Tiga Radio Komunitas di Ambon Mengusung Perdamaian
Oleh IDBM. Adiyoga
Pada tanggal 19 Januari 1999, Kota Ambon yang begitu cantik dikelilingi oleh lautnya menjadi kota penuh darah. Tak satupun warga yang mengira bahwa pertikaian yang sepele itu telah meyeret masyarakatnya ke dalam perseteruan bertahun-tahun. Korban jiwa kehilangan rumah dan harta benda tak terelakkan. Tetapi yang tak kalah parahnya adalah luka psikologis teramat dalam yang dirasakan masyarakat akar rumput di antara dua komunitas yang berseteru. Sekalipun dalam dua tahun terakhir ini konflik fisik telah mereda, tetapi rasa saling percaya antara komunitas Nasrani dan Muslim sudah telanjur pupus.Sejak pecahnya konflik, Kota Ambon dapat dikatakan terbagi atas 2 wilayah sehingga mirip dengan situasi 2 negara yang saling bertetangga tetapi bermusuhan. Masing-masing komunitas mendirikan pusat-pusat aktivitas ekonominya masing-masing (seperti pasar, pertokoan, dan lain-lain). Begitu pula di bidang pelayanan publik seperti sekolah sampai kantor pemerintah. Pemisahan yang tegas antara komunitas Nasrani dan Muslim hampir di semua aspek kehidupan menyebabkan komunikasi sosial di antara keduanya terputus. Saat itu, hampir tidak ada warga masyarakat yang berani melakukan kontak sosial lintas komunitas sehingga situasi di kota ini menjadi amat tegang.
Upaya perdamaian sudah pernah ditempuh dengan adanya Perjanjian Damai Malino II. Namun rupanya perjanjian damai itu tidak sampai ke tingkat masyarakat akar rumput. Ini ibarat memadamkan api tanpa memadamkan baranya. Konflik sosial masih saja terpendam sehingga isu-isu yang simpang siur dengan mudah memanaskan situasi. Rekonsialisi di tingkat elit ternyata tidak cukup, perlu rekonsialisi di tingkat masyarakat akar rumput.
Tiga Radio Komunitas di Wilayah Konflik
Menumbuhkan rasa saling percaya merupakan modal utama untuk melanggengkan perdamaian. Oleh karena itu dibutuhkan wadah agar kedua komunitas itu dapat kembali berinteraksi. Pilihan terhadap media Radio Komunitas menjadi sangat strategis untuk mencapai proses interaksi ini. Lembaga Bina Swadaya yang mempunyai program kampanye sosial untuk perdamaian memutuskan wadah Radio Komunitas menjadi pijakan awal bagi proses rekonsialisasi di tingkat akar rumput. Radio juga ternyata diminati oleh kaum muda sebagai kelompok yang sangat mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kaum muda yang banyak menganggur dan harus menghadapi tingginya biaya hidup pasca konflik perlu disalurkan pada aktivitas yang lebih positif. Dan berdasarkan hasil penjajagan, ternyata respon positif justru muncul dari kaum muda. Pilihan terhadap radio juga disebabkan sering terjadinya distorsi informasi yang menyebabkanketegangan, sehingga dibutuhkan media untuk meluruskan informasi yang benar dan menyejukkan. Radio adalah media penyalur informasi secara massal yang sungguh efektif. Namun agar masyarakat juga mempercayai informasi yang disebarkan oleh radio,maka prasyarat utama berdirinya radio komunitas di Ambon adalah harus dikelola bersama oleh kedua komunitas yang pernah berseteru. Meskipun sebagian besar dari mereka sangat mendukung ide pendirian radio komunitas yang dikelola bersama namun mereka tetap tidak berani memulainya. Hal yang dilakukan oleh Bina Swadaya adalah mempertemukan para tokoh pemuda dan tokoh masyarakat di kedua komunitas dalam ‘satu meja’.
Sulitnya Duduk dalam Satu Meja
Proses membangun kontak awal di antara mereka ternyata juga tidaklah mudah. Penghalang yang dihadapi bukanlah pada niat mereka untuk kembali menjalin kontak tetapi dalam masalah-masalah teknis seperti memilih tempat pertemuan. Memang tampaknya sepele, tapi bisa menjadi penghalang utama mereka untuk bertemu. Mereka mensyaratkan agar tempat pertemuan dilakukan di tempat yang dirasakan aman oleh kedua belah pihak, dalam artian tempat yang mudah bagi mereka untuk sewaktu-waktu ‘lari’ kembali ke wilayah komunitasnya bila terjadi sesuatu yang mengancam jiwanya.
