Oleh Dodi Rokhdian
“Orang Rimba dapat tulang, perusahaan dapat dagingnyaā€¯
Ungkapan Tumenggung Murak, salah seorang pemimpin adat Rimba di sisi barat Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) bisa menggambarkan kondisi komunitas Rimba saat ini. Kehidupan orang Rimba yang di masa lalu bisa hidup harmonis dan selaras dengan hutannya kini semakin terancam. Pertumbuhan populasi dalam ‘konteks pembangunan’ dan arah perubahan telah menekan lingkungan alam mereka.Pertama kalinya kehidupan alami orang Rimba terusik oleh kedatangan ribuan penduduk dari Jawa melalui proyek ‘transmigrasi’yang dicanangkan pemerintah pada era tahun 1980-an. Wilayah jelajah orang Rimba untuk melangsungkan ritual adat dan pencarian sumber-sumber makanan menyempit, juga mulai saat itu aktivitas ekonomi para transmigran mampu menjangkau wilayah-wilayah penghidupan orang Rimba.Orang Rimba tak bisa berbuat banyak, mereka menyingkir dan tak memiliki posisi tawar saat wilayah adatnya terampas tanpa sepengetahuan mereka. Berikutnya, sebagai konsekuensi dari arah pembangunan yang mengejar pada pertumbuhan, masuklah perkebunan berskala besar kelapa sawit dan tanaman karet di wilayah sekitar Bukit Duabelas. Kemudian perusahaan-perusahaan lainnya menyusul menggasakdan menebangi hutan atas dalih HTI (HutanTanaman Industri) dan HGU (Hak Guna Usaha). Sama saja, setali tiga uang, ekspansi lahan yang dilakukan semakin menyempitkan dan menimbulkan banyak kerusakan bagi keutuhan alam yang menjadi sumber pangan orang Rimba.
Kini memang tak ada lagi perusahaan HTI dan HGU, karena Bukit Duabelas sejak tahun 2000 telah berstatus hukum menjadi Taman Nasional. Namun ini hanyalah pengakuan di atas kertas, persoalan tak pernah berhenti menghampiri kehidupan alamiah orang Rimba. Penebangan hutan secara ilegal dan perladangan penduduk justru semakin menggila, merusak dan menekan Bukit Duabelas. Wilayah konservasi seluas 65.000 Ha di tengah Provinsi Jambi ini berada ditengah kepungan 27 desa yang 80% merupakan tempat tinggal pelaku-pelaku penebang liar. Ribuan kubik kayu menghilir ke luar dan dinantikan pasar gelap kayu curian. Deru mesin truk juga sarat kayu; curian keluar masuk membawa berjuta gelondong tegakan pepohonan. Orang-orang baru, kebiasaan baru, barang-barang baru, bahkan agama baru,tak henti mengikis ‘tradisi dan kealamian’ kelompok minorita seperti orang Rimba.
Sekolah Rimba
Melihat persoalan semakin kompleks, orang Rimba harus memiliki bekal kemampuan dan pengetahuan yang cukup tentang ‘dunia luar’ dan tentang bagaimana mereka bisa hidup saat hutan tak bisa lagi dijadikan sandaran hidup. Kini kelompok-kelompok orang Rimba yang tersebar dan masing-masing otonom sudah menyadari bahwa yang menolong hidupnya adalah dirinya sendiri.
Sembari meningkatkan kestabilan ekonomi mereka yang tengah terancam, maka pada tahun 2002 didirikanlah sekolah berbasis komunitas yang disebut Sokola Rimba. Sebelumnya sejak tahun 1999, komunitas Rimba sebenarnya telah diperkenalkan budaya baca tulis melalui program “jungle school for life” Kini kader yang telah mengikuti program tersebut aktif di Sokola Rimba. Para kader inilah yang kemudian menularkan pendidikan baca tulis dan berhitung ke segenap kelompok orang Rimba yang tersebar dan terpencar-pencar. Mereka juga yang kerap berada di depan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa tanah dan hutan yang membutuhkan keabsahan selembar surat.
