Kemunculan televisi komunitas di Indonesia tidak terlepas dari proses kritik terhadap keberadaan berbagai televisi di Indonesia itu sendiri, di mana stasiun televisi sebagai media massif yang efektif ternyata tidak mencerahkan kehidupan masyarakat. Sebagian besar program siaran yang ditayangkan tidak mendidik dan jauh dari realitas kehidupan sosial masyarakat kita. Sinetron misalnya, selalu mengetengahkan kemewahan yang tidak dipunyai masyarakat kebanyakan.
Kritik lain adalah, program siaran televisi yang kurang mendidik. Simak
saja berbagai tayangan yang tersaji dalam layar kaca kita. Tayangan gosip
selebriti yang mengabaikan etika jurnalistik, berbagai sinetron yang
menampilkan wajah bengis untuk perebutan harta dan kekuasaan melalui
kekerasan yang secara vulgar, tayangan mistis, reality show yang kadang
melecehkan martabat manusia dan berbagi tayangan televisi lainnya,
menunjukan bahwa media televisi swasta di Indonesia jauh dari harapan sebagai media yang mencerdaskan.
Dampak dari siaran televisi yang sarat dengan gaya metropolis (baca :
Jakarta), pada akhirnya berakibat pada tingkah laku khalayak pemirsa yang
meniru gaya kaum metropolis. Sementara mayoritas khalayak pemirsa televisi pada umumnya, sebenarnya hidup dalam budaya dan entitas lokal. Akibatnya, kebudayaan dan entitas lokal terpinggirkan akibat penetrasi “kebudayaan” televisi swasta. Tidak jarang, televisi melalui iklan komersial yang ditayangkan cenderung memaksa penonton mengikuti patron penciptaan budaya kekinian, khususnya dalam soal gaya hidup, dan seksualitas.
Televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk
memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. (Mc Quail, 1996:3)
Hampir semua televisi swasta di Indonesia memang berkiblat kepada
perolehan iklan komersial sehingga televisi berkembang menjadi industri
penyiaran raksasa. Cilakanya, dengan dalih perolehan iklan , maka program
siaran yang ditayangkan menyesuaikan pasar dan akibatnya media tersebut
gagal mencerdaskan pemirsanya dengan program siaran yang bermutu.
Jika pada masa orde baru, masyarakat hanya mampu menjadi penonton
dan obyek sasaran penanaman ideologi politik otoritarinisme, yang menjauhkan masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi, disusul kemudian menjadi obyek sasaran bisnis yang mendorong masyarakat berperilaku konsumtif oleh media penyiaran swasta setelah reformasi, saatnya masyarakat mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subyek yang memilah, memilih, dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.
Perkembangan media sebenarnya diikuti oleh tuntutan kepada media
untuk memiliki suatu tanggungjawab sosial. Kebebasan yang dimiliki media
perlu disertai tanggungjawab sosial dan dan kecenderungan berorientasi pada kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. (Wibowo, 1997: 58). Namun pada kenyataannya, media penyiaran (khususnya televisi swasta) menafikkan tanggungjawab sosialnya karena tuntutan bisnis untuk meraih keuntungan yan sebesar-besarnya dengan rating televisi (ukuran banyak pemirsa yang menonton sebuah acara di televisi pada satu waktu) menjadi dewa dan barometer bagi industri televisi tanpa melihat dampak yang bisa ditimbulkannya.
Televisi komunitaslah yang kemudian dianggap sebagai media yang
memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakatnya (khalayak pemirsa).
Media komunitas dirasa tepat sebagai pilihan media yang berpihak pada kepentingan masyarakat.