Penjajagan pendirian radio komunitas di ‘daerah-daerah perbatasan’ lainnya mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut hampir semuanya disebabkan karena kesulitan menyepakati lokasi dari studio radio. Mereka tidak ingin studio radio letaknya terlalu ‘masuk ke dalam’ wilayah pemukiman suatu komunitas. Mereka menginginkan studio radio lokasinya tepat di perbatasan antara pemukiman Nasrani dan Muslim. Padahal di daerah-daerah perbatasan ini justru banyak rumah yang rusak dan ditinggal pergi oleh pemiliknya sehingga sulit untuk mencari tahu pemiliknya.
Setelah melakukan penjajagan di berbagai ‘daerah perbatasan’ yang ada di Kota Ambon, akhirnya yang berhasil hingga ke tahap pembentukan radio komunitas hanya di 3 ‘daerah perbatasan, yaitu Radio Peace FM (107,7 FM) yang terletak di ‘daerah perbatasan’ antara Kelurahan Amantelu (Nasrani) dan Desa Batumerah (Muslim), Radio Maluku Bersatu(107,8 FM) di daerah perbatasan antara pemukiman Nasrani dan Muslim di Kelurahan Air Salobar dan Radio Amakora (107,9 FM) di daerah perbatasan antara pemukiman Nasrani dan Muslim di Kelurahan Poka Rumah Tiga.
Setelah melalui serangkai pertemuan, baik formal maupun informal, hubungan kedua komunitas dalam radio itu semakin lancar. Bahkan tumbuh rasa persahabatan di antara mereka. Hal ini ercermin dari berbagai istilah yang muncul secara spontan seperti: “Katong Boleh Beda Tapi Tetap Basudara” (Kita Boleh Beda Tapi Tetap Bersaudara), “Konflik No, Damai Yes, Kerja Oke”, “Peace Mania”, dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut akhirnya menjadi jargon dan yel-yel mereka. Bahkan sejalan dengan berkembang cepatnya fans dari ketiga radio komunitas tersebut, jargon dan yel-yel tersebut dikenal luas dikalangan kaum muda di Kota Ambon.
Membangun Infrastruktur
Setelah lokasi mencapai kesepakatan,maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana memperoleh peralatan radio, membangun studio. Memahami kondisi masyarakat yang sudah sulit akibat konflik, akhirnya Lembaga Bina Swadaya memberi dukungan berupa peralatan berupa: transmitter, antenna, audio mixer, audio compressor, audio processor, seperangkat komputer desktop, fixed phone flexi. Sedangkan masyarakat menyediakan bangunan untuk studio radio. Perkecualian di Radio Peace FM yang memakai sebuah ruangan di kantor Bina Swadaya yang kebetulan terletak di perbatasan antara Kelurahan Amantelu (Nasrani) dan Desa Batumerah (Muslim). Peralatan dan pelatihan dibiayai oleh Bina Swadaya, selanjutnya radio komunitas harus mengelola dirinya sendiri. Tidak heran jika setiap radio komunitas berusaha untuk mengembangkan sayap bisnis, misalnya Radio Peace FM mempunyai usaha becak, Radio Amakora mengelola usaha penyeberangan menggunakan perahu dan berjualan voucher pulsa handphone. Sementara Radio Maluku Bersatu berencana mengembangkan ‘café gaul’ di samping studio mereka. Selain mengembangkan bisnis, ketiga radio ini juga memungut iuran di antara mereka, menjual request lagu dan pernik-pernik cindera mata kepada para fansnya.
Selain menata infrstruktur fisik, maka yang tidak boleh diabaikan adalah menata kelembagaan. Tentang pengertian komunitas saja, perlu dipilih konsep yang sesuai dengan kondisi mereka sendiri. Pada awalnya pemahaman mengenai komunitas didasarkan pada kewilayahan. Namun dalam perjalanannya mereka merumuskan komunitas sebagai kelompok yang memiliki visi bersama untuk membangun rekonsialisasi dan perdamaian di Ambon, tanpa melihat tempat tinggalnya. Perubahan ini disebabkan banyaknya anak muda di luar wilayah radio komunitas akhirnya bergabung dan aktif di radio komunitas. Mereka umumnya berangkat dari penggemar yang tertarik untuk turut bergabung sebagai penyiar. Hal yang juga menarik, dari awal sudah disepakati bahwa ketiga radio komunitas ini adalah radio milik publik yang akan memberikan pelayanan bagi kepentingan publik.
