Dukungan teknologi informasi dan komunikasi, biasa disingkat TIK, memungkinkan para pegiat pendidikan mengemas dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dalam pelbagai cara. Pendidik bisa mengembangkan teknik-teknik penyajian materi dan simulasi, penugasan, evaluasi, bahkan program pengajaran elektronik (e-learning) sehingga proses belajar-mengajar berlangsung secara interaktif dan tanpa batas.
Kecenderungan ini telah terbaca oleh pemerintah. Di dunia pendidikan formal, Departemen Pendidikan Nasional telah meluncurkan Proyek Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) sehingga teknologi interkoneksi (internet) dapat dimanfaatkan di sekolah-sekolah.
Sayang, program-program di atas menyerap dana yang besar, terutama pada pos pembelanjaan sistem operasi (operating system) ataupun aplikasinya sehingga sebagian besar sekolah menggunakan produk bajakan. Tindakan pembajakan di lembaga pendidikan, seperti sekolah, jelas sangat ironis. Apapun alasannya, pembajakan merupakan tindakan kriminal dan pelanggaran hukum.
Untuk menyiasati keterbatasan dana, solusi tepatnya adalah penggunaan perangkat lunak bebas dan sumber terbuka (Free and Open Source Sofware), sebut saja Linux. Terlebih, salah satu distro Linux, Ubuntu, telah mengeluarkan versi khusus untuk pendidikan, yakni Edubuntu. Keunggulan FOSS sangat banyak, antara lain FOSS merupakan sistem operasi yang bebas atau gratis (free) dan terbuka bagi siapa saja yang ingin mengembangkannya (open source). FOSS juga tidak mengenal istilah virus, sebab ia sistem in dikerjakan secara bersama-sama oleh jutaan ilmuwan komputer di seluruh dunia.
Mengapa FOSS bisa didapatkan secara gratisan? Prinsipnya, FOSS itu free as in freedom, not free as beer. FOSS itu seperti ilmu logaritma, aljabar, phytagoras, dan hukum yang ada di fisika, kimia, matematika, yang tidak pernah dipatenkan oleh pembuatnya.
Mungkinkah kita menggunakan FOSS di sekolah? Jelas mungkin. Kesalahan kegiatan belajar-mengajar selama ini adalah guru sering mengenalkan produk (merek) bukan subtansi. Guru mengenalkan Windows, bukan mengenalkan sistem operasi. Apabila guru bisa mengajarkan substansi maka dunia pendidikan akan sadar bahwa kebiasaan menggunakan perangkat lunak berpemilik (propertary) akan menciptakan ketergantungan.
Dalam platform FOSS tersedia berbagai aplikasi yang memiliki fungsi serupa dalam plafform Windows. Untuk aplikasi kantoran tersedia Open Office, untuk aplikasi grafis ada GIMP, Inkscape, Scribus, dan untuk aplikasi audio-video ada XMMS, Audacity, Audacious, Amarok, Kafeein, dan untuk animasi ada Blender. Untuk aplikasi pendidikan kita bisa menggunakan Stellarium untuk pelajaran perbintangan atau astronomi.
Semua aplikasi dapat diunduh dan digunakan secara gratisan. Dukungan FOSS pada dunia pendidikan membuat aktivitas belajar-mengajar semakin menarik. Mata pelajaran yang selama ini dipandang sulit akan terasa mudah dengan adanya fasilitas pemodelan dan gambar yang disediakan oleh perangkat lunak pendidikan di FOSS. Para siswa juga terbiasa dengan tradisi berbagi sehingga tercipta percepatan dalam pengembangan keilmuan.
Open Source bagi Pendidikan
Open Source telah memberikan empat hal bagi dunia pendidikan. Pertama, perangkat lunak Open Source bebas biaya sehingga dapat menghemat pengeluaran sekolah. Meskipun di negara-negara yang paling kaya, sekolah-sekolah selalu kekurangan dana. Aplikasi open source memberikan kepada sekolah—seperti pemakai lain—kebebasan untuk meniru dan mendistribusikan kembali perangkat lunak, agar sekolah dapat memakai aplikasi ini di semua komputer yang mereka miliki.
Kedua, dunia pendidikan bisa mengajarkan cara hidup yang menguntungkan masyarakat pada murid-muridnya. Mereka bisa mempromosikan pemakaian perangkat lunak open source sebagaimana mereka mempromosikan pendauran ulang sampah. Apabila sekolah mengajarkan pemakaian aplikasi open source kepada murid, maka murid akan menggunakan aplikasi open source setelah mereka lulus. Hal ini akan membantu masyarakat secara keseluruhan untuk lepas dari dominasi korporat raksasa. Perusahaan-perusahaan ini memberikan sampel gratis kepada sekolah dengan alasan yang sama dengan perusahaan rokok yang mendistribusikan rokok gratis: untuk membuat anak-anak kecanduan. Mereka tidak akan memberikan diskon lagi kepada murid – murid tersebut setelah mereka dewasa dan lulus sekolah.
Ketiga, perangkat lunak open source memungkinkan pemakai untuk belajar cara kerja perangkat lunak. Saat murid-murid mencapai usia remaja, sebagian dari mereka ingin belajar semua yang ada di dalam komputer dan aplikasi yang mereka gunakan. Ini adalah usia di mana murid yang akan menjadi programmer handal belajar. Untuk belajar menulis coding dengan baik, murid -murid perlu membaca banyak coding dan menulis banyak coding. Mereka perlu mengerti program sebenarnya yang dipakai orang. Mereka akan sangat tertarik membaca source code yang mengoperasikan program yang mereka gunakan setiap hari. Aplikasi komersiil mencegah murid – murid yang haus ilmu dengan mengatakan “ilmu yang anda inginkan adalah rahasia–tidak boleh dipelajari!” Perangkat lunak open source mendorong semua orang untuk belajar. Komunitas open source menolak filosofi “penginjilan teknologi” yang menyebabkan publik tidak tahu cara kerja teknologi; kami mendorong murid-murid segala umur dan di segala situasi untuk membaca source code dan belajar sebanyak yang mereka inginkan. Sekolah-sekolah yang menggunakan aplikasi open source memungkinkan murid-murid berbakat programming untuk melakangkah lebih jauh.
Keempat, untuk memakai aplikasi open source adalah kita memiliki ekspektasi bahwa sekolah seharusnya mengajarkan fakta-fakta dasar kepada murid, ilmu-ilmu yang berguna, akan tetapi tugas mereka tidak berhenti di situ. Misi paling fundamental milik semua sekolah adalah mengajarkan muridnya cara menjadi penduduk dan tetangga yang baik–untuk bekerja sama dengan orang lain yang membutuhkan bantuan. Di zaman komputer, hal ini berarti mengajarkan mereka untuk berbagi perangkat lunak. Terutama di sekolah dasar, seharusnya mereka mengatakan kepada murid-muridnya “apabila anda membawa sebuah aplikasi ke sekolah, anda harus membagikannya kepada anak-anak lain.” Tentunya, sekolah harus mempraktekkan apa yang diajarkan: semua aplikasi yang dipakai di sekolah harus tersedia kepada murid untuk dipakai, dibawa pulang dan dibagikan ke orang lain.
Mengajarkan murid-murid untuk memakai aplikasi open source dan berpartisipasi di komunitas open source adalah pelajaran yang harus dipraktekkan. Semua tingkat edukasi seharusnya menggunakan aplikasi gratis.
Yossy Suparyo, Staf Managemen Pengetahuan COMBINE Resource Institution. Mendalami dunia teknik di Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Yogyakarta dan Jurusan Ilmu Informasi Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Makalah ini dipresentasikan pada Seminar “Open Source dan Pendidikan” yang diselenggarakan oleh Yayasan Air Putih Jakarta pada 8 November 2010