Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pembangunan

Oleh Mulya Amri

Tanpa kita sadari, saat ini tengah terjadi kesenjangan di bidang informasi.  Artinya kesenjangan antara orang-orang yang berkesempatan dan berkemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, seperti telpon, komputer, dan internet (biasanya yang mengakses orang kota, cukup berada, terdidik, dan laki-laki), dengan mereka yang tidak memiliki kesempatan dan kemampuan tersebut (biasanya, orang desa, miskin, tidak terdidik, dan perempuan). Kesenjangan ini disebut “digital divide.”

Masalah “kesenjangan digital” menjadi penting diangkat karena paling tidak dua hal:
Pertama, ia telah menjadi pendorong bagi sejumlah besar negara maju, lembaga donor, pemerintah, dan swasta untuk mengerahkan uang dan sumber daya lainnya bagi program-program perluasan akses komputer dan internet, terutama bagi masyarakat miskin di pedesaan negara-negara berkembang. Sekumpulan program ataupun inisiatif seperti ini dikenal dengan istilah “Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Pembangunan”, atau “Information and Communication Technology (ICT) for Development.” Kedua, keberadaan berbagai program tersebut ternyata menuai banyak kritik, mulai dari yang sangat mendasar, yaitu mempertanyakan ideologi di balik perluasan TIK itu sendiri, sampai ke yang teknis, yaitu mengajukan langkah-langkah alternatif untuk meningkatkan kesuksesan program-program tersebut.

Mari kita bahas satu per satu. Bagi mereka yang sudah biasa menggunakan komputer dan internet (artinya kemungkinan besar Anda orang kota, cukup berada, terdidik, dan laki-laki), manfaat TIK jelas: TIK membuat Anda lebih produktif, memungkinkan Anda untuk memperluas jaringan kerja atau pertemanan, dan membuat Anda sendiri lebih berwawasan. “Ayat” yang paling sering dikutip oleh pendukung “TIK untuk Pembangunan” adalah kata-kata Francis Bacon, seorang ilmuwan Eropa abad ke-16, yaitu “information is power,” atau “informasi  adalah kekuatan.” Ayat ini menemukan kembali gaungnya mulai tahun 1990-an, ketika komputer dan internet berkembang sedemikian pesatnya. Cerita yang umumnya disajikan untuk  menunjukkan ampuhnya TIK untuk membantu masyarakat miskin adalah tentang bagaimana petani  bisa mengecek harga produk di pasar melalui internet dan kemudian melakukan negosiasi  dengan tengkulak. Atau,  bagaimana seorang dokter di kota bisa memeriksa pasiennya yang  berada di sebuah desa terpencil melalui kamera internet. Biasanya cerita-cerita seperti  ini diambil dari pengalaman di India, yang pemerintahnya memang sangat serius  mengembangkan internet masuk desa.

Selain itu, “TIK untuk Pembangunan” juga dipicu oleh teori-teori baru tentang bagaimana masyarakat (khususnya dunia usaha) melakukan urusan-urusannya saat ini. Terbersitlah  kalimat bahwa saat ini kita hidup dalam “era informasi,” di mana sebagian besar keuntungan  ekonomi diraih dari pengolahan informasi, bukan lagi dari produksi barang kebutuhan pokok.  Singkat kata, cerita-cerita di atas menyimpulkan bahwa (teknologi) informasi baik untuk umat manusia, dan tanpanya kita akan (tetap) merana, paling tidak kalah bersaing. Alhasil, komputer dan internet pun diboyong ke desa-desa, petani diberi pelatihan, dan sebagian penduduk yang lain dipercaya mengelola fasilitas tersebut sebagai warnet, pusat pelatihan, atau apapun namanya.