Setelah menata kelembagaannya, maka yang paling penting adalah arah program dari ketiga radio tersebut. Selain program hiburan, fokus utama program siaran dari ketiga radio komunitas ini adalah menyuarakan rekonsialisasi, perdamaian, nilai-nilai pluralisme dan kemanusiaan. Namun rincian mata acaranya tentu disesuaikan dengan target pendengar masing-masing rakom. Radio Peace FM misalnya, fokus pada segmen kaum muda, sehingga 65% jam siarannya diisi dengan musik populer, request lagu. Sisanya untuk mereka yang berada di usia kerja dan ada pula acara-acara keluarga seperti tips kesehatan, masak, dan lain-lain. Berbeda dengan Peace FM, Radio Amakora dan Radio Maluku Bersatu masih proses menemukan jati dirinya. Sekalipun mereka sudah memutuskan target pendengarnya, tetapi program acara belum terarah.
Seruan Damai
Tema Perdamaian yang disampaikan oleh ketiga radio komunitas ini juga mengikuti perkembangan situasi yang terjadi di Ambon. Misalnya menjelang akhir tahun 2004, pesan perdamaian dititik beratkan pada perwujudan situasi kota Ambon yang aman dan damai. Jargon yang digunakan saat itu adalah : «Sudah Saatnya Membangun», «Mari membangun Ambon yang Aman dan Damai». Sementara di awal tahun 2005, ketegangan sosial antara komunitas Muslim dan Kristen mulai mencair sehingga yang ditekankan adalah upaya mengembalikan rasa saling percaya antarmasyarakat akar rumput. Pada pertengahan tahun 2005, ketika rasa saling percaya sudah terbangun dengan semakin banyaknya warga kota Ambon yang melakukan aktivitas sehari-hari di wilayah komunitas lainnya, maka tema kampanye pun berubah. Saat itu aksi-aksi provokatif tetap terjadi yang dapat memicu konflik baru. Berangkat dari kenyataan ini maka tema kampanye menekankan pada jargon-jargon yang bertujuan agar masyarakat menjadi kebal terhadap isu-isu menyesatkan atau aksi-aksi provokatif lainnya.
Lebih dari sekedar membuat slogan-slogan kampanye, Radio Peace FM juga mengadakan liputan seperti Takbir Akbar Idul Fitri. Takbir Akbar ini menarik karena untuk pertama kalinya Takbir ini melalui daerah pemukiman komunitas Kristen serta pengamanannya dilakukan bersama-sama oleh semua semua komponen pemuda Muslim dan Nasrani. Demikian pula pada hari Natal 2005, diliput suasana natal dimana ada pengamanan bersama terhadap arak-arakan spontan warga Kristen di Ambon. Liputan ini juga disiarkan secara relay oleh Radio Komunitas Amakora FM dan Maluku Bersatu. Acara-acara seperti dialog tematik, interaktif yang mengundang narasumber dari kedua komunitas juga kerap dilakukan. Selain itu juga ada acara menarik yang disebut menumbuh-kembangkan persahabatan antarpendengar yang berbeda agama. Acapkali penyiar membuat trik tertentu misalnya merekayasa pengiriman salam kenal seorang pendengar ke pendengar lain yang berbeda agama. Meski awalnya direkayasa, kerapkali saling kirim salam ini berjalan degngan sendirinya. Acara-acara temu ‘fans’ kerap dilakukan di studio radio sehingga menjadi tempat berkumpul bagi anak-anak muda dari kedua komunitas yang pernah berseteru.
Akhir kata, secara perlahan tapi pasti, para aktivis di ketiga radio komunitas ini telah membangun persahabatan dan melakukan kerja sama. Selain itu sebagian besar nyong dan noni (pria dan wanita muda) kota Ambon telah mengenai radio tersebut sebagai radio rekonsiliasi sehingga para orang tua pun mendorong anaknya untuk bergabung sekalipun tak ada bayarannya. Bahkan sejumlah orang tua memberi izin anaknya untuk siaran hingga larut malam karena menurut mereka hal tersebut jauh lebih baik daripada melakukan aktivitas yang negatif. Selain itu ada rasa bangga dari para orang tua saat mendengar suara anaknya yang sedang siaran. Dengan adanya ketiga radio komunitas ini, diharapkan perdamaian di bumi Ambon tetap terpelihara. Katong So Lelah Berkelahi (Kita sudah lelah berkelahi).