Salak Madu! Kandas Mendapat Perlindungan

Oleh Biduk Rokhmani

Hidup di era HaKi mendorong masyarakat untuk mencoba memanfaatkan aturan mainnya. Salah satunya adalah Pemkab Sleman yang berupaya melindungi salak madu yang dihasilkan oleh petani di daerahnya.

Berbicara tentang Sleman, kita tidak bisa dilepaskan dari keberadaan salak pondoh. Sebab, salak pondoh menjadi sangat penting bagi masyarakat dan Pemkab Sleman baik sebagai komoditas unggulan maupun identitas daerah. Saat ini pemkab setempat tengah gencar mengembangkan varian baru dari salak pondoh yakni salak madu yang baru dilepas sebanyak seribu pohon.

Perbedaan mendasar antara salak pondoh dan madu bagi orang awam secara kasat mata adalah kulit buahnya lebih tebal dan berwarna terang. Jika dibelah akan keluar air yang rasanya manis. Secara keseluruhan rasa buahnya cenderung lebih manis dibanding dengan salak pondoh biasa. Dari segi nilai ekonomisnyapun, harga salak madu sangat jauh dibanding salak pondoh. Setiap kilogramnya, salak madu bisa dijual dengan harga Rp 20.000 hingga Rp 25.000. Itu pun baru harga yang dipatok di kalangan petani, belum dilempar ke pedagang.

Meskipun salak pondoh juga telah diproduksi secara masal di daerah lain, Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemkab (Pemerintah Kabupaten) Sleman tidak menginginkan hal serupa juga bakal terjadi pada salak madu. Oleh karena itu pihak pemerintah setempat tengah mengupayakan adanya hak Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) yang merupakan bagian hukum dari Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) . Yang dimaksud dengan PVT menurut UU No. 29/2000 tentang PVT, adalah perlindungan khusus yang diberikan negara terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui pemuliaan tanaman.

Sebenarnya upaya itu telah diawali sejak Januari 2005 lalu. Namun oleh Pusat PVT Departemen Pertanian justru dimentahkan dengan dikeluarkan surat tertanggal 25 Juni 2005 berupa penolakan karena dianggap tidak memenuhi syarat kelengkapan data. ”Kami tidak bisa mendapatkan data konkrit tentang tetua (induk jantan dan betina, red) dari salak madu itu karena itu merupakan hasil seleksi alam. Padahal induk tanaman itu harus mempunyai daftar riwayat hidup yang jelas jika ingin didaftarkan hak PVT-nya. Termasuk yang masih belum lengkap data tentang sebaran geografis dari salak madu itu,” terang Ir Nono Suwarsono, Kasi Produksi Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemkab Sleman.

Biarpun upaya untuk mendapatkan payung hukum sebagai proteksi atas produk unggulan masyarakat Dusun Balerante, Kelurahan Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman itu masih belum membuahkan hasil nyata, namun pemkab telah mencoba usaha lain. Yakni dengan cara mengembangkan Sub Terminal Agrobisnis (STA) guna menjaga kualitas salak yang beredar. Terutama sekali untuk pemasaran salak madu agar para konsumen mendapatkan informasi yang tepat supaya tidak dipermainkan oleh pedagang. ”Untuk pemasarannya sementara ini kami masih memusatkan langsung kepada petani, nah keberadaan STA itu untuk memutus rantai perdagangan agar dari petani bisa langsung ke konsumen tanpa melalui pedagang. Meskipun sistem seperti itu resikonya salak madu yang dipasarkan masih dalam jumlah terbatas tapi itu cara untuk menjaga mutu dan citra,” ujar Nono. Selain salak madu, sebenarnya Pemkab Sleman juga turut mendaftarkan jambu air Dalhari agar mendapatkan hak PVT. Sayangnya, serupa dengan salak madu, jambu air Dalhari ditolak dengan alasan yang sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud