Ingatkah Anda akan film Pengkhianatan G30S PKI karya Arifin C. Noer. Jika Anda adalah warga negara Indonesia yang mengecap pendidikan sekolah formal di periode 1980-1990an pastinya pernah menonton film ini. Pasalnya, film ini wajib ditonton oleh seluruh pelajar di Indonesia dan setiap 30 September selalu diputar secara serentak di televisi nasional.
Dalam film di atas, ada satu adegan yang melukiskan sosok perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerakan Wanita indonesa (Gerwani). Gerwani digambarkan adegan tarian telanjang sambil menyiksa tubuh pada jenderal. Inilah metafora seksual yang direkayasa oleh rezim untuk menunjukkan kegiatan politik dengan kebejatan perempuan.
Selama puluhan tahun rakyat Indonesia percaya akan apa yang dilakukan oleh Gerwani seperti dalam film G 30 S PKI. Dampaknya, peran perempuan di wilayah politik pun secara sistematis dipinggirkan dan diletakkan dalam wilayah domestik. Ide pendirian organisasi perempuan, seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, menempatkan perempuan sebagai pendukung karir suami. Kekritisan mereka juga akan memengaruhi karir suaminya. Dalam konteks ini, perempuan sedang mengalami “pengandangan” dan “penjinakan.”
Sekarang rezim Orde Baru telah runtuh dan berganti dengan semangat reformasi yang diharapkan membawa demokrasi. Tetapi pergantian rezim bukan berarti terjadi pergantian ideologi. Pencitraan perempuan melalui media massa masih sangat kental budaya patriarki. Maria Hartiningsih, wartawan senior Kompas mengatakan dalam acara diskusi “Membincang Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan” bahwa citra perempuan pada Orde Baru tidak bisa dihilangkan. Pada era itu ada ibuisme negara untuk melawan Gerwani. Pencitraan ibu negara untuk melawan Gerwani yang digambarkan liar. Pada era sekarang pencitraan perempuan mengatasnamakan moral dan agama.
Dalam iklan-iklan misalnya, tubuh perempuan masih dijadikan objek penarik hasrat. Perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di wilayah domestik. Jika ada citra perempuan bekerja maka dia digambarkan tetap bertanggung jawab sepenuhnya dalam hal kerumah tanggaan. Padahal rumah tangga adalah tanggung jawab suami dan isteri. Tamrin Amalgola mengkategorikan citra perempuan pada iklan di media massa sebagai berikut:
1. Citra Pigura: Perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh ideal
2. Citra Pilar: Perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga
3. Citra Peraduan: Perempuan sebagai objek seksual
4. Citra Pinggan: Perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur
5. Citra pergaulan: perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam pergaulan
Bahasa dalam media cetak pun masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang dipersalahkan. Sebagai contoh adalah berita di bawah ini:
Pos Kupang, 13 April 1998
“Sungguh saya menyesal, dia itu kan ayam beneran (wanita penjaja seks) di Kota Kupang. Mulanya telah dipakai sejumlah teman saya di malam itu, baru tiba giliran saya. Sebelum bertarung, saya dan JMF masih kompromi tentang tarif dan posisi permainan yang akan digunakan. JMF menyetujui saya gunakan posisi tidur,” ujar Hendrikus Neno yang diganjar empat tahun penjara karena terbukti bersama 6 rekan lainnya melakukan pemerkosaan terhadap JMF di Kompleks RRS Liliba September 1997″
Jika diperhatikan teks berita di atas secara saksama, maka korban perempuan tetap berada dalam posisi salah. Sesuatu yang merupakan pemerkosaan diputarbalikkan sebagai kesepakatan hanya karena perempuan itu adalah pekerja seks.
Kata-kata seperti “digagahi”, “digarap,” masih sering digunakan oleh media dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual, sebagai contoh portal berita OkeZone membuat judul berita bias jender dalam kasus pemerkosaan di Kendari. Simak saja judulnya “Niat Ganti Baju, Gadis ABG Digagahi 3 Pemuda.” Perempuan yang menjadi korban perkosaan ini disudutkan sebagai posisi bersalah karena ia seakan tidak hati-hati saat ganti baju sehingga menjadi korban perkosaan. Artinya, pihak pemerkosa dibenarkan karena sebab tindakannya dibebankan ke pihak perempuan. Kalimat pasif “digagahi” pun telah menghilangkan pelaku utama sebagai subjeknya. Kata “digagahi” sendiri bermakna positif jika dikaitkan dengan eksistensi laki-laki.
Bias jender yang terjadi dalam reproduksi citra perempuan di media massa salah satunya bisa disebabkan masih belum berimbangnya jumlah perempuan dalam level organisasi media, apalagi yang menduduki posisi pengambil keputusan. Jumlah perempuan wartawan hanya 10% – 12% dari seluruh jumlah wartawan Indonesia, dan dari jumlah itu tak lebih seperlimanya menduduki jabatan-jabatan struktural yang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan redaksional. Kemudian sekalipun ada perempuan yang menempati posisi sebagai pengambil keputusan maka belum otomatis bisa mengarustamakan keadilan jender dalam konten medianya. Hal ini disebabkan pemimpin perempuan atau laki-laki akan mengikuti logika industri yang tujuannya adalah akumulasi modal.
Sebuah penerbitan buku yang telah didominasi oleh editor perempuan sekalipun tidak mudah membuat produk buku yang berkeadilan jender. Mereka mengklaim bahwa dengan jumlah editor perempuan yang melebihi jumlah pria sudah bisa dikatakan penerbitan pro kesetaraan jender. Tetapi saat mempresentasikan salah satu bukunya, penyunting perempuan ini tetap lemah menghadapi tuntutan logika industri. Mereka tetap memproduksi buku berjudul “Inner Beauty” untuk remaja perempuan dengan sampul buku seorang perempuan cantik berkulit putih, segar, dan sehat. Sebagai agen sosialisasi nilai-nilai ke masyarakat, penerbitan ini sekadar mengeksploitasi hasrat perempuan untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Mereka mengatakan produksi buku ini telah didasarkan pada penelitian pasar. Jika prosedur penelitian itu sudah dilakukan, maka seharusnya kebanyakan perempuan indonesia berkulit sawo matang, bukan putih. Artinya yang direpresentasikan adalah bayangan ideal tubuh perempuan, bukan pencitraan dari realitas yang sesungguhnya. Ketika berada pada level konstruksi tubuh yang ideal, maka media ini hanya bermain pada pengolahan hasrat bukan pencarian kebenaran. Jika representasi perempuan pada media masih dalam tingkatan ini maka penguatan perempuan melalui media masih jauh dari yang diharapkan. Pada konteks ini pula media semakin tidak berdaya sebagai medium pendidikan publik. Sebaliknya hanya sekadar medium pembodohan publik.
Kondisi pencitraan perempuan yang masih dirasakan tidak adil ini membuat banyak orang berharap pada media-media komunitas. Diharapkan media komunitas yang tidak harus tunduk pada logika industri mampu memberikan pencitraan perempuan yang lebih adil. Namun nampaknya hingga saat ini media komunitas, seperti radio komunitas, masih didominasi dengan cara pandang ibuisme ala orde baru. Kebanyakan radio komunitas masih mengidentikkan persoalan perempuan dengan bidang kesehatan, rumah tangga, pengasuhan anak, dan masak. Meskipun kondisi media komunitas belum bisa menjadi saluran beragam kepentingan perempuan, tetapi media komunitas merupakan organisasi yang masih cukup terbuka untuk diberikan pendidikan jurnalistik berperspektif keadilan jender.
Ade Tanesia, Manajer Media Combine Resource Institution Yogyakarta
Sumber:
http://id.shvoong.com/social-sciences/1691957-menyoal-perspektif-berkeadilan-gender-media/
http://www.antaranews.com/berita/1269598504/sumur-kasur-dapur-citra-perempuan-di-media-massa