Semangat Perempuan yang Terhempas Sejarah

Oleh Zein Muffarih Muktaf

Mata Ibu Sri berbinar-binar saat mengurai mimpinya untuk memberdayakan ekonomi ibu-ibu di perkumpulannya. Sembari melayani pembeli di warungnya, ia menjelaskan tujuan organisasinya. “Ini adalah perkumpulan khusus perempuan, kita sebut Kiprah Perempuan (KIPER),” jelasnya.Awal pembentukannya, dimulai saat ibu-ibu mengadakan acara syawalan yang difasilitasi oleh Lembaga Syarikat pada  26 November 2005. Bincang-bincang itu pun berlanjut dengan desakan untuk mengadakan pertemuan lagi. Wajar jika ibu-ibu yang tergabung dalam KIPER ini mengharapkan hal tersebut, pasalnya, hidup bersama selama 14 tahun di penjara Plantungan, Ambarawa dan Bulu, Semarang membuat pertemuan ini menjadi  ajang reuni bagi mereka.

Latar belakang peristiwa masa lalu telah mempertemukan mereka kembali. KIPER merupakan perkumpulan perempuan yang dilandasi kesamaan nasib sebagai korban tragedi 1965. Perempuan-perempuan yang tergabung dalam perkumpulan ini merupakan korban secara langsung maupun tidak langsung. Korbaan tidak langsung yang dimaksud adalah kerabat dari korban tragedi 1965, seperti anak dan isterinya.

Usia yang telah separuh abad dengan rambut putih yang mulai tumbuh di sana-sini tidak mematahkan semangat para ibu untuk berkumpul. Pertemuan selanjutnya diadakan di Kotagede yang dihadiri 30 orang. Pada saat itu para ibu mengusulkan berdirinya sebuah perkumpulan, dan akhirnya pada tanggal 19 Maret 2006 di sekretariat Fopperham (sebuah LSM di bidang HAM korban konflik), perkumpulan itu diberi nama Kiprah Perempuan yang disingkat KIPER yang menggeluti bidang koperasi.

Koperasi simpan pinjam yang dijalankan KIPER memang tak seberapa, perputaran uang yang ada pun tidaklah terlalu banyak. Bu Sri masih memaklumi perputaran uang yang masih minim itu, karena awalnya koperasi ini memang hanya sebagai pengikat ibu-ibu agar bisa berkumpul.

Setiap dua bulan sekali ibu-ibu berkumpul di rumah salah satu anggota untuk mengumpulkan iuran wajib koperasi sebesar Rp 3.000. Ibu Sri mengungkapkan, koperasi KIPER belum bisa meningkatkan ekonomi anggotanya. Pinjamannya pun hanya dibatasi Rp 100.000 sampai Rp 200.000  dengan bunga 1% per bulannya. Hal ini membuat pinjaman uang koperasi kebanyakan hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun bukan berarti KIPER tidak ingin ke arah yang lebih serius. Bulan April 2007 lalu, KIPER dengan Fopperham telah berhasil membuat pelatihan pengembangan bisnis bagi ibu-ibu korban konflik 1965 di seluruh Yogyakarta dengan tema “Pengembangan Ekonomi bagi Perempuan Korban Konflik yang Menjadi Korban Gempa”. Salah satu tujuannya adalah agar ibu-ibu bisa bangkit kembali mengembangkan perekonomiannya setelah sekian lama menderita diskriminasi dan kini harus menghadapi gempa bumi yang memporakporandakan perekonomi mereka.

Selain sebagai koperasi, KIPER juga menjadi ajang curhat (curahan hati) dan tukar cerita tentang  lingkungan masyarakat dan keluarganya. Diskriminasi sosial masih menjadi topik utama perbincangan mereka. “Masyarakat masih pobhia dengan kami,” ujar Ibu Sri lirih. Meski kini, reformasi telah bergulir, perkumpulan ini masih sering menerima hujatan dari masyarakat sekitar. Malah ada anggota Kiper yang tidak  boleh datang lagi di perkumpulan oleh suami atau anaknya. “Ini menjadi kegelisahan kita, mengapa mereka masih melihat kami seperti itu,” ungkap Ibu Sri tegun.

Pandangan masyarakat yang masih negatif tidak selalu membuat para ibu patah semangat. Ibu Teguh, misalnya, pengusaha kue kembang waru ini justru menegaskan bahwa KIPER bisa memberdayakan perempuan dengan semangat kebersamaan.  Dari kebersamaan itulah, saat gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 yang lalu, KIPER bisa membantu beberapa anggotanya yang menjadi korban. Dengan adanya alokasi dana sosial yang dimiliki KIPER, organisasi kemudian bisa meminimalkan kerugian yang diderita anggota walaupun dana yang diterima tidak begitu banyak. Dana sosial itu diambil dari iuran wajib, dengan pembagian Rp 2.000 untuk sosial dan  Rp 1.000 masuk kas koperasi. “Kami merasa bahagia mampu membantu sesama anggota,” kata Ibu Sri. Dengan keuangan koperasi yang masih minim, KIPER memang tidak terlalu ngoyo untuk bisa meningkatkan perekonomian anggotanya. Namun dengan adanya semangat tinggi dari anggota, mimpi tersebut bukan tak mungkin bisa menjadi kenyataan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud