Oleh: Angela Shinta Dara Puspita
Minggu pagi yang cerah di sudut trotoar Alun-alun Kidul Yogyakarta. Saat itu bulan November 2015. Sekelompok pemuda, beberapa tukang becak, dan anak-anak jalanan mengerumuni lapak sederhana dengan beragam buku bacaan tergelar di atas tikar. Sudah dua tahun ini, Alun-Alun Kidul menjadi ruang publik untuk menginisiasi perpustakaan anak jalanan. Setiap Minggu pagi sekira pukul 07.00 sampai pukul 11.00 WIB, mereka membaca buku-buku sambil berdialog santai.
Adalah Rumah Baca Komunitas (RBK), sebuah komunitas anak-anak muda yang menyediakan buku-buku bacaan untuk masyarakat terutama anak-anak jalanan. Lahirnya komunitas ini tidak lepas akan semakin minimnya perpustakaan sebagai salah satu ruang publik di Yogyakarta. Perpustakaan yang ada di Yogyakarta saat ini mewajibkan tanda identitas diri seperti Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu pelajar dan sejenisnya bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan buku-buku di dalamnya. Persyaratan tersebut membuat anak-anak jalanan tidak bisa mengakses perpustakaan. Maka dari itu, sejak 2011 RBK lahir untuk untuk menjadikan ruang publik menjadi tempat berbagi ilmu bersama, khususnya untuk anak jalanan.
Komunitas ini menyediakan buku-buku bacaan yang dapat diakses oleh siapapun tanpa syarat dan jaminan apapun.
“Bagaimana dengan anak jalanan yang rumah singgah saja kadang mereka tidak punya? Di sinilah mengapa RBK mengadakan perpustakaan jalanan. Kami mencoba memberi alternatif dengan membentuk perpustakaan jalanan. Lalu itu juga kami support di tempat lain tak hanya di Jogja, seperti di Gresik, Surabaya, Nusa Tenggara Timur,†papar David Efendi selaku pendiri dan pembina RBK, (8/11).
Merintis RBK
David bersama beberapa rekannya mulai merintis RBK sejak 2011. Mereka mengontrak rumah kecil di Dusun Onggobayan Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta dengan mengumpulkan buku-buku yang diperoleh dari jaringan teman-teman lama. Ada dari para penyumbang itu yang berprofesi sebagai penulis, penerbit, bahkan mahasiswa.
“Beberapa mahasiswa yang telah lulus lalu tidak dapat membawa bukunya kembali ke kampung halaman seringkali ‘menitipkan’ buku-buku tersebut ke RBK. Supaya kiranya lebih berguna lagi,†jelas David yang juga seorang dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Pada bulan Februari tahun 2013 RBK berpindah ke Jl. Parangtritis KM 3.5 di Sewon, Bantul. Dari situlah gerakan inklusif RBK makin terlihat. Pasalnya, anak-anak jalanan di daerah Jalan Parangtritis yang tergabung dalam Komunitas Omah Keong mulai rutin datang ke RBK untuk belajar bersama. Bahkan beberapa diantaranya tinggal di rumah kontrakan RBK. Komunitas RBK ingin membuat perpustakaan yang buka 24 jam, mengubah pandangan masyarakat selama ini tentang waktu kunjungan perpustakaan yang terbatas.
Baru setahun bermarkas di Sewon, RBK kembali pindah ke Sidorejo, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul pada 2014. Kepindahan tersebut justru semakin meningkatkan berbagai kegiatan inovatif seperti pelatihan literasi dan pelatihan jurnalistik. RBK juga mengadakan pelatihan mading ekoliterasi yaitu mading yang memanfaatkan barang-barang bekas dan semacamnya di beberapa sekolah di Gunungkidul.
Meluaskan Jejaring
Seiring berjalannya waktu, RBK semakin meluaskan jejaring kerjasama dengan berbagai komunitas, salah satunya adalah komunitas Turun Tangan Yogyakarta (TTYK). Kedua komunitas itu sempat bekerjasama dengan melakukan pemutaran dan diskusi film “Di Belakang Hotel†di markas RBK. Baik RBK maupun TTYK ingin mengajak para generasi muda untuk kritis dan terbuka terhadap isu-isu di lingkungan sekitar serta bergerak untuk menanggapi isu tersebut.
