolangi (RST) dikenal intens dan aktif melakukan kerja-kerja media penyiaran di Kabupaten Tana Toraja, terutama untuk kampanye lingkungan dan advokasi revitalisasi nilai-nilai adat dan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.
Dalam sejarah perkembangan RST, Yayasan Wahana Lestari Persada atau disingkat WALDA cukup banyak memberi andil, terutama dalam proses inisiasi dan pengoperasiannya. Walda juga terus mengawal operasional radio ini dalam mengemban visi-misinya sebagai radio komunitas adat dan lingkungan hidup. Untuk itu RST mempunyai program khusus, yaitu APRIL (Apreasiasi Lingkungan) dan Swara Adat.
Degradasi hutan yangterjadi misalnya, tak pernah luput dari pemantauan kru RST. Dalam upaya pencegahan penebangan liar dan pencurian kayu di Tator, reporter RST tidak pernah ketinggaian melaporkan langsung dari lapangan. Pada tahun 2003 lalu misalnya, reporter RST melaporkan langsung pencurian kayu di desa Nanggala yang berbatasan dengan desa Karre Limbong, Kecamatan Tondon Nanggala.
Radio Swara Tamborolangi juga mengadakan investigasi terhadap pengusaha yang mengincar kawasan hutan produksi di Tana Toraja yang didominasi tegakan pinus, yaitu kawasan hutan Mengkendek yang termasuk hutan produksi terbatas seluas 868 hektare dan kawasan hutan produksi terbatas Batualu seluas 77 hektare. Pada investigasi itu, terungkap penyebab kehancuran hutan di dua kawasan tersebut disebabkan oleh dua perusahaan kayu yang mengelola hutan pinus, yaitu PT Global Forestindo dan PT Nelly Pratama. Pasca investigasi, RST terus melakukan kampanye media dengan menyerukan agar semua pihak menjaga hutan sesuai kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Salah satu hasil dari kampanye dan advokasi media yang dilakukan adalah berhasilnya menghentikan operasional kedua perusahaan tersebut.
Sebagai media penyaluransuara masyarakatadat, RST juga menyajikan informasi seputar hutan adat, misalnya tentang persepsi masyarakat adat terhadap kerusakan hutan di Toraja yang disebabkan diambilalihnya hak kelola adat terhadap hutan oleh pemerintah dengan alasan untuk kepentingan investasi. Hal ini menyebabkan pengusaha dapat leluasa mengambil kayu di hutan adat. Akhir-akhir ini, RST menyoroti rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Malea yang berada di daerah hulu sungai Saddang induk. Data temuan lapangan Aliansi Masyarakat Adat Toraya (AMA Toraya) yang melakukan advokasi di sana, selalu disiarkan oleh RST. Misalnya, dampak dari pembangunan PLTA terhadap peninggalan leluhur masyarakat adat Malea, bagaimana sikap masyarakat adat terhadap rencana pembangunan PLTA tersebut, bagaimana rencana instalasi pembuangan tailing (limbahnya) dengan perkampungan atau lahan pertanian masyarakat, dan bagaimana dukungan terhadap pelestarian hutan di bagian hulu sungai Malea dengan adanya proyek PLTA.
Daya Jangkau Masih Terbatas
Meskipun program acara Radio Swara Tamborolangi sangat berguna bagi masyarakat, namun tidak semua wilayah adat dapat menikmati sajian informasi dan berita dari RST. Dari 32 wilayah adat, hanya 5 wilayah adat yang bisa dijangkau, 27 wilayah adat lainnya belum dapat menerima siaran RST. Bagi wilayah adat yang sudah dapat menerima siaran RST, ternyata belum bisa membangun pengembangan sistem informasi dan komunikasi yang efektif. Hal ini disebabkan jarak dan keterbatasan personil RST menyebabkan terbatasnya penggalian informasi dan komunikasi dengan masyarakat adat. Selain itu budaya bertutur masyarakat adat Toraja melalui kesenian tradisional perlu ditunjang dengan tenaga penulis untuk kepentingan dokumentasi kesenian tradisional. Juga diperlukan dukungan alat komunikasi yang sederhana dan murah di setiap wilayah adat, misalnya Handy Talky (HT). Diharapkan, alat komunikasi semacam ini dengan sentral kontrol RST akan mendukung kelancaran komunikasi sesama masyarakat adat, kemudian alat disambungkan dengan frekuensi Radio Swara Tamborolangi.
Sedangkan bagi masyarakat adat yang wilayahnya belum menerima siaran RST, perlu membangun tower pembantu/stasiun relay yang ditempatkan di salah satu puncak gunung tertinggi di Toraja agar ke 32 wilayah adat bisa menerima siaran RST.
Dengan demikian, secara umum dalam pengembangan sistem informasi dan komunikasi masyarakat adat Toraja perlu dipikirkan dua langkah, yaitu: pertama, peningkatan dan penambahan kapasitas kekuatan/daya pancar Radio Swara Tamborolangi untuk mendukung sistem informasi adat. Dari melayani 5 wilayah adat menjadi 32 wilayah adat. Dengan menjangkau semua wilayah adat maka akan memperkuat peran RST sebagai radio komunitas dalam melakukan kampanye dan membantu advokasi masyarakat adat Toraja, dan masalah pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berlanjutan.
Yang kedua, pengembangan sistem komunikasi yang menggunakan frekuensi briker dengan sentral kontrol berada di RST. Sebenarnya, sistem ini sudah berjalan meski masih terbatas pada wilayah adat yang sudah memiliki pesawat HT, seperti di Mengkendek.
Pengembangan model sistem informasi dan komunikasi melalui radio dan rick ini akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam melakukan kontrol dan monitoring terhadap program pembangunan yang berjalan di Tana Toraja. Setiap penyelewengan dan ketimpangan pembangunan dilaporkan radio, kemudian disiarkan oleh RST. Termasuk mendukung beberapa program prorakyat yang sementara ini dijalankan oleh lembaga independen dan aliansi masyarakat adat Toraja, seperti ANGGUR (anggaran untuk rakyat), pembuatan peraturan desa, persoalan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu juga bisa menginformasikan keberhasilan masyarakat di sebuah desa dalam mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, menjadi ruang melakukan transfer pengetahuan dan pengalaman praktis dari masyarakat dalam mengembangkan budidaya tanaman hutan bernilai ekonomis dan lain sebagainya.***
terimah kasih atas himbauan kepedulian radio tamboro langi’ atas keasrian dan kelestarian hutan toraja yang mulai menurun,,, maju terus, sukses slalu,, Tuhan memberkati !