Lebih dari sekadar sekolah, didirikan pula pusat komunitas yang berfungsi sebagai pusat kegiatan literasi dasar serta tempat orang Rimba berkumpul membahas dan mencari jalan keluar dari setiap persoalan. Sejak itulah dewan adat sokola terbentuk di mana duduk pemimpin-pemimpin adat untuk mengkaji setiap program dan kurikulum sekoiah Rimba agar bisa menjawab dan mencari jalan keluar dari persoalan. Karena keberadaan murld-murid tak bisa lepas dari adat dan lingkungan orang dewasa di sekelilingnya dan sekolah haruslah menyumbang bagi kehidupan orang Rimba sendiri.
Setelah sejak 1999 sampai sekarang budaya baca dan tulis mulai diperkenalkan ada sejumlah perubahan dalam pola komunikasi orang Rimba. Sebelumnya kabar berita pada masyarakat Rimba disampaikan secara lisan dengan berjalan mendatangi setiap kelompok lalu secara estafet disampaikan lagi ke kelompok lainnya. Si pemberi berita bila tak bisa menyampaikan langsung akan menyuruh seseorang untuk menggantikannya, namun biasanya si pemberi berita akan menitipkan barang pribadinya berupa kain, tongkat, pisau, atau jimat pribadinya. Cara komunikasi ini memakan waktu lama, dan kadang ‘dibumbui’ gosip.
Pola komunikasi ini tentu sangat kontras dengan pihak luar yang telah mengenal angka dan huruf, terbiasa menjalin hubungan dengan siapapun, serta memiliki kultur melek teknologi informasi. Contohnya jaringan toke-toke kayu ilegal, merupakan sebuah jejaring yang menguasai mata rantai arus pemasaran kayu sejak hulu sampai hilir. Kesenjangan kemampuan penguasaan jaringan dan ‘informasi’ dengan pihak pengancam adalah salah satu penyebab terjadinya marginalisasi tersebut.
Saat ini komunitas orang Rimba melalui Sokola Rimba telah mengenal huruf dan angka.Sehingga untuk membuat undangan pertemuan, mereka kini telah mampu menuliskan pesannya atau menggunakan sms untuk penyampaian pesan. Hal ini tentu telah mengurangi jumlah manusia yang terlibat sebagaimana dalam penyampaian pesan berantai dari mulut ke mulut. Namun dengan itu pula informasi menjadi efektif karena apa yang disampaikan tidak sepotong-potong. Dengan kemampuan ini pula orang rimbajuga telah membuat koran komunitas bernama JONGOKO yang artinya ‘dengarkan’ dan telah terbit 3 edisi. Ditulis oleh para kader dan isinya menceritakan pengalaman serta aspirasi orang rimba. Koran yang sederhana, berbahasa rimba, ditulis tangan dan di foto kopi seadanya ini bisa menjadi media komunikasi dan informasi bagi mereka. Lewat tradisi menulis dan penggunaan handphone untuk berkomunikasi ini masyarakat tradisional yang bercirikan komunal memang mulai mengurangi ketergantungan satu sama lain dan menjadi lebih individual, namun dibalik itu pesan menjadi efektif, cepat, dan menghindari terjadinya gosip.
Menghadapi hari yang semakin sulit, sejumlah kader yang melek huruf menyadari bahwa komunitasnya tertinggal dalam penguasaan teknologi informasi. Kini sebagian dari mereka ingin mengejar ketertinggalannya dengan minta diajarkan komputer dan akses ke internet. Untuk memenuhinya, tentu bukan dibutuhkan kemauan saja, tetapi juga infrastruktur fisik dan sosial yang mendukungnya. Tentunya dibutuhkan penelitian lanjutan untuk melihat seberapa jauh kemampuan literasi dasar dan teknologi komunikasi akan berdampak terhadap pola kehidupan komunitas Rimba.
Dodi Rokhdian, antropolog dan aktivis SOKOLA alternative education club. Saat ini berkegiatan pada pendidikan berbasis komunitas di Bukit Duabelas Jambi, Aceh, Makasar, dan sedang merintis sekolah komunitas di Flores dan Timor, NTT.