Selain TTYK, RBK juga menjalin kerjasama dengan Komunitas Sedekah Kreatif Edukatif, dan ikatan-ikatan kemahasiswaan dari berbagai daerah misalnya Lampung, Maluku, dan Bangka. RBK pun juga berkolaborasi dengan Sanggar Anak Alam di Kasihan, Bantul, Yogyakarta dalam bentuk penyediaan book corner (pojok buku-red) bagi anak-anak sanggar.
Jejaring komunitas, sekolah, maupun personal yang dimiliki RBK memperkuat keguyuban komunitas ini. Hal itu pulalah yang membuat komunitas ini mandiri tanpa harus meminta dana dari pemerintah. RBK memiliki relawan-relawan solid yang berasal dari berbagai latar belakang seperti penulis, pengajar, mahasiswa, dan lainnya. Dari situlah mereka mengumpulkan dana secara sukarela. Bahkan untuk urusan sederhana seperti makanan kecil pun dilakukan secara sukarela oleh para relawan. Para orangtua relawan yang merasakan positifnya kegiatan di RBK pun tak segan memberikan donasi untuk komunitas itu. Donasi-donasi tersebut digunakan untuk keperluan rutin hingga membayar kontrakan. Selain donasi, mereka juga menggalang dana, salah satunya dengan berjualan buku.
Beragam Kegiatan
Kegiatan RBK sangatlah beragam. Justru, keberagaman itu memunculkan kategori ranah kegiatan yang membuat komunitas ini semakin mantap melangkah. Kegiatan pertama adalah pendidikan populer yaitu pendidikan inklusif yang memungkinkan siapapun untuk belajar, berbagi, serta menjadikan setiap orang penting dalam komunitas. Di dalamnya termasuk mengetahui hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan diri.
Pendidikan populer itu diperkuat dengan appreciative inquire, yaitu proses belajar yang menghargai masing-masing potensi dan mengapresiasi apapun bentuknya. David mengungkapkan kekuatan apresiatif ini sangat penting dalam komunitas. Itu karena mereka dapat berkembang sesuai kemampuan dan bakatnya. Mereka yang memiliki bakat menggambar, menulis, mendesain dan lainnya dapat berkontribusi dalam komunitas ini. Itulah yang membuat mereka merasa betah dan memiliki rasa kekeluargaan dalam komunitas ini. Dengan konsep apresiatif ini, baik relawan maupun anak-anak jalanan menjadi tidak malu untuk menunjukkan kemampuannya.
Menginspirasi
RBK telah menginspirasi berbagai kalangan. Lisa (20) adalah salah satu sukarelawan yang merasa terinspirasi oleh komunitas ini. Setahun bergabung dengan RBK, Lisa yang seoorang mahasiswi itu merasakan keramahan RBK terhadap orang yang ingin bergabung. Meski baru seminggu bergabung ia sudah merasa sangat akrab.
“Banyak perubahan yang saya rasakan setelah bergabung dengan RBK. Kan di RBK anak-anaknya pegiat (pegiat sosial-red) dan yang aku lihat kebanyakan memotivasi, lalu aktif. Ada yang jago desain, dan lain-lain. Pastinya termotivasi, lalu ada keinginan untuk ke sana juga. Terus ada semangat membaca yang lebih, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain misal saat diskusi,†papar Lisa pada saat mengobrol di lapak pinggir Alun-alun Kidul, (8/11).
Lain lagi dengan Arya, seorang mahasiswa semester 3 UMY yang mengungkapkan bahwa RBK mampu mewadahi bakatnya dalam bidang desain. Ia pun bisa saling bertukar pengetahuan yang ia dapatkan di kampus dengan di RBK.
“Kegiatan di RBK sama sekali tidak mengganggu, malah di sini saya mendapat berbagai hal menarik tentang volunteer (sukarelawan-red). Background saya sebagai desainer, jadi saya bisa berbagi tentang poster, kampanye kemanusiaan, dan lainnya bisa saya bagi di sini,†ujarnya.
*Mahasiswi Universitas Atma Jaya Yogyakarta jurusan Komunikasi