Oleh: Ibnu Hajjar Al Asqolani, Apriliana Susanti (CRI)
Berbekal gerakan literasi, ruang-ruang untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi kian terbuka. Bermula dari aksara, warga bisa melangkah menuju kehidupan yang lebih sejahtera.
Bau bacin saluran pembuangan tercium ketika memasuki kawasan Kampung Dadapsari, Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah pada Kamis (10/8) sore lalu. Rumah-rumah petak berjejalan mengapit jalan sempit yang hanya muat dilewati sepeda motor.
Di halaman sebuah rumah sederhana, tampak enam orang pemuda berkumpul. Tawa lepas sesekali terdengar saat mereka bercanda. Sembari bercengkerama, tangan mereka terlihat sibuk bekerja. Ada yang menggenggam kuas cat dan ada yang memegang amplas. Di dekat mereka, ratusan bebek kayu dijajarkan sekenanya. Sore itu, para pemuda yang merupakan penggiat Taman Baca Teratai itu sedang menyelesaikan pesanan 200 ‘ekor’ bebek kayu. “Ini pesanan seorang pengusaha untuk diekspor ke Australia,” jelas Danny Setiawan, pengurus sekaligus penggagas Rumah Baca Teratai yang juga dikenal sebagai Rumah Baca Sangkrah.
Tinggal di tengah kampung yang padat di pusat kota, sejumlah penduduk di kampung itu dekat dengan kehidupan jalanan. Beberapa warganya memiliki catatan kriminal seperti penjambretan, minuman keras, perjudian hingga aksi premanisme. “Di sini itu dulu dikenal Kampung Preman, orang kalau sudah dengar nama Sangkrah langsung meneng (diam),” terang Danny.
Namun, kondisi itu kini tak tampak lagi. Memasuki gang-gang sempit di dalam kampung, anak-anak terlihat riang bermain. Sejumlah warga pun menjawab dengan ramah saat ditanya tentang lokasi Rumah Baca Sangkrah.
Sejak berdiri pada 2014, Rumah Baca Sangkrah telah mengubah wajah buram yang sebelumnya melekat pada Kelurahan Sangkrah. Awalnya, gagasan mendirikan rumah baca yang dicetuskan Danny dirasa janggal bagi warga sekitar. Danny pun mengajak sejumlah pemuda untuk terlibat dalam rencananya. Kemudian, mereka mendatangi rumah-rumah warga untuk menyampaikan rencana itu.
Setelah mendapat izin dari warga sekitar, mereka mulai bekerja. Sebuah bangunan bekas pos ronda berukuran 1,5 m x 2,5 m disulap menjadi tempat meletakkan buku-buku. Danny lantas menghubungi teman-temannya di kota lain untuk menggalang bantuan melalui media sosial.
Bantuan pun mulai berdatangan. Ada yang menyumbang buku maupun rak buku. Warga sekitar pun memberikan sumbangan sukarela untuk kegiatan rumah baca di kampung mereka.
Melalui media sosial, para penggiat rumah baca itu juga mulai menjalankan berbagai kegiatan dengan mengundang para relawan. Berbagai kegiatan pun bisa terlaksana tanpa perlu mengeluarkan biaya. “Siapapun yang punya keahlian apapun kita ajak. Ada yang apoteker, kita ajak memberi penyuluhan cara pemilihan dan penyimpanan obat. Ada teman yang ahli marketing dan manajemen bisnis, kita ajak ke sini untuk kasih pelatihan. Ada yang wartawan, kita minta kasih pelatihan jurnalistik,” ujar Danny.
Para pemuda di kampung tersebut dilatih sesuai minat mereka. Ada yang mendapatkan pelatihan sablon, air-brush, hingga membuat kerajinan dari kayu. Selain itu, mereka juga dibekali dengan pelatihan lainnya seperti penulisan jurnalistik, fotografi, serta marketing. Hingga saat ini, ada sekitar 15 hingga 20 pemuda yang aktif di tempat tersebut.
Gaya hidup yang dekat dengan kriminalitas mulai ditinggalkan. Para pemuda kini bisa mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan. Berbagai keterampilan yang diajarkan pun mulai membuahkan hasil. Para penggiat rumah baca ini mulai menerima berbagai pesanan. “Ini pesanan kaus dari distro di Magelang,” ungkap Danny sembari menunjukkan tumpukan kaos bermotif lurik. Dari sepotong kaus, keuntungan yang didapat bisa mencapai Rp 10.000 hingga Rp 15.000.
Hasil keuntungan dari usaha para penggiat Rumah Baca Sangkrah kemudian dikumpulkan dan dibagi rata. Siapapun yang mendapat pesanan harus mengumpulkan hasilnya untuk digunakan bersama.
Dari hasil keuntungan tersebut, kini rumah Baca Sangkrah telah menempati sebuah rumah yang lebih luas. Berbagai peralatan belajar pun tersedia untuk digunakan bersama. “Jadi kita di sini adil, belajar sama-sama, kerja sama-sama, keuntungannya pun untuk bersama,” jelas Danny.
