Oleh Biduk Rokhmani
Siang itu, raut muka Yuni (50) tampak sumringah saat menyambut saya ketika berkunjung ke rumah mungilnya yang terletak di sebuah gang sempit di bilangan jalan Kopral Yahya, RT 05 RW 01, Desa Paoman, Indramayu. Pasalnya, sehari sebelum kedatangan saya ke kampung yang berpenduduk cukup padat itu, Yuni dan beberapa ibu di sana baru saja dikunjungi istri Menteri Perindustrian Fahmi Idris yang sempat memborong hasil kerajinan mereka.Paoman? Ah ya, mungkin sebagian dari Anda pernah mendengar nama itu. Paoman memang identik dengan batik tulis khas Indramayu, batik paoman. Kalau berkunjung ke Indramayu, tidak lengkap rasanya jika tidak membawa oleh-oleh berupa kain batik khas Indramayu itu. Meski tidak seterkenal batik Pekalongan yang motifnya lebih ‘ramai’ dan berwarna-warni, batik paoman cukup dikenal karena memiliki motif khas batik pesisir.
Paoman sendiri sebenarnya adalah nama desa di Kecamatan Indramayu yang menjadi sentra industri kerajinan tradisional itu. Warga di sana telah turun-temurun menekuni usaha batik tulis. Saat siang hari, di gang-gang sempit itu banyak dijumpai perempuan yang tengah duduk di hadapan kain mori dan telaten mencelupkan canting ke dalam malam untuk membuat motif batik.
Yuni adalah salah satu perajin batik tulis paoman yang terus bertahan menekuni usaha kerajinan rumah tangga itu. Yuni dan hampir semua perempuan di kawasan sentra industri batik paoman mendapat keahlian sebagai pembatik dari orang tua mereka. Bertahun-tahun lamanya usaha itu telah mereka geluti, namun sayangnya sebagai perajin kecil yang sangat bergantung dengan juragan besar tak juga berhasil mengubah kondisi ekonomi keluarga mereka.
Bayangkan, sehelai kain batik yang membutuhkan waktu pengerjaan antara setengah hingga satu bulan itu hanya menghasilkan keuntungan bersih rata-rata Rp 4.000. “Kalau harga jualnya memang cukup tinggi, untuk batik dengan motif sejuring atau pangi itu bisa laku hingga Rp 250 ribu. Tapi kalau dihitung keuntungan bersihnya setelah dipotong ongkos produksi paling-paling kita cuma bisa dapat Rp 4.000, paling banyak Rp 10.000, tidak sebanding dengan proses pengerjaan yang membutuhkan waktu cukup lama, terlebih lagi usaha ini merupakan pekerjaan utama kami yang menjadi satu-satunya penopang ekonomi rumah tangga,” terang Yuni.
Hal itu bertolak belakang dengan kondisi di kalangan pengepul atau juragan. “Pengepul bisa mengambil untung 100 hingga 200 persen untuk setiap helai kain batik yang ditawarkan kepada pembeli. Apalagi bagi pembeli dari luar kota atau yang kelihatannya tidak terlalu paham dengan batik, pengepul bisa seenaknya memainkan harga, terutama untuk kalangan turis asing,” ujar Dareci Setiawati (28) yang telah 15 tahun lebih berprofesi sebagai perajin batik.
Terlepas dari itu semua, saat ini batik paoman telah mempunyai pangsa pasar tersendiri, di samping batik-batik dari daerah lain yang memang lebih eksis, seperti batik solo, pekalongan, atau cirebon. Berbeda dengan motif batik solo, batik Indramayu halus, gambar lebih rapat, dan rapi. Menurut Yuni, sebenarnya ada lebih dari 1.000 jenis motif batik paoman-meski pernyataan itu belum dapat dijamin kesahihannya karena memang belum pernah ada penelitian mendalam soal itu. Namun beberapa motif yang cukup populer di kalangan perajin maupun pembeli di antaranya kembang kapas, pintu raja, angin-angin rantai, sejuring, banji, dan kembang duren. Mayoritas motif batik paoman yang termasuk ke dalam jenis batik pesisir memang menggambarkan kegiatan nelayan di tengah laut. Motif-motif batik itu kebanyakan terpengaruh dari motif-motif gambar atau kaligrafi dari kawasan Arab, Cina, atau daerah Jawa Tengah/Jawa Timur.
Pada umumnya, proses membatik di daerah manapun hampir sama. “Kalau di Indramayu urut-urutan proses membatik itu kurang lebih diawali dengan ngerengreng (membikin gambar), bikin isi, nembok (menutup dengan malam), babar (diwarnai), nglorot (dicuci dengan air panas agar malam-nya luruh), lantas yang terakhir baru dijemur sebelum siap dipasarkan,î jelas Yuni.
Di samping banyak perajin yang melakukan seluruh proses pembatikan itu sendiri, biasanya ada juga orang yang menawarkan diri menjadi buruh harian yang khusus mengerjakan rengreng atau nembok. “Kalau diserahkan ke orang lain (pengerjaannya-red) akan mempercepat seluruh proses yang memang njlimet itu, meskipun kita harus rela keuntungan Bersihnya dikurangi untuk bayar buruh. Akan tetapi kalau ada buruh dalam sebulan kita tidak hanya terpaku pada satu lembar kain melainkan kita bisa memroduksi banyak kain,” ucapnya.
Saat ini untuk pemasarannya, para perajin itu menitipkannya ke outlet-outlet (pengepul-red) yang tersebar di seluruh pelosok Paoman. Ada juga beberapa perajin yang sengaja menyimpan hasil kerajinannya untuk dipasarkan sendiri. “Masing-masing perajin sudah punya langganan pengepul sendiri. Di Paoman, ada belasan pengepul yang telah memiliki outlet sendiri. Biasanya saat kain itu masih dalam proses pengerjaan sudah ada yang memesannya,” tutur Dareci.
Bagi Yuni, meskipun hasil bersih yang didapatkannya tidak seberapa, namun ia cukup bersyukur berkat keuletannya menekuni keahlian turun-temurun itu telah mampu mengantarkan kelima anaknya menjadi sarjana. “Suami saya telah meninggal 10 tahun yang lalu, jadi saya dan hampir semua perempuan di Paoman menggantungkan hidup dari hasil usaha kerajinan batik ini sebagai mata pencaharian utama kami,î ungkapnya. ***