Telecenter Muneng, Madiun; Fasilitasi Budidaya Jangkrik Hingga Mengenal Desa Sendiri

Oleh Biduk Rokhmani

Letaknya memang tidak cukup strategis, malahan justru relatif jauh dari pusat Kota Madiun, sekitar 20 kilometer dari tengah keramaian Kota Brem itu. Namun begitu, meski terletak di area persawahan, suasana lain akan terasa begitu kita masuk ke Desa Muneng, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun.Menginjakkan kaki ke desa yang cenderung sepi itu, ada pemandangan yang cukup mencolok selain sawah yang luas terhampar yang memang menjadi pemandangan eksklusif bagi mata. Yakni adanya spanduk besar yang sengaja dipasang di gerbang desa. Bunyinya “Telecenter Muneng Balai Informasi Berbasis Internet : Tempat kanggo wong ndeso seng pengen golek informasi. Masalah informasi……ojo sampek kalah karo wong kutho, mampir wae….!!! Ga’ usah isin-isin….!!!” (tempat bagi orang desa yang ingin mencari informasi, soal informasi jangan sampai kalah dengan orang kota, silahkan masuk, tidak perlu malu).

Sedikit berbau provokatif memang. Namun, promosi gratis guna mengabarkan keberadaan telecenter itu cukup berhasil mengundang warga untuk berkunjung ke pusat informasi yang memang masih terasa asing bagi budaya masyarakat desa, yang bahkan sama sekali belum pernah bersentuhan dengan komputer.

Telecenter itu memang belum terlalu lama didirikan, baru pada bulan Mei yang lalu pusat informasi itu resmi beroperasi setelah dirintis sejak Februari. Kehadirannya di desa yang cukup terpencil itu terasa sangat asing bagi masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani sawah.

Bahkan masyarakat sekitar masih sering bertanya-tanya, kenapa telecenter itu tidak didirikan di pusat kota saja yang masyarakatnya cenderung lebih familiar dengan komputer dan internet? Kenapa Muneng yang terpilih, sedangkan desa kecil itu bahkan jaraknya saja jika ditempuh dari Jalan Raya Madiun-Caruban lebih dari 10 kilometer.

Ditilik dari banyak hal (lingkungan sekitar, mata pencaharian utama penduduk, dan lain sebagainya) sebenarnya Muneng tidak jauh berbeda dengan desa-desa lain di wilayah Madiun dan Indonesia pada umumnya. Yang menyebabkan Muneng menjadi istimewa karena di sana terdapat Koperasi Madu Rasa yang dibentuk sejak tahun 2000 yang didirikan oleh 72 kelompok tani kecil yang tergabung dalam satu kelompok besar yang juga bernama sama dengan koperasinya, Madu Rasa. Kelompok tani ini telah berhasil mengantongi berbagai macam penghargaan, termasuk menjadi juara nasional agrikultur pada tahun 2002.

Bahkan karena prestasinya itu kelompok tani Madu Rasa telah mendapat kucuran bantuan berupa dua buah mesin penggilingan padi, dua buah mesin pipil jagung, sebuah mesin diesel dan hand tractor. “Mungkin karena sudah ada koperasi yang dianggap berhasil itulah, pihak Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan UNDP (United Nations Development Programme) yang bekerja sama dengan BPDE (Badan Pengelolaan Data Elektronik) Pemerintah Provinsi Jawa Timur tertarik untuk mendirikan telecenter di Muneng. Agar masyarakat petani di sini dan sekitarnya tertarik untuk mengembangkan usaha pertanian mereka,” ujar Cahyadi Wahyono yang dipercaya sebagai  info mobilizer-consultant di telecenter tersebut.

Telecenter yang buka mulai pukul 09.00 hingga 21.00 itu, saat ini telah mempunyai lima buah komputer yang merupakan bantuan Bappenas. Kehadirannya bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar -terutama petani- dengan memaksimalkan pemanfaatan fasilitas internet yang telah disediakan. “Paling tidak dengan adanya fasilitas internet ini masyarakat bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan cepat. Apalagi internet itu kan bisa menjadi jembatan yang bisa menghubungkan dunia luar dengan sangat efektif,” harap Yayak, panggilan akrab Cahyadi.

Selain pembelajaran internet secara gratis dan berkala kepada para kelompok tani, salah satu kegiatan intensif yang diprakarsai telecenter Muneng adalah budidaya jangkrik. Bahkan, Indro Marwoko, salah seorang peternak jangkrik yang terlibat dalam kegiatan ini dirinya telah mengantongi banyak keuntungan dengan adanya telecenter tersebut. “Saya berusaha mencari informasi tentang budidaya jangkrik lewat internet sebab beberapa kali saya mencoba menerapkan yang saya pelajari dari buku selalu gagal. Tapi ternyata setelah saya aktif ke telecenter dan mulai sering mengakses internet untuk mencari informasi dan tanya-tanya lewat chatting dengan banyak orang, alhamdulilah sekarang pendapatan saya meningkat,” terangnya.

