Tarik Ulur PP Penyiaran

oleh Biduk

Setelah menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk anggota DPR dan akademisi, akhirnya Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan Djalil menyetujui penundaan selama dua bulan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Penyiaran, yakni PP 49/2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP 51/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP 52/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Jika tidak ada tindak lanjut dari pemerintah, maka PP Penyiaran yang ditandatangani oleh presiden pada 16 November 2005 akan dicabut.Dari kalangan media, protes dilontarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Ade Armando, Wakil Ketua KPI, menilai isi PP jelas-jelas bertentangan dengan semangat Undang-undang No 32 dan mengebiri peran KPI hanya menjadi lembaga pemberi rekomendasi saja. Saat audiensi dengan Komisi I DPR RI, Rabu (30/11), KPI menyatakan bahwa “Semua PP ini membuat KPI kehilangan kewenangan untuk melindungi masyarakat dari isi siaran yang buruk. Makanya PP itu harus dicabut dan tidak diberlakukan lagi.”

Sementara itu, Ketua Umum AJI Heru Hendratmoko menyatakan bahwa penerbitan sejumlah PP tersebut adalah langkah mempercepat metamorfosa Depkominfo menjadi Deppen (Departemen Penerangan) ala Orde Baru yang mengendalikan seluruh aspek isi, teknik dan administratif dunia penyiaran di Indonesia.  Senada dengan Heru, Ade Armando juga memandang keengganan pemerintah melepas kekuasaan penyiaran memperlihatkan pola yang sama Deppen di masa Orde Baru. Dengan dikuasainya akses informasi oleh pemerintah, akan ada kecenderungan dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan.

“Pemerintah seolah-olah berupaya melakukan sentralisasi seperti yang dilakukan oleh Departemen Penerangan pada era Orde Baru. Kewenangan pemerintah terlalu berlebihan, dari perizinan, pengawasan hingga pemberian sanksi. Seharusnya kewenangan tersebut dipegang oleh lembaga yang independen dan mengedepankan kepentingan publik,” jelas Ade.

Protes juga disuarakan oleh sejumlah akademisi dari Universitas Indonesia (UI) menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempertimbangkan mencabut PP yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai demokratisasi penyiaran. “Kalau tidak mencabutnya, kami akan menggugatnya melalui Mahkamah Agung,” kata Effendy Ghazali, salah seorang pakar komunikasi UI.

Kritik tajam juga datang dari para anggota DPR. Efendy Choirie misalnya, menyinggung kemungkinan adanya kongkalingkong pemerintah dengan pelaku industri tertentu yang berniat mengamankan investasi mereka.  “Semua PP yang mendiskreditkan dan menodai semangat pasal-pasal UU Nomor 32 harus ditolak. DPR akan mendukungnya,” ujar Choirie.

Dari hasil rapat kerja antara Menkominfo Sofyan Djalil dengan Komisi I DPR Senin 5 Desember 2005, disepakati agenda untuk mempertemukan para pihak dalam membicarakan amandemen UU No 32/2002 dan peraturan pelaksanaannya, serta penundaan pemberlakuan PP selama dua bulan. “Tapi saya lapor presiden dulu,” kata Sofyan. Nah, sekarang kita tunggu saja bagaimana reaksi presiden!

Perpustakaan Digital di Yogyakarta
Era globalisasi memang menuntut adanya banyak kemudahan dalam beraktifitas. Salah satunya termasuk memudahkan orang mengakses fasilitas IT (information technology).

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencoba memberi kemudahan bagi pencinta dan pengunjung perpustakaan dengan membangun Jaringan Layanan Perpustakaan Digital “Jogja Library for All”.

Peluncuran dilakukan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 30 November 2005 di Kepatihan Yogyakarta, dan ditandai dengan penandatanganan MoU antara Gubernur DIY dengan Rektor UGM, UII, UNY dan ISI.

Keempat perguruan tinggi itu secara resmi menggalang jaringan perpustakaan yang dapat diakses Badan Informasi Daerah (BID) Pemprov DIY.

Pengunjung perpustakaan digital ini akan diberi semacam smart card sebagai kartu identitas pengguna jaringan perpustakaan. Nantinya, pengunjung yang ingin meminjam buku di salah satu jaringan Jogja Library for All bisa langsung dilakukan melalui jaringan katalog di masing-masing perpustakaan kampus.

Jadi, jika ada mahasiswa UII ingin meminjam buku yang hanya ada di perpustakaan ISI, tinggal order lewat perpustakaan di kampusnya. Tak perlu datang jauh-jauh ke ISI.

Menurut Kepala Bappeda DIY, Ir Bayudono yang juga Ketua Dewan Pengembangan Perpustakaan DIY, latar belakang pembangunan Jogja Library for All ini berawal dari komitmen Pemprov DIY yang ingin menjadikan Yogyakarta sebagai pusat pendidikan, kebudayaan dan tujuan wisata terkemuka di Asia.

”Yogyakarta sebagai pusat pendidikan harus mampu memanfaatkan teknologi informasi melalui jaringan komunikasi, sistem informasi, situs web, dan sumber lain. Hal itu sebagai upaya restrukturisasi model pembelajaran serta peningkatan kualitas pendidikan SD, SMP, SMA serta perguruan tinggi,” terangnya.

Keberadaan perpustakaan digital itu juga untuk mengawali adanya pembangunan sekolah berbasis Teknologi Informasi yang direncanakan nantinya akan ada sekitar 2.500 SD dan SMP di DIY yang dilengkapi komputer yang terkoneksi  internet.

(Dari berbagai sumber/Biduk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud