Oleh: Budhi Hermanto
KabarIndonesia (Magelang, 6/2/2008) – Saat ini muncul geliat baru dalam dunia media, khususnya media televisi di Indonesia. Sejumlah televisi berbasis komunitas bermunculan sebagai media dari, oleh, dan untuk warga komunitas itu sendiri. Di tengah gemerlapnya siaran televisi swasta yang menyuguhkan berbagai program hiburan, kehadiran televisi komunitas menjadi warna tersendiri yang menarik untuk dicermati.
Grabag TV misalnya, televisi komunitas ini berada di Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Televisi yang memancar dengan daya hanya 50 watt, dan hanya menjangkau radius 7 km ternyata mendapat tempat di mata pemirsa televisi di Kecamatan tersebut. Kendati hanya mengudara 3 jam per hari, Grabag TV tetap menyuguhkan tayangan yang berbeda dengan siaran televisi lain.
Tayangan siaran Grabag TV tidak seperti tayangan siaran televisi swasta di Indonesia. Di Grabag TV tidak ada acara gosip atau info selebriti, sinetron yang menyuguhkan konflik perebutan harta, kekuasaan dan cinta, dan siaran lainnya sebagaimana dinikmati pemerisa televisi swasta sehari-hari.
“Jika kami menyuguhkan tayangan yang serupa, apalagi meniru siaran televisi swasta tentu tidak ada yang menonton. Karena kualitas gambar siaran televisi swasta pasti lebih baik dibanding siaran kami.” papar Hartanto selaku pelopor Grabag TV.
Menurut Hartanto, televisi komunitas hadir sebagai media pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Melalui televisi komunitas, warga bisa menyuarakan aspirasi mereka. Jika selama ini masyarakat hanya menjadi penonton, melalui televisi komunitas mereka bisa berperan sebagai pembawa acara, pemain/aktor, bahkan menjadi sutradara.
“Tidak ada kualifikasi dan persyaratan khusus seperti layaknya yang terjadi di televisi lain. Disini (TV Komunitas. Red), tidak perlu persyaratan camera face, berpenampilan dan bersuara menarik. Ini TV warga, siapapun punya kesempatan untuk tampil di televisi.” lanjut Hartanto menegaskan.
Akibatnya tayangan televisi komunitas terlihat sangat natural, apa adanya. Keterbatasan peralatan tidak menyurutkan para pegiat televisi komunitas di Grabag untuk menyuguhkan tayangan alternatif bagi pemirsanya. Dalam sebuah rekaman tayangan terlihat seorang kameramen merangkap reporter sedang melakukan wawancara dengan seorang petani. Berbekal camera handycam seharga 2 juta dibantu tripod seharga 100 ribu, kameramen yang merangkap reporter sedang melaporkan reportasenya. Sejenak kemudian ia berhenti dan mendekat ke camera dan merubah medium sorotan kamera menjadi long shoot agar petani yang berdiri disampingnya masuk dalam sorotan kamera. Ia kemudian melanjutkan reportasenya dengan melakukan wawancara terhadap petani.
Sungguh menggelikan sekaligus menghibur karena ditayangkan melalui televisi tanpa proses editing, penampilan reporter yang sederhana dan si petani yang sesekali terlihat melirik ke kamera. Namun yang tak kalah penting adalah, isi pembicaraan (content) tentang musim, harga pupuk, hingga komoditas pertanian yang menjadi pilihan.
Itulah televisi komunitas, isi acara program siaran tentang keseharian warga. Jauh dari tayangan glamour yang menggambarkan ruangan berkelas, rumah mewah, mobil terbaru, dan produk-produk konsumtif yang sedang trendy. Televisi komunitas tidak mempunyai studio siaran. Alam dan lingkunganlah yang menjadi studio mereka. Bahkan wajah reporter maupaun pemain tanpa make up, sehingga terlihat berkilau akibat keringat yang membasahi jidat dan wajah mereka.
Sebagai media hiburan, tayangan televisi komunitas menyuguhkan tayangan kesenian tradisional yang pemainnya warga setempat. Sesekali menayangkan video klip lagu-lagu daerah dengan gaya dan acting seperti tahun 80-an, dimana penyanyi dan bintang video klipnya juga warga setempat. Menakjubkan.
Televisi Komunitas ternyata didirikan dengan biaya yang murah dan bersumber dari warga komunitasnya. Pemancar televisi ini mengudara pada gelombang VHF dengan daya pancar 50 watt. Biaya pembuatan pemancar berkisar 10-15 juta termasuk antena. 1 unit komputer editing seharga 4 juta, dan 1 buah kamera handycam untuk produksi. Jika hendak melakukan produksi multi kamera maka diperlukan digital video switcher seharga 8 juta-an. Sehingga dengan biaya 30 juta sudah bisa mengudara. Apabila mampu mengajak partisipasi warga dengan baik, maka biaya akan menjadi lebih murah. Grabag TV menjadi salah satu contoh, dimana kebutuhan kamera handycam berasal dari sumbangan warganya sendiri.
Keberadaan televisi komunitas seperti di Grabag, Magelang ini menjadi sebuah terobosan pemanfaatan media di Indonesia. Jika selama ini, tayangan televisi dianggap tidak mendidik karena menyuguhkan tayangan-tayangan yang tidak bermutu, hanya berorentasi komersial dan menjerumuskan penonton menjadi konsumtif, kehadiran televisi komunitas menjadi alternatif yang perlu mendapat dukungan dan apresiasi.
Dalam sebuah pertemuan para aktivis penyiaran dan pengiat media komunitas di Jogyakarta pada bulan Desember 2007 lalu, menegaskan bahwa keberadaan televisi komunitas adalah pengejawantahan dari demokratisasi penyiaran di Indonesia. Tidak ada monopoli kepemilikan dalam media televisi karena televisi komunitas itu adalah milik warga (diversity of ownership), sekaligus akan mendorong keberagaman isi siaran (diversity of content).
Sumber:
http://atvki.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=75:televisi-komunitas-sebuah-media-alternatif&catid=36:opini&Itemid=62