Oleh : Buono
Penggiat Media Komunitas di Pekalongan
Wadah untuk menyuarakan aspirasi bagi warga Pekalongan masih minim. Minat warga untuk menceritakan apa yang terjadi di lingkungan sekitar juga masih rendah. Pun, ketika warga menyampaikan uneg-uneg mereka di koran maupun di website resmi Kabupaten Pekalongan, lebih banyak yang tidak ditanggapi daripada yang diselesaikan. Berawal dari kondisi itulah, ide untuk membuat media komunitas di Pekalongan ini muncul.
Lahirnya media komunitas Warta Desa tidak lepas dari upaya para penggiat komunitas untuk menyajikan beragam informasi lokal dan aspirasi masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Ide membuat media komunitas muncul setelah saya mengikuti workshop bertajuk “Membuat Konten bagi Media Online Lokal” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, akhir Mei 2016 lalu. Bersama para penggiat media komunitas yang banyak di antaranya berkecimpung di suarakomunitas.net wilayah Pekalongan, kami pun bersepakat untuk membangun Warta Desa.
Foto : Portal Warta Desa ini menyajikan beragam informasi lokal di Pekalongan dan sekitarnya
Selang enam bulan kemudian, tepatnya 10 Desember 2016, kami merilis berita untuk pertama kalinya di Warta Desa. Konten yang kami sajikan meliputi informasi seputar dunia pendidikan sosial budaya, ekonomi, perempuan, olahraga, tempat wisata, teknologi, dan opini warga. Kami juga menulis informasi tentang hukum dan kriminal yang mana rubrik tersebut memiliki pembaca terbanyak setiap harinya.
Selain beragam konten berita lokal, Warta Desa juga merangkum video kiriman warga melalui kanal Warta Desa TV. Video kiriman tersebut isinya beragam, mulai dari pentas seni, lomba warga, objek wisata, sampai hal-hal menarik yang ada di lingkungan warga. Sebelum menautkan video di kanal, kami mengunggahnya di Youtube. Ada sebuah cita yang ingin kami gapai, yakni membangun sebuah TV komunitas di Pekalongan yang bisa bersiaran rutin walau hanya beberapa jam sehari.
Sebagai media komunitas yang baru lahir, pasokan informasi yang rutin setiap hari menjadi tantangan bagi Warta Desa. Saat ini, baru ada tiga pewarta warga yang terjun langsung melakukan liputan di lapangan. Selain itu, kami juga dibantu oleh tujuh kontributor dari beberapa kecamatan di Pekalongan dengan satu koordinator. Saya sendiri meski lebih banyak menjadi editor, sesekali saya juga melakukan liputan di lapangan. Warta Desa dipimpin oleh Didiek Harahap yang menjabat sebagai Pemimpin Umum sekaligus menjadi pencari dana untuk keberlangsungan hidup portal ini. Seperti saya, sesekali Didiek juga melakukan peliputan langsung.
Penggiat media komunitas rata-rata mempunyai pekerjaan pokok masing-masing. Menjadi jurnalis warga dan memberitakannya di Warta Desa merupakan panggilan hati kami. Tak ada uang lelah, apalagi upah. Itulah kenapa, seringkali kami kesulitan waktu untuk meliput di lapangan. Karena keterbatasan tim peliput lapangan itulah, beberapa konten di Warta Desa kami sadur dari beberapa media lokal di Pemalang, Pekalongan dan Batang. Penyaduran tersebut sudah melalui ijin yang resmi, baik dari admin maupun penulisnya langsung. Beberapa berita kriminal kami ambil dari tulisan dari Humas Polres setempat yang memang mengijinkan siapa saja untuk menyadurnya. Hal yang paling penting adalah pencatuman sumber berita itu di setiap informasi yang kami muat. Bagaimanapun, sebagai media komunitas, kami tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip jurnalistik, termasuk mencatumkan sumber awal berita.
Foto : Salah satu penggiat Warta Desa meliput langsung di lapangan-FOTO WARTA DESA
Warta Desa bukan satu-satunya media komunitas yang fokus pada konten lokal Pekalongan dan sekitarnya. Pada tahun 2015, sempat terbit koran cetak bernama Media Komunitas. Koran dwi mingguan ini dibentuk oleh Jaringan Radio Komunitas (JRK) Santri, wadah bagi penggiat radio komunitas di Pekalongan. Sayangnya, koran cetak itu hanya sanggup bertahan dua bulan. Alasan uang memang menjadi masalah klasik bagi media komunitas untuk bertahan hidup. Para penggiatnya harus merogoh kocek tidak kurang dari Rp 3 juta untuk biaya cetak dalam sekali terbit. Koran Media Komunitas memang hanya mampu bertahan sesaat, namun begitu, semangat untuk memberikan informasi yang berimbang kepada warga selalu membara.
Sudah berbadan hukum
Dulu, saat awal pendirian, Warta Desa bermodalkan sumbangan donatur dan iuran anggota JRK Santri Pekalongan. Total dana sebesar Rp 2 juta sebagai modal awal kami gunakan untuk sewa hosting dan membeli domain beserta biaya pemeliharaan website selama satu tahun. Selanjutnya, ada donatur yang menyumbang Rp 3 juta untuk membuat badan hukum Warta Desa. Kami sepakat memilih badan hukum media dalam bentuk yayasan. Alasannya, bentuk yayasan sesuai dengan komitmen kami. Selain itu, bentuk yayasan juga memungkinkan Warta Desa menjadi media yang memberikan pencerahan kepada warga, bukan semata-mata mengejar keuntungan korporasi. Bentuk yayasan inilah yang kami sepakati untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Dewan Pers melakukan pembreidelan media komunitas. Warta Desa sekarang berbadan hukum dengan Akta Badan Hukum AHU-0004226.AH.01.12 Tahun 2017, 22 Februari 2017 di bawah Yayasan Gema Desa Nusantara.
Antara panggilan jiwa dan menafkahi keluarga
Mengelola media komunitas bukanlah hal baru bagi kami di JRK Santri. Sebelumnya, para penggiatnya rata-rata sudah aktif di radio komunitasyang pengelolaannya tidak jauh berbeda dengan media online lokal Warta Desa.
Seperti lumrah terjadi di media-media komunitas pada umumnya, kerelawanan juga menjadi permasalahan di Warta Desa selain masalah keuangan. Penggiat media komunitas diuji dengan dua pilihan: mencari kehidupan untuk keluarga atau menghidupi media komunitas disela-sela kerja untuk keluarga.
Tingkat kerelawanan dan taraf kehidupan masing-masing penggiat Warta Desa berbeda. Meski demikian, kami punya komitmen untuk memberikan yang terbaik yang kami mampu untuk Warta Desa. Para penggiat dapat mengaktualisasikan rasa memiliki Warta Desa dengan beragam cara. Ada yang intens memberikan informasi, memasok berita, berbagi di media sosial, bahkan menyumbang dana untuk keberlangsungan media, dan lain-lain.
Kami bersyukur, Warta Desa mendapat tanggapan baik dari pembaca di Pekalongan dan sekitarnya. Selama tiga bulan kehadirannya, Fanspage Facebook Warta Desa sudah disukai oleh 962 orang dan diikuti 985 orang. Jumlah pembaca semakin meningkat terutama rubrik hukum dan kriminal serta sosial budaya. Setiap berita di kedua rubrik rata-rata diakses oleh lebih dari seribu pembaca. Tak hanya tanggapan baik dari pembaca, beberapa klub jurnalistik sekolah-sekolah di Pekalongan juga sudah mulai melirik kiprah Warta Desa. Setidaknya sudah ada tiga sekolah yang mengirimkan tulisan-tulisannya ke Warta Desa.
Menjadikan Warta Desa menjadi rumah bersama bagi para penggiat media komunitas adalah sebuah pekerjaan panjang bagi kami. Namun kami yakin, di sinilah wadah bagi para penggiat media komunitas di Pekalongan dan sekitarnya untuk menyosialisasikan pentingnya menyuarakan warga bersuara, bukan hanya disuarakan.
Harapan kami, Warta Desa akan tetap bisa bertahan hidup selama kami mampu bertahan. Hal itu penting agar kami bisa menumbuhkan kerelawanan, semangat untuk menyuarakan warga akar rumput melalui media komunitas ini. Terakhir, kami berharap akan muncul media-media komunitas lainnya di Pekalongan yang menyuarakan akar rumput, menjadi penyeimbang dominasi informasi dari kapitalisme media.
* Tulisan ini juga terbit di Kombinasi Cetak Edisi 67 – 2017