Walaupun banyak yang mendukung, inisiatif seperti ini tidak lepas dari kritik. Bagi sebagian orang, perluasan TIK adalah perluasan infrastruktur kapitalisme yang akan menyebabkan masyarakat miskin semakin terjerat dalam sistem sosial dan ekonomi global yang selama ini sudah membuatnya menderita. Misalnya, sebagaimana pada zaman kolonial teknologi perkapalan digunakan untuk mengangkut barang berharga (gula, kopi, mineral) dari tanah jajahan ke negara penjajah, kini TIK memungkinkan informasi (barang berharga di zaman sekarang) diangkut untuk kepentingan serupa.

Dalam kritik lainnya, beberapa pihak juga menandaskan bahwa TIK membawa-serta bagi pemakainya sebuah cara pandang khas Barat yang rasionalis dan modernis, dan ini dilakukan terutama melalui media bahasa yang dominan digunakan, yaitu Bahasa Inggris. Sebagian, (misalnya Inayatullah 2002) juga mempertanyakan suara siapa yang tampil di Internet? Cara belajar (cara mengetahui) seperti apa yang didahulukan di internet? Apakah cara pandang perempuan cukup terwakili? Sebagian lagi (misalnya Castells 1998) mengajak kita kritis melihat sebaran geografis lembaga-lembaga yang memproduksi muatan internet, karena kebanyakan berkumpul di beberapa wilayah metropolitan dunia saja. Lalu di mana kepentingan suara dari desa? Selama ini, cara-cara yang yang digunakan untuk memperluas jangkauan TIK ke masyarakat telah mengabaikan cara pandang dan kebudayaan non-kota, sehingga ‘sangat sulit bagi orang-orang tanpa pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan yang tepat untuk menggunakan TIK bagi kepentingannya sendiri dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya’ (Castells 2001).

Dengan menyerukan bahwa TIK tidaklah bebas nilai, kalangan kritis mengajak kaum pendukung  “TIK untuk Pembangunan” berhati-hati dalam melaksanakan inisiatifnya. Salah satu hal yang  kerap diserukan adalah pentingnya mengakomodasi faktor-faktor kelembagaan (misalnya nilai, norma, peraturan, dan organisasi sosial masyarakat). Sayangnya faktor ini sering diabaikan, terutama karena ia tidak nampak dan abstrak  dan “tidak nyambung” dengan ideologi  futuristik dan modernis yang cenderung menganggap masa depan dapat direkayasa, dan  kemiskinan pada intinya adalah masalah teknis. Pendukung ideologi ini tidak bisa melihat  bahwa masalah kemiskinan justru lebih terkait dengan ‘runtuhnya semangat hidup, ketidakberdayaan dan rasa takut, dan tiadanya keberpihakan politik dan ekonomi’ (Inayatullah 2002).

Informasi memang merupakan komoditas penting di masa sekarang. Mencerna informasi yang benar adalah dasar yang kuat bagi siapapun untuk membentuk pengetahuan, mengambil sikap, lalu melakukan suatu tindakan untuk memperbaiki hidupnya. Tapi, sekali lagi, (teknologi) informasi hanyalah satu sisi dari banyak dimensi pembangunan. Semoga ajakan untuk menempatkan kepentingan rakyat di pusat perhatian kita dapat menjadi panduan bagi Anda dalam menyimak cerita tentang inisiatif-inisiatif “TIK untuk Pembangunan” yang disajikan dalam Kombinasi edisi ini. Selamat menikmati!

Daftar Bacaan:
Castells, Manuel. 1996. The Rise of the Network Society.
Castells, Manuel. 1998. End of Millenium.
Castells, Manuel. 2001. The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business, and Society.
Inayatullah, Sohail and Susan Leggett. 2002. Transforming Communication: Technology, Sustainability and Future Generation. Gandelsonas, Catalina, ed. 2002. Communicating for Development: Experience in the Urban Environment.

Lihat juga beberapa situs web yang terkait, misalnya:
http://www.developmentgateway.org
http://www.apc.org
http://www.eldis.org/ict/
http://www.i4donline.net/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud