Apa sesungguhnya yang paling berbahaya bagi pengguna internet (netter) apabila mereka mengeluarkan opini atau curhat (curahan hati) atau keluhan di dunia maya?
Bahayanya, sekali kita menulis sesuatu di dunia maya, tulisan itu seperti punya nyawa sendiri. Ia lepas dari kontrol kita dan kita tak bisa menariknya lagi. Orang lain bisa mengirim opini itu ke mana-mana tanpa bisa kita halangi. Bahkan, orang itu bisa mengubah isi opini kita, mendramatisasi, menambahkan sesuatu, menghapus bagian tertentu, dan sebagainya. Bagi orang lain yang menerima pesan itu, mereka tahunya kita adalah penulisnya.aJika curhat atau keluhan itu hanya berupa lampiasan emosi belaka, apakah juga bisa dituntut secara hukum? Apakah tidak ada hal untuk membela diri bahwa saat itu kita sedang dalam kondisi emosi, sama seperti orang yang membunuh karena emosi kan ada peringanan hukuman?
Opini tertulis berbeda dengan reaksi spontan, seperti ketika orang sedang marah atau kalap. Jika kita diserang orang dengan pisau, secara refleks kita bisa menangkis atau balas memukul untuk membela diri. Tetapi menulis opini butuh waktu cukup lama, sehingga dalih reaksi spontan atau refleks itu menurut saya sulit dipertahankan di pengadilan. Tulisan, seperti juga karya jurnalistik, akhirnya akan dinilai dari fakta dan data yang terkandung di dalamnya, seberapa jauh data itu memang bisa dipertanggungjawabkan atau dibuktikan kebenarannya. Maka, apakah kita sedang emosi ataupun tidak, kita tetap harus berhati-hati ketika menulis sesuatu yang akan dibaca oleh banyak orang di dunia maya.
Bagaimana pendapat Anda tentang Pasal 27 ayat 3 UU ITE, yang dianggap banyak kalangan membatasi kebebasan berpendapat di internet?
Dalam kasus Prita Mulyasari vs RS Omni International, Prita didakwa melanggarPasal 27 ayat (3) junto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 11/2008 tentang Informasidan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat (3) UU tersebut menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Prita juga dikenakan Pasal 310, 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1 tahun 6 bulan. Sedangkan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE menyatakan, pelanggaran terhadapketentuan Pasal 27 Ayat 3 diancam pidana penjara paling lama 6 tahun penjaradan atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Saya setuju dengan pernyataan Koordinator Divisi Advokasi HAM Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Anggara, bahwa Pasal 27 ayat (3) itu seharusnya tidak dikaitkan dengan badan hokum. Pencemaran nama baik itu pada hakikatnya berkaitan dengan reputasi person/individu bukan badan hukum.
Artinya, kalau seseorang mengeluhkan pelayanan rumah sakit, PAM, PLN, PT. Telkom, dan sebagainya, seharusnya keluhan itu tidak bisa dituntut dengan pasal tersebut. Jelas, bahwa pasal itu memang membatasi kebebasan berpendapat warga negara di dunia maya, karena pasal itu sangat mudah dimanfaatkan oleh penguasa otoriter atau pemilik modal besar, untuk menekan suara kritis, aspirasi dan kepentingan rakyat.
Bagaimana curhat atau keluhan yang baik dan benar bagi para netter agar tidak terjerat hukum?
Selama pasal undang-undang yang bernuansa kolonial (untuk meredam suara kritis rakyat) itu dipertahankan, tidak ada jaminan penuh bahwa para netter akan bebas dari ancaman jeratan hukum. Paling banter, kita hanya bisa mengurangi risiko dengan bersikap lebih hati-hati. Oleh karena itu, kita harus berjuang sekarang untuk menghapuskan pasal-pasal karet, yang bisa ditafsirkan seenak udelnya sendiri oleh penguasa yang dzalim atau penegak hukum yang bodoh atau tidak memiliki rasa keadilan. Apalagi, jika mereka menjadi kepanjangan kepentingan pihak lain dan mau disuap oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan uang.
Selain kasus Prita, apakah ada kasus lain yang juga sudah kena jerat UU ITE, cuma gara-gara menulis komplain di dunia maya? Kalau ada, bagaimana perkembangannya sekarang?
Seingat saya, Narliswandi Piliang, wartawan yang kerap menulis dalam situs presstalk.com, pernah dilaporkan kepada polisi oleh anggota DPR-RI dari Partai Amanat Nasional (PAN), Alvin Lie, sekitar September 2008. Menurut Alvin Lie, tulisan Iwan mencemarkan nama baiknya, karena seolah-olah menuding Alvin Lie telah menerima atau meminta uang sejumlah tertentu dari seorang pengusaha. Pelaporan itu terkait tulisan Narliswandi berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto. Saya kurang mengikuti kasusnya, tapi tampaknya tidak berlanjut tuntas ke pengadilan.
Dari kacamata pengguna internet, sebaiknya kita harus bagaimana menyikapi UU ITE ini? Nanti lama-lama tidak bisa berbuat apa-apa? Apakah kalau komplain tentang sesuatu tidak usah menyebut nama, tapi diganti memakai inisial atau apa? Itu aman, tidak?
Tidak bisa tidak, Pasal 27 Ayat 3 UU ITE itu harus dilawan atau dihapus, karena sangat rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkuasa dan pihak yang punya uang, dengan merugikan kepentingan dan aspirasi rakyat kecil atau konsumen. Karena takut dituntut, rakyat tidak bisa bersuara dan menyatakan pendapat secara bebas. Ini adalah pelanggaran HAM yang serius. Kalau komplain tetapi tidak menyebut nama, tentu bisa saja. Namun, dampaknya tidak akan terasa alias sia-sia. Memang aman sih, tapi apa gunanya jika pihak-pihak yang dikritik atau diprotes itu tidak merasakan apa-apa, karena tidak merasakan sanksi sosial apapun (meskipun mereka bersalah).
Ada pesan-pesan Anda bagi pengguna internet, agar mereka bisa tetap bebas berekspresi tanpa takut kena jerat hukum?
Pesan saya cuma satu: hati-hati. Tetapi jangan pernah berhenti menulis. Jangan biarkan ketakutan itu melumpuhkan kita, karena memang itu yang dikehendaki oleh para elite dan kelompok kepentingan, yang tak mau kepentingannya terganggu. Lawan terus!
Mas Satrio sendiri sudah aktif di milis sejak kapan? Berapa banyak milis yang Mas Satrio ikuti kini?
Saya aktif menulis dalam berbagai milis kira-kira sejak 2002, saat masuk ke Trans TV. Milis yang saua ikuti kini sekitar 28 milis. Kenapa 2002? Ya, kan bisa memanfaatkan e-mail atau internet dengan biaya kantor..he.he..he…
Apa sih yang menarik dari aktif di milis ini bagi Mas Satrio? Apa tepatnya yang membuat Mas termotivasi aktif di banyak milis?
Menulis itu merupakan cara kita berekspresi dan merupakan cara kita mempengaruhi dunia. Banyak tokoh top dunia dikenal lewat tulisannya. Sebut saja: Soekarno, Hatta, Mahatma Gandhi, John F. Kennedy, Marx, Foucault, Bourdieu, dan sebagainya. Saya ingin seperti mereka. Selain itu, sebagai jurnalis saya harus punya banyak kontak dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang. Milis-milis itu memfasilitasi kontak dan pertukaran informasi antara saya dengan banyak komunitas. Ada saja info dan ide untuk liputan berasal dari mereka.
Satrio Aris Munandar, Produser Reportase Investigasi TRANS TV
Tulisan ini telah dipublikasikan di blog satrioarismunandar6. Publikasi di situs ini telah mendapat izin dari penulis.