Kehadiran pedagang kecil di trotoar atau sisi-sisi jalan kota besar sering dikeluhkan oleh banyak pihak. Pemilik toko terganggu karena tokonya terhalangi, pengguna jalan jadi jengkel karena jalanan menyempit, pemerintah daerah di jaman Orde Barupun bsia jadi gagal meraih Adipura. Tapi benarkah PKL harus digusur?
Gara-gara satu orang pedagang kaki lima alias PKL bereklahi engan tukang becak, ratusan PKL disepanjang jalan Cibadak Bandung diobrak-abrik warga. Kisah jalan sepanjang 500 meter yang sempat terkenal denganjulukan “Cimol” alias Cibadak Mall ini dalam waktu singkat berakhir sudah.
Khawatir mengalami nasib serupa, beberapa PKL di Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista), datang ke Praksis meminta bantuan dan dampingan untuk mengatasi masalah kesenjangan kcpentingan antara PKL dengan pihak lain di kawasan jalan Otista. Seorang PKL mengaku khawatir kerusuhan di Jalan Cibadak merembet ke kawasan lain. “Kita yang tidak punya masalah bisa jadi sasaran,” kata Abu yang diakui oleh PKL lain sebagai koordinator PKL di Jalan Otista sisi timur bagian utara yang membentang sepanjang 350 meter.
Kecemasan PKL bukannya tanpa alasan. Hasil penjajakan yang dila-kukan Praksis terhadap pemilik toko, warga dan para pengguna jalan rnengindikasikan adanya kejengkelan terhadap perilaku PKL. Banyak pemilik toko terganggu karena toko-nya terhalang oleh dagangan yang digantung tinggi hingga tidak terlihat dari jalan. Warga di bclakang per-tokoan juga merasa tidak nyaman daerahnya menjadi lebih berantakan.
Penataan Mandiri
Pemilik toko yang kebanyakan keturunan Cina, selama ini diam saja karena khawatir mengalami tindak kekerasan jika berani menegur. Para PKL pun mengakui merasa tidak enak kalau ditegur karena seolah dianggap hanya sebagai pengganggu. Padahal mereka berdagang dengan modal pas-pasan di pinggir jalan tidaklah lebih dari upaya menyambung hidup.
Tak adanya komunikasi yang baik antara PKL dengan pelaku lain di Kawasan Otista, menurut Praksis bisa memperbesar ma.salah. Salingjengkel tapi diam-diam dalam waktu lama bisa membesar dan tidak akan tercipta saling paham. Di tahap awal, bantuan yang diberikan Praksis kepada PKL Otista adalah membangun komunikasi antara PKL dengan pemilik toko dan warga Kawasan Otista.
Dari pertemuan PKL dengan pemilik toko dan warga Kawasan Otista, diketahui bahwa pemilik toko tidak keberatan asal lapak dagangan PKL tidak menutupi pandangan dan meng-halangi jalan masuk ke toko. Warga penghuni RW 01 Kelurahan Braga pun bisa memahami upaya PKL menyambung hidup, tapi meminta PKL ikut menjaga kebersihan, keamanan, dan keter-tiban lingku-ngannya. Melalui beberapa pertemuan PKL sepa-kat untuk penataan.
Sebagai langkah awal, sete-lah berdis-kusi dengan melibatkan Praksis, PKL Otista herupaya menata lapak-lapak PKL yang menghalangi toko dan yang mempersempit trotoar. Untuk desain lapak, pada akhir Mei 2001 Praksis bersama IMA-G ITB, Nata Bandung dan Pemkot Bandung coba menghimpun pandangan masya-rakat kota Bandung melalui lomba desain lapak bagi PKL.
Upaya kongkret paling baru yang dilakukan PKL Oti.sta adalah menggelarbakti sosial membersihkan lokasi tempat jualan PKL. Mereka ingin terlibat langsung dalam pemeliharaan kebersihan, sekaligus memberi bukti kongkret upaya penataan mandiri, dan mulai memposisikan diri sebagai pelaku pembangunan kawasan —setidaknya menata kawasan dagang PKL.
Kawasan Malioboro
Di kawasan Malioboro keberadaan PKL tidak memunculkan banyak masalah. Malah keberadaanya menjadi daya tarik tcrsendiri bagi wisatawan, karena bisa dengan mudah mendapatkan suvenir produk kerajinan khas Jogja maupun menikmati makanan lesehan khas Yogyakarta.
Meski begitu, ribuan PKL di Kawasan Malioboro di awal tahun 1999 sempat cemas terhadap ide pembangunan kompleks “Malioboro Mini”. Ide yang konon dari Sultan Hamengku Buwono ke XI ini, di-maksudkan untuk memberikan tempat dan sarana bcrdagang yang lebih layak bagi PKL di Malioboro. Ceritanya, mall akan terdiri dari beberapa lantai, ada pusat informasinya, ada pusat PKL-nya, dan lain-lain. Akan dibuatjuga areal parkir yang besar.
Para PKL khawatir, tempat yang pasti terbatas dam harus mengeluarkan uang sewa. Sudan begitu dagangan belum tentu laku. Kekhawatiran lainnya, jangan-jangan Jalan Malioboro malah ditempati orang lain. “Siapa yang bisa menjamin tidak akan ditempati orang lain,” kata Adi Gempio, seorang pedagang kacamata di depan Dinas Pariwisata Yogyakarta. Dengan bantuan Yayasan Cita Mandiri (YCM) PKL Malioboro mengadakan polling dan jajak pendapat ke pemilik toko dan masyarakat Kawasan Malioboro tentang keberadaan PKL.
Akhirnya, pada hari Jum’at 21 Januari 2000, dideklarasikanlah Paguyuban Kawasan Malioboro. Dari PKL setidaknya ada Pemaini yang beranggotakan 338 pedagang, Tridarma 1507 dan PPKLY 3500. Anggota lain ada Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM), pengelola hotel, pengelola Malioboro Mall, Pengelola, dan warga. Selain anggota pelaku dalam PKM ada yang berstatus sebagai pendarpng antara lain: Yayasan CitaMandiri (YCM), HMI Yogyakarta, Yogyakarta Urban Infrastructure Management System (YUIMS), dan LBH Yogyakarta.
Menurut Sujarwo, sekretariat pe-laksana dari unsur pendamping, pem-bentukan PKM didasarkan pada pertimbangan bahwa pengembangan kawasan Malioboro tidak akan ber-hasil tanpamelibatkan pelaku kegiatan ekonomi dan warga setempat. PKM diharapkan bisa menjadi wahana untuk mempertimbangkan segala permasalahan pengembangan kawasan secara aktif.
Hal kongkret yang telah dilakukan PKM adalah melakukan penataanjalur lambat. Sedangkan untuk menata lapak PKL, sedang diupayakan pem-buatan gerobak two in one — untuk mengangkut sekaligus menggelar dagangan. “Diharapkan nantinya, begitu tutup dagangan tidak ditinggal begitu saja di Malioboro hingga buka kembali besoknya,” demikian penjelasan Sujarwo Putra yang dibenarkan oleh Adi Gemplo.*
redaksi