Apa yang dilakukan para pegiat Rumah Baca Sangkrah merupakan bentuk nyata dari gerakan literasi yang kontekstual. Bermula dari belajar dan membaca, kerja-kerja meningkatkan kualitas hidup pun digalakkan. “Belajar dan membaca itu tidak cuma di buku. Dari kondisi lingkungan di sekeliling dan persoalan di sekitar kita juga dituntut belajar dan membaca,” tandas Danny.
Bilik Literasi Solo
Berbeda dari Rumah Baca Sangkrah, Bilik Literasi Solo memiliki cara lain dalam memaknai dan menghidupi literasi. Bermula dari kegiatan diskusi semasa menjadi mahasiswa, Bandung Mawardi bersama rekan-rekannya menginisiasi sebuah wadah untuk para peminat literasi. Berbagai kegiatan mulai dari “Pengajian Buku” hingga kelas menulis intensif dihelat di sini.
Bilik Literasi terletak di Dusun Tanon Lor, RT 3 RW 1 Desa Gedongan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Sebuah rumah pendopo sederhana di kawasan pedesaan yang masih asri menjadi markas para penggiatnya. Tumpukan buku terlihat memenuhi rak-rak dan lantai di hampir seluruh bagian rumah. Kala itu memang sedang tidak ada agenda khusus di Bilik Literasi.
Rumah itu adalah milik pribadi Bandung Mawardi. Bersama Ahmad Fauzi dan Setyaningsih, Bandung Mawardi mengasuh puluhan ribu buku, teks, dan naskah cetak dari berbagai tema. Sekali seminggu, mereka mengadakan pengajian buku, sebuah acara diskusi buku dan penulis.
Fauzi dan Setyaningsih bercerita tentang pengalaman mereka dalam menggalakkan minat baca dan menulis. Peserta yang mengikuti program latihan menulis terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga pelajar SD bahkan para guru. “Biasanya kita mulai dengan belajar sama-sama, diskusi tentang ide untuk menulis,” jelas Fauzi kepada tim Kombinasi, (11/8).
Kegiatan mencari ide ini dimulai dengan hal-hal yang sederhana. Misalnya, dengan melihat benda di sekitar, lalu menjadikannya fokus tulisan. “Misalnya teh, kira-kira kalau kita tulis, bagian apa yang menarik,” jelas Fauzi. Berbagai ide tulisan pun didiskusikan bersama-sama dan selanjutnya dieksekusi. Selain itu, mereka juga menargetkan publikasi tulisan untuk memacu minat para penulis baru.
Dengan mekanisme penerbitan buku mandiri, para pembelajar di Bilik Literasi Solo pun dipacu untuk menghasilkan karya tulis. Setyaningsih mengisahkan pengalamannya ketika mengajar kelas menulis di Sekolah Dasar di Kabupaten Boyolali. Murid kelas 4 dan 5 SD diajak menulis berbagai hal terkait keseharian mereka. Proses pembelajaran berlangsung dalam beberapa kali pertemuan. “Di akhir pertemuan, setelah dicontohkan proses penyuntingan, para siswa mulai bisa menangkap sendiri. Mereka melakukan perbaikan sendiri pada tulisan-tulisan mereka,” jelasnya. Berangkat dari kegiatan sederhana di rumah tersebut, banyak penulis muda yang kemudian menekuni dunia literasi.
TBM Kuncup Mekar
Sementara itu, di Taman Baca Masyarakat (TBM) Kuncup Mekar, di Desa Kepek, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, gerakan literasi memberi dampak positif bagi warga dan para penggiatnya. Salah satu kegiatan yang pernah mereka lakukan adalah pertanian literasi atau pelatihan mengenalkan literasi melalui pertanian. Mereka mengajak warga, utamanya para pemuda, untuk menanam berbagai jenis sayuran dengan metode yang diperoleh dari hasil membaca buku. Terinspirasi dari pelatihan tersebut, beberapa warga pun memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk ditanami sayuran yang hasilnya bisa mereka jual atau setidaknya bisa dikonsumsi sendiri.
Bagi para penggiatnya, selain wawasan yang lebih luas, bergabung di TBM Kuncup Mekar juga meningkatkan keterampilan mereka. Sudiyanto misalnya. Sejak bergabung menjadi penggiat literasi pada 2012 lalu, ia mengaku menjadi lebih berani berbicara di depan forum. “Dulu saya adalah pemuda pendiam dan pemalu yang suka dolan (bermain) ke mana-mana tanpa tujuan,” ungkapnya saat ditemui di basecamp TBM Kuncup Mekar pada Sabtu, (12/8).
Bersama para penggiat lainnya, Sudiyanto aktif mewakili TBM Kuncup Mekar dalam lomba-lomba baik di tingkat regional maupun nasional. Berkat aktivitasnya itu, Sudi diajukan menjadi ajang Pemuda Pelopor mewakili Kabupaten Gunungkidul pada 2017. Itu adalah suatu pencapaian yang tidak pernah ia bayangkan sebelum bergabung dengan TBM.
Apa yang dilakukan para penggiat literasi tersebut adalah secuil kisah dari gerakan literasi yang kontekstual. Keduanya tak memisahkan buku dari kehidupan nyata. Dengan begitu, kerja-kerja membaca dan menulis terasa nyata dalam perbaikan kualitas hidup warga.