Oleh Ade Tanesia
Baru-baru ini media massa sering memberitakan soal anak-anak yang kurang gizi di berbagai daerah di Indonesia. Lalu beragam opini membahas penyebabnya. Sebenarnya tanpa perlu berdiskusi terlalu banyak, bahwa salah satu daerah misalnya, memberikan anggaran lebih besar kepada klub sepak bola daripada kesehatan ibu dan anak sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut. Lalu bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Sederhana pula menjawabnya. Oleh karena kepentingan kaum perempuan yang paling mengetahui kebutuhan keluarganya tidak diakomodasi dalam perencanaan kebijakan publik. Lalu siapa yang merancang kebijakan publik? Adakah perempuan di sana? Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan Konferensi AMARC (Asosiasi Radio Komunitas Sedunia) Ke-9 menyatakan pentingnya radio komunitas mewadahi suara perempuan di setiap wilayahnya.
Untuk mewujudkan misi ini, AMARC secara khusus telah membentuk departemen yang khusus meningkatkan partisipasi perempuan (Women International Network) dalam radio komunitas. Dalam deklarasi Amman, Yordania, persoalan ini pun menjadi salah satu butirnya, yaitu terjaminnya akses dan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan di media. Konferensi AMARC Ke-9 juga meletakkan isu perempuan dalam satu sesi khusus selama satu hari penuh. Pada pembukaan sesi ini Mavic Cabrera-Balleza, Presiden Women International Network, AMARC mengungkapkan, bahwa radio komunitas adalah media yang penting bagi gerakan perempuan, baik secara individu maupun kelompok. Menurutnya media ini menawarkan lebih banyak kesempatan keterlibatan perempuan dibandingkan dengan radio komersial atau media milik pemerintah. Pada radio komunitas tidak ada syarat pendidikan tinggi, siapa pun bisa terlibat asalkan memiliki komitmen untuk berkomunikasi, menyebarkan informasi, menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan masalah komunitas. Namun yang menjadi persoalan adalah faktor-faktor yang menghambat keterlibatan perempuan dalam radio komunitas. Di antaranya adalah beratnya tugas domestik perempuan sehingga tidak memungkinkan dirinya untuk mempunyai waktu luang. Di samping itu ada anggapan bahwa wilayah teknis radio bukan wilayah kerja perempuan, sehingga mereka kadang enggan untuk terlibat lebih jauh dalam radio komunitas.
Kalaupun telah ada radio komunitas yang visinya mengangkat kepentingan perempuan, para penggiatnya tetap perlu dibekali cara untuk memetakan persoalan yang dihadapi perempuan di komunitasnya dan jenis-jenis informasi yang dibutuhkan. Sebagai contoh jika di suatu komunitas banyak perempuan yang bekerja membuat tenun ikat, mungkin para penggiat radio komunitas bisa memberikan informasi mengenai teknik pemasaran produk mereka. Atau jika dalam suatu komunitas banyak terjadi kematian ibu saat melahirkan, maka radio komunitas mungkin perlu memberi informasi seputar makanan bergizi di kala hamil. Ini semua hanya sekadar contoh, tetapi yang penting adalah memahami persoalan dan kebutuhan yang diperlukan oleh perempuan.
Beberapa radio komunitas perempuan yang saya jumpai dalam konferensi sangat memahami kondisi masyarakatnya, sehingga mereka mampu merancang program yang sangat spesifik. Salah satunya adalah Radio Komunitas Sahar dari Afghanistan dan Radio Komunitas Manoore dari Senegal.
“Fajar” di Heart, Afghanistan
Sampai tahun 2003, hampir tidak ada ruang ekspresi bagi perempuan Afghanistan. Humaira Habib, Manajer Stasiun Radio Komunitas Sahar di Herat, bagian barat Afghanistan, menegaskan bahwa di masa Pemerintahan Taliban, jangankan menyatakan pendapatnya di media, bisa dikatakan perempuan tidak boleh melakukan apa pun di ruang publik. “Saat itu perempuan tidak diizinkan untuk keluar rumah. Bahwa sekarang perempuan bisa ke luar masih hal yang sangat baru,” ungkap Humaira. Setelah Pemerintah Taliban hengkang dari kursi kekuasaan, maka kini perempuan bisa bergerak lebih leluasa dalam kehidupan sosialnya. Radio Sahar —yang berarti fajar— merupakan media ekspresi bagi perempuan. Stasiun radio ini mempunyai delapan staf, enam di antaranya perempuan dan dua pria. Bersiaran setiap hari selama 10 jam di frekuensi 88,7 FM dan dapat menjangkau sekitar 300.000 pendengar. Menurut Humaira meskipun sudah terjadi perubahan dalam kehidupan perempuan, namun masih sangat sedikit yang bisa terlibat dalam kegiatan di ruang publik seperti radio. Humaira merupakan perkecualian, ia belum menikah dan ayahnya seorang berpendidikan tinggi. “Saya tidak punya masalah dengan keluarga, walaupun saya dituntut untuk bekerja keras,” tandasnya. Sesuai dengan fokusnya terhadap perempuan, Radio Sahar mempunyai program khusus untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh perempuan di daerahnya. Misalnya dalam masalah pernikahan, perempuan di daerahnya harus mengikuti pilihan orang tua. Radio Sahar lalu mendatangkan narasumber khusus yang sekiranya bisa memecahkan persoalan mereka, sekaligus memberikan kesadaran pada orang tua agar tidak memaksakan kehendaknya terhadap anak perempuan. “Selain program perempuan,kita tetap menyiarkan program hiburan, olah raga, kebudayaan, pendidikan. Pendengar kita tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki,” ungkap Humaira. Kini, di Afghanistan juga muncul fenomena membakar diri yang tidak hanya dilakukan oleh perempuan, tetapi juga pria. Menurut Humaira, hal ini terjadi karena depresi akibat perang selama 25 tahun. Banyak orang yang kehilangan anggota keluarga, didera kemiskinan, juga di antaranya menjadi cacat. Persoalan ini memunculkan problem psikologis yang cukup serius. Masalah lain yang dihadapi oleh perempuan adalah menentukan format kebebasan yang mereka inginkan. Setelah lepas dari Taliban, kekangan terhadap perempuan memang telah berkurang. Namun mereka tidak ingin bebas seperti wanita Barat. Yang diinginkan adalah kebebasan yang tetap masih dalam rambu-rambu aturan agama Islam.
Memotong jalur penularan HIV
Radio Komunitas Manoore di Senegal berdiri pada tahun 2002 dengan dukungan dana dari Oxfam, Open Society, dan Sincronity Foundation. Radio ini dikelola oleh 20 staff, pria dan wanita serta 12 relawan. Oumy Catome, salah satu pengurus Radio Komunitas Manoore mengungkapkan bahwa persoalan terbesar di Senegal adalam virus HIV yang menjangkiti anak-anak dan perempuan. Menurutnya hal ini disebabkan adanya tradisi poligami dalam kebudayaan di Senegal. “Bayangkan jika satu orang laki-laki mengidap HIV, maka ada berapa perempuan yang akan langsung tertular,” ungkapnya prihatin. Merespon persoalan yang dihadapi masyarakatnya, Radio Komunitas Manoore lalu membuat program kampanye seputar HIV. “Kami mengajak para perempuan di daerah kami agar meminta suaminya yang baru pulang dari luar daerah untuk melakukan test HIV,” ungkap Oumy Catome. Selain program pencegahan penyebaran virus HIV, Radio Manoore juga mengudarakan program pendidikan karena 65% dari penduduk buta huruf. Radio ini juga disiarkan dalam lima bahasa lokal, untuk menjamin bahwa program mereka memang melayani keberagaman etnik di wilayahnya. Dengan jangkauan 70 km, maka Radio Komunitas Manoore menjadi sumber informasi penting bagi komunitasnya.
Lalu bagaimana dengan peran perempuan dalam radio komunitas di Indonesia? Sebagai ilustrasi saja, enam radio komunitas yang berada di wilayah Kota Yogyakarta memperlihatkan masih minimnya jumlah perempuan yang aktif dalam pengelolaan radio. Rata-rata dari 5-10 pengelola rakom, hanya ada satu atau dua perempuan yang terlibat. Minimnya perempuan yang terlibat dalam pengelolaan radio juga berpengaruh dalam program siaran sebuah radio. Dari enam radio yang dihubungi Kombinasi belum ada satu pun radio yang mengangkat isu perempuan. Menurut Suman Basnet dari AMARC, radio komunitas tidak bisa menunggu lama untuk memastikan adanya peran perempuan dalam pengelolaan. Setiap anggota AMARC diharapkan bersama-sama menerapkan syarat mutlak di setiap radionya, harus ada perempuan yang menduduki posisi sebagai pengambil keputusan. Namun harapan tidak semudah prakteknya!
I read a lot of interesting posts here. Probably you spend a lot of
time writing, i know how to save you a lot of time, there is an online
tool that creates readable, google friendly articles
in minutes, just type in google – laranitas free content source