Seorang siswi sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedang asyik dengan blackbarry (BB) di tangannya saat duduk di bangku metromini jurusan Mampang-Kampung Melayu, Jakarta. Tak berapa lama kemudian siswi itu mengambil handphone CDMA dari sakunya untuk membalas SMS dari temannya.
Bagi anak seusia SMP di kota besar seperti Jakarta, handphone bukan lagi menjadi barang mewah. Bahkan tidak jarang mereka memiliki handphone lebih dari satu. Perkembangan pesat ICT (Information and Communication Technology) memang menarik minat kaum muda untuk menjadi konsumen.
Bagaimana tidak, kini dengan handphone di tangan sesorang bisa mendengarkan musik melalui MP3, menonton televisi, berselancar di dunia maya dan tentu saja mengirim pesan singkat serta berkomunikasi. Perkembangan pesat ICT itu adalah bagian dari sebuah gelombang revolusi digital. Dan revolusi digital itu, kini telah melanda negeri ini.
Gelombang revolusi digital itu pula yang membuat lembaga-lembaga internasional ikut mempromosikan pemanfaatan ICT di negara-negara berkembang untuk memberantas kemiskinan. Bahkan pemanfaatan ICT dikaitkan dengan pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) yang akan dicapai pada tahun 2015.
PBB telah menetapkan sasaran sebesar 50 persen dari penduduk dunia telah memiliki akses kepada jaringan telepon seluler pada tahun 2015. Bukan hanya PBB, lembaga bisnis bantuan internasional Bank Dunia juga tidak ketinggalan. Seperti ditulis oleh jurnalnet.com, Bank Dunia bersedia menggelontorkan proyek utangnya untuk membiayai program pembelajaran ICT di sekolah-sekolah Indonesia.
Dikaitkannya pemanfaatan ICT dengan upaya pengentasan kemiskinan bersandar pada sebuah logika yang sederhana. Gelombang revolusi digital ICT ini memungkinkan informasi dan pengetahuan tersebar secara luas dan cepat. Dengan informasi itu maka sesorang dapat mengambil keputusan yang tepat, cepat dan effisien. Sementara dengan pengetahuan maka sesorang dapat melakukan replikasi, modifikasi, imporvisasi dan inovasi terkait kegiatan ekonomi. Dan tentu saja dengan memanfaatkan ICT maka seseorang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan politik, sehingga keputusan politik lebih berpihak terhadap kepentingan masyarakat banyak.
Namun yang kemudian menjadi agak aneh adalah, disaat lembaga-lembaga internasional mempromosikan pemanfaatan ICT untuk pengentasan kemiskinan, secara hampir bersamaan muncul desakan di forum-forum internasional untuk meliberalisasi sektor telekomunikasi dan informatika (telematika). Adanya desakan internasional tersebut secara jelas dituangkan dalam penjelasan Rancangan Undang Undang (RUU) Telematika.
Dalam konteks Indonesia, sektor telematika sudah sepenuhnya liberal. Kebijakan-kebijakan di sektor ini lebih banyak didorong oleh dinamika pasar dan kepentingan industri. Keterlibatan masyarakat sipil dapat dikatakan minim.
Akibatnya, pengembangan infrastruktur ICT pun lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa, perkotaan dan kawasan Indonesia barat. Hal itu disebabkan karena penduduk di kawasan tersebut relatif padat dan memiliki pendapatan lebih tinggi. Dan itu artinya mereka berpotensi menjadi konsumen produk-produk ICT.
Ketimpangan pengembangan infrsturktur ICT ini melahirkan ketimpangan digital antara Jakarta dan luar Jakarta, kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, kawasan Indonesia barat dan timur. Lantas, dalam konteks Indonesia, mungkinkah ICT akan mampu menjadi alat untuk mencapai target MDGs, jika ketimpangan digital, yang dipicu kebijakan liberalisasi telematika, itu masih mengangga lebar?
Pengeluaran Masyarakat Miskin
Selain persoalan ketimpangan digital, yang perlu dikritisi lagi adalah kemana uang mengalir dari bisnis ICT yang telah sepenuhnya liberal ini? Liberalisasi telematika memudahkan korporasi-korporasi bidang ICT untuk melakukan penetrasi pasar di Indonesia. Sebagian besar korporasi itu adalah perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju. Hal itu wajar karena mereka pula yang lebih menguasai teknologinya.
Namun, kondisi itu berarti terbuka pula peluang adanya aliran uang dari negara berkembang (konsumen) ke negara maju (produsen produk-produk ICT). Dalam bisnis ICT di Indonesia memang ada aktivitas ekonomi lokal yang dibangkitkan, namun tentu besarnya nilai rupiah dari ekonomi lokal yang dibangkitkan itu tak sebanding dengan nilai rupiah yang berpontensi mengalir ke negara maju. Apakah dengan kondisi ketimpangan penguasaan teknologi antara negara berkembang dan maju seperti itu, ICT dapat diharapkan mampu menjadi alat pencapaian target MDGs?
Dijadikannya negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi target pasar produk ICT juga menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan belanja untuk produk-produk ICT dari warga miskin justru sama atau lebih besar dari belanja kebutuhan dasar mereka?
Sebuah survei yang dilakukan oleh aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah LSM yang mendampingi warga miskin kota Jakarta menarik disimak. Menurut FAKTA, masyarkaat miskin dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp 30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet dan sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp. 190 ribu/bulan/KK pengeluaran warga miskin kota untuk belanja produk ICT.
Pengeluaran warga miskin kota untuk produk ICT itu ternyata hampir sama dengan pengeluaran per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan per kapita per hari atau menurut Badan Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Pada tahun 2010 GKM di Jakarta mencapai Rp 213.487. Bahkan pengeluaran untuk belanja produk ICT warga miskin itu telah melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Pada tahun 2010 GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682.
Dari uraian di atas terlihat bahwa diserahkannya kebijakan ICT dalam kendali pasar justru akan menjauhkan tujuan mulia yang hendak menjadikan ICT sebagai alat pencapaian target MDGs. Kebijakan ICT harus dalam kendali negara bukan swasta, bila revolusi digital benar-benar akan diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan sesuai pencapaian target MDGs.
Sumber: Kompasiana