Indro mengaku saat ini untuk budidaya jangkriknya telah memiliki lima boks dengan ukuran masing-masing 122x244x16 cm. Dalam satu boks bisa diisi dengan 3 ons telur jangkrik yang ketika masa panen (25 hari setelah pembibitan) bisa menghasilkan 20 kilogram jangkrik dewasa. Setiap kilonya harga jangkrik di tingkat pengepul bisa mencapai Rp 15 ribu.

Selain budidaya jangkrik, kehadiran telecenter di Desa Muneng mendorong warganya untuk melaksanakan program MDS (Mengenal Desa Sendiri). Yakni dengan melakukan semacam survey untuk mengenali dan mendata potensi yang ada di desa mereka. Potensi desa tersebut setelah dipetakan nantinya bisa dimanfaatkan sebagai database. Bahkan dengan adanya jaringan internet, potensi desa -yang memiliki tiga dusun yang terbagi dalam 16 RT- dan warganya dapat lebih tergali dan berkembang.

Sunarji sebagai Ketua Kelompok Tani Madu Rasa juga mengakui meskipun Muneng sudah sering memenangi berbagai macam lomba bidang pertanian, sayangnya masih banyak potensi warga Muneng yang belum tergali. “Rata-rata masyarakat Muneng itu ya hanya tahu soal bertani saja. Mereka belum sampai pada taraf mengembangkan potensi pertanian yang ada menjadi lahan agrobisnis. Semoga dengan adanya telecenter bisa mendorong mereka ke arah sana,” kata Narji penuh harap.

MDS diselenggarakan oleh aparat Pemerintah Desa Muneng lewat pendekatan partisipatif warga masyarakat yang bekerja sama dengan pengelola telecenter. Salah satu upaya yang dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan masyarakat melalui penerapan akses informasi berbasis internet. Sedangkan partisipasi warga tidak terbatas pada kelompok petani semata melainkan melibatkan seluruh kelompok warga yang sebelumnya memang telah terbentuk. Misalnya kelompok PKK, karang taruna, sinoman, peternak, arisan, pedagang, dan pengusaha. Juga tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan warga secara individu dari tokoh masyarakat, agama, pemuda, dan aparat pemerintah desa  sendiri.

****

Meski pada dasarnya, kehadiran telecenter dirasakan cukup bermanfaat bagi warga Desa Muneng dan sekitarnya, sayangnya hingga saat ini penggunaannya masih tergolong belum optimal. Yayak sendiri mengakui, awalnya warga memang mempunyai daya ketertarikan yang tinggi terhadap telecenter, dan tentu saja hal itu cukup memberi dukungan atas pendirian dan keberlanjutan keberadaan pusat informasi tersebut. “Mungkin ekspektasi mereka jadi terlalu tinggi, bisa jadi mereka pikir segala hal pasti akan dapat diselesaikan oleh internet. Padahal untuk kalangan petani bahasa itu kan jadi kendala utama, sedangkan informasi yang diperoleh dari internet kebanyakan berbahasa Inggris. Ini yang repot, mereka jadi enggan untuk berkunjung lagi ke telecenter,” keluhnya.

Padahal, untuk menarik minat para pengunjung, pihak pengelola telah memberikan tarif khusus, terutama bagi anggota kelompok tani. “Kami memberikan kupon kepada lima kelompok tani di lima desa Muneng dan sekitarnya- yang memungkinkan mereka bisa mengakses internet secara gratis. Kupon itu bisa digunakan secara bergiliran oleh anggota kelompok tani yang rata-rata beranggotakan 30 orang. Kami memang sengaja mengistimewakan mereka karena tujuan utama adanya internet ini kan untuk mereka,” terang Dwi Murdiyanto, Manager Telecenter Muneng.

Sedangkan bagi pengguna yang lain (di luar kelompok tani) pihak pengelola mewajibkan pengunjung membayar Rp 4.000 per jamnya. Namun hingga akhir Desember ini, ada pemberlakuan tarif khusus yakni pengelola memberi diskon hingga 50 persen bagi pelajar dan 25 persen bagi masyarakat umum.  “Meskipun ada gratisan bagi petani, ternyata user terbanyak justru dari kalangan pelajar yang bisa mencapai 70 persen setiap bulannya. Sedangkan petani yang datang ke sini orangnya ya cuma itu-itu saja. Mungkin karena pelajar yang lebih banyak membutuhkan akses internet ya dibandingkan petani,” imbuh Dwi.  Kejadian ini mirip dengan telecenter e-pabelan. Tapi toh telecenter ini tetap berguna untuk peningkatan pendidikan. Bukankah pendidikan juga landasan utama untuk keluar dari kemiskinan? *****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud