Oleh Suriani Ridwan Mappong
Hobi menggeluti bidang elektronika radio dan menjadi pelatih kesenian tradisional,ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, seperti dalam perjalanan hidup Syahrir yang akrab disapa ‘Opa’ oleh anak-anak radio komunitas (rakom) maupun Sanggar Seni ‘Ambarala’ binaannya.
“Rakom dan dunia seni merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup saya, karena keduanya dapat memberikan kepuasan batin,” kata mantan sekretaris Orari tahun 1984 di Kabupaten Pangkep ini.
Berangkat dari fundamen ‘kepuasan batin’ itulah, Syahrir pada saat masih menjabat pengurus Orari mencoba memberikan pembinaan dan pelatihan kepada para aktivis radio amatir, tanpa menghiraukan persoalan finansial yang mesti diterima.
Kecintaannya pada radio memang sudah tertanam sejak kecil. Kala itu, Syahrir yang akrab disapa Andi Cali ini tinggal di Kabupaten Pangkep, Sulsel– sekitar 55 kilometer dari Kota Makassar — selalu memperhatikan radio milik ayahnya, Andi Mohammad Ali Amir. Di tahun 1960-an, yang memiliki radio masih bisa dihitung dengan jari, salah satunya adalah keluarga Cali yang mempunyai radio dengan rangka dan penutup terbuat dari kayu.
Suatu ketika, saat ayahnya yang selaku penilik Pendidikan dan Kebudayaan Pangkep berangkat kerja, Cali mengintip lubang-lubang kecil di belakang penutup radio. Dengan rasa penasaran untuk mengetahui bagaimana sebuah kotak kayu mampu mengeluarkan suara manusia. Radio merek ‘Ralin’ itupun kemudian dibongkar dan satu persatu komponennya dipreteli, lalu dicuci. Setelah itu, dijemur agar cepat mengering. Namun belum sempat komponen radio tersebut kering, sang ayah sudah pulang ke rumah. Pak ‘penilik’ itu, sontak marah dan masuk ke kamar Cali, kemudian mencubit pangkal paha anaknya untuk memberi pelajaran. “Itu adalah pengalaman yang tak terlupakan, sekaligus menjadi spirit untuk lebih mengenal radio secara keseluruhan,” ujar kakek dari enam orang cucu ini.
Berangkat dari kejadian itu, saat Cali beranjak remaja, jika ada barang-barang elektronik keluarga ataupun tetangganya yang rusak, ia selalu menawarkan jasanya, tanpa perlu memperoleh imbalan. Baginya, yang penting mendapat pengalaman dan kepuasan tersendiri, jika berhasil memperbaiki suatu barang, misalnya seterika atau dinamo.
Tidak heran jika sampai kini, ketika usianya sudah menginjak 58 tahun, Syahrir tetap mencintaii dunia radio. Ia pun menularkan pengetahuannya kepada anak-anak muda di daerahnya, termasuk yang ingin mendirikan radio komunitas .Tidak tanggung-tangung, Syahrir merelakan jam tidurnya berkurang hanya untuk merakit antena pemancar.
Menjadi Teknisi Para Rakom
Sementara jika ada rakom yang alat-alat teknisnya rusak, para kru rakom pun tidak segan-segan meminta bantuan kepadanya, meski tidak memiliki banyak uang untuk perbaikan alat. Yang pasti, alat rusak saja yang diganti, sedangkan untuk ongkos ‘lelah’, Syahrir tidak pernah menuntut.
Baginya, yang penting para anak muda Rakom bisa beraktivitas kembali. Bukankah, kalau pemancar atau alat teknis suatu saat mengalami kerusakan dan tidak segera diperbaiki, itu sama artinya memungkinkan anak-anak muda itu kembali menjadi pengangguran atau melakukan tindakan yang tidak baik. “Soalnya rata-rata anak-anak Rakom di daerah itu semula adalah pengangguran yang kerjanya hanya nongkrong di jalan atau meminum miras dan bermain judi,” paparnya.
Sementara untuk membantu pengembangan bakat dan keterampilan anak-anak muda yang sudah menggeluti dunia penyiaran, Syahrir sudah menggelar berbagai macam pelatihan tentang teknik memperbaiki radio dan merakit antena pemancar sejak tahun 1987 hingga saat ini.
Puncak usahanya itu sangat dirasakan pada tahun 1992 yang bertepatan dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Saat semua pihak yang terkait dengan persoalan pengirim data Pemilu sedang pusing bagaimana cara yang cepat mengakses data informasi dari sejumlah kecamatan di Kabupaten Pangkep yang memiliki 117 pulau, Syahrir muncul dengan ide briliannya.
Kurang lebih empat puluh pemuda dilatih merakit dan mengoperasikan pemancar radio, kemudian disebar ke pulau-pulau yang menjadi target Pemilu. Walhasil, pada saat pengumpulan data, Kabupaten Pangkep terbilang cepat terakumulasi datanya, karena data-data akurat cukup dikirim via ‘radio dadakan’ di pulau-pulau ke ibukota kabupaten.
Namun jerih payah Syahrir dan anak-anak asuhannya itu, rupanya tidak terlalu mendapat perhatian dari pemerintah setempat, padahal pemerintah kabupaten terangkat namanya di provinsi, karena cepat memasukkan data Pemilu.
Getol Mengadvokasi UU Seputar Rakom
Kini, Syahrir sangat aktif mengadvokasi UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002. Pasalnya penyebarluasan pemahaman UU itu yang semestinya tugas KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah), belum tersosialisasi dengan baik di daerah. Di sisi lain, ia juga berani menyampaikan kepada pihak-pihak yang terkait, seperti KPID dan pemerintah melalui Balai Monitoring atau Infokom, bahwa UU tersebut masih banyak kelemahannya, bahkan rancu jika diaplikasikan di lapangan.
“Aspirasi para aktivis Rakom juga perlu disuarakan, agar suatu kebijakan itu bisa ‘kena’. Karena selama ini, umumnya kebijakan itu lahir dari atas ke bawah, padahal idealnya dari bawah ke atas,” terangnya.
Kelemahan itu misalnya, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, belum diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP), sementara KPID di lapangan sudah mau memberangus rakom, karena dianggap ‘radio liar’, tanpa memberi pembinaan terlebih dahulu ataupun sosialisasi aktif tentang peraturan tersebut.
Syahrir juga mengkritisi alokasi frekuensi yang hanya di tiga kanal yakni 100,7; 100,8 dan 100,9 MgHz, dengan jangkauan pancar sekitar 2,5 kilometer dan daya pancar maksimum 50 watt. Menurutnya alokasi ini tentu tidak cukup jika ada sekitar 100 Rakom yang tersebar di Sulsel.
Di samping itu ada kerancuan soal syarat pendirian Rakom. Di katakan bahwa untuk mendapatkan izin penyiaran dari KPID, radio-radio amatir itu harus dalam bentuk komunitas (kumpulan), dengan salah satu persyaratannya mendapatkan dukungan dari 250 orang warga yang ditandai dengan foto copy KTPnya. Sementara di daerah misalnya, suatu rakom dalam jarak jangkauan siaran 2,5 kilometer, belum tentu memiliki jumlah penduduk sebanyak itu.
Bagi Syahrir, radio amatir atau rakom itu tidak boleh dilihat serta-merta sebagai radio liar. Karena rakom memiliki multi fungsi di masyarakat, seperti Radio Komunitas ABC (Ambarala Broadcasting Community) . Syahrir sendiri pernah membantu guru-guru sekolah SMP terbuka yang jadwal mengajarnya tidak setiap hari. Artinya para guru harus berkeliling naik sepeda memberitahu waktu sekolah untuk muridnya. Kasihan terhadap guru, maka ia pun membelikan sejumlah murid itu radio kecil dan pengumuman waktu sekolah cukup disiarkan lewat radionya. Jadi selain informasi yang dibutuhkan oleh komunitas, rakom juga menjadi media pelestari seni budaya tradisional yang perlahan-lahan sudah mulai terkikis oleh arus modernisasi.
“Melalui siaran, kita bisa menyajikan seni tradisional, musik daerah dan penguatan bahasa daerah yang merupakan salah satu budaya. Karena itu, baik KPID maupun pemerintah hendaknya melakukan pembinaan kepada penggiat rakom dan mencarikan solusi yang tepat. Jangan asal bredel saja,” imbaunya. ***
(Penulis adalah kontributor untuk LKBN Antara